Senin

Pedih Yang Tak Bisa Dilupakan



Note: Maaf jika ada kata dan tulisan yang dianggap tidak sopan. Sama sekali tidak bermaksud untuk melanggar batas etika, namun biarlah semua tahu bahwa kenyataan kekejaman yang mereka alami memang sangat jauh melebihi batas-batas kemanusiaan...


Ibu Rusminah, 68 tahun, sekarang usaha warung sembako diGurah-Kediri


Nduk, biarlah Ibu hidup di sini di desa Gurah yang kecil ini. Beristirahat dalam kedamaian, yang akhirnya Ibu temukan disini, di tanah kelahiran Ibumu ini. Hingga akhir waktu nanti. Terlalu banyak letih dan telah kering airmata untuk menangisi kisah gelap kehidupan Ibu. Dan biarlah itu menjadi milik Ibu sendiri. Sementara kamu, Nduk..hiduplah dengan bahagia. Duniamu masih luas terbentang..sementara dunia Ibu..ah Ibu ndak pingin kamu tahu…


“Iki kabeh kanggo mulyake uripmu, Nduk..”, begitu simbah puterimu waktu itu menasehati Ibu untuk pasrah nrimo perjodohan dengan Bapakmu. Ibumu cuma guru sekolah rakyat, ndak tau apa-apa soal peristiwa-peristiwa besar kecuali hanya ingin ikut mendidik dan menjadikan anak-anak desa menjadi lebih pintar. Bapakmu memang aktif dalam organisasi untuk membela rakyat kecil. Ia pergi kesana-kemari entah kemana, karena ia memang ndak mau melibatkan Ibu dalam urusan pekerjaan laki-laki.


Tiba-tiba dunia Ibu berubah gelap pada suatu hari itu, satu oktober tahun enam puluh lima. Banyak tentara dan gerombolan orang tiba-tiba mengobrak-abrik rumah, menyergap, menarik-narik dan menyobek paksa pakaian Ibu. Mereka berteriak-teriak seram mencari-cari Bapak, “Mana Sutarto?!...Bakar!..Bakar semua!..”. Dan Ibu yang ndak tau apa-apa soal peristiwa-peristiwa besar di Jakarta itu, diangkut mobil tentara ke pos polisi dan tentara. Lima bulan di tahanan Kodim Kediri dan kemudian dipindah ke Pare. Duh, Nduk…hanya airmata dan darah yang Ibumu tau disana. Setiap malam setan-setan berbaju seragam itu menodai dan merusak kesucian Ibu. Setiap malam, Nduk!!..Setiap malam berganti-ganti, sendiri-sendiri maupun beramai-ramai mereka berpesta di atas tubuh Ibumu ini..yang bagi mereka seperti boleh diapakan saja karena Ibumu ini adalah seorang isteri anggota PKI ! Dan artinya Ibumu ini bukan lagi manusia di mata mereka. Cuma alat pemuas nafsu kebinatangan yang mereka sembunyikan di balik kedok “kebenaran”.


Dan ketika seorang Perwira dari mereka datang kepada Ibu, mengeluarkan Ibu dari neraka itu, sejenak Ibu memiliki harapan akan kehidupan. Ibu dbawanya ke rumah dinasnya, diberi baju dan diberi makan. Tapi, Nduk…sama saja ia! Ibu bukanlah manusia bebas, tapi tahanan rumah dengan status pembantu rumah tangga sekaligus pemuas nafsu perwira itu bertahun-tahun lamanya! Ibu ndak boleh keluar rumah..atau akan dikembalikan ke neraka. Ibu ndak pernah dikawin, meskipun kamu terlahir di rumah itu. Baginya, Ibu cuma perabot rumah tangga yang digunakan jika perlu, untuk kemudian dibuang setelah bosan. Ia begitu saja pergi ke Makassar, meninggalkan Ibu dan kamu bernasib tak tentu.


Saat itulah Ibu kembali ke sini, ke desa kecil tanah kelahiran ini, menitipkanmu ke simbah kakung dan putri dan kemudian diangkat anak oleh Ibu Lasmi, pemilik Konveksi tempat Ibu bekerja. Dan Ibu bersyukur, karena kamu akhirnya bisa jalani hidupmu dengan lebih baik…lulus SMA..lulus jadi sarjana..kerja di bank…dan berkeluarga sekarang. Hidupmu terbentang, Nduk. Raihlah itu. Biarlah Ibu di sini saja, di kota kecil sini…



Ibu Yanti, 57 tahun, sekarang berjualan sayur dan buah di Jakarta


Anak-anakku, Ibu hanya mempunyai satu keinginan sebelum Ibu mati. Yaitu..bertemu keluarga almarhum jenderal-jenderal itu. Ibu mau menceritakan kepada mereka, bahwa Ibu bukan pembunuh jenderal apalagi penyayat-nyayat penis mereka..


Ibu baru berumur 14 tahun, sekolah SMP, waktu tentara-tentara itu menangkap Ibu. Saat itu jiwa muda Ibu sedang bersemangat karena terbakar api “Ganyang Malaysia” yang dikobarkan oleh Presiden Sukarno, dan menjalani latihan sukarelawan di kampung Lubang Buaya. Entah bagaimana, tiba-tiba di pagi buta..tentara-tentara itu merangsek barak Ibu, berteriak-teriak da menembak-nembak ke atas, “Setan! Perempuan-perempuan biadab!..Kamu ya? Yang membunuh dan menyayat-nyayat jenderal-jenderal kami!?”. Dan Ibu hanya diam karena memang tidak tau apa yang mereka teriakkan itu?


Ibu dan semua perempuan hari itu dikumpulkan di lapangan, disuruh telanjang tanpa sehelai pakaianpun bahkan tanpa celana dalam. Melawan berarti pukulan popor senapan dan siksaan. Dari pagi sampai petang Ibu berdiri di lapangan, telanjang..tanpa diberi minum apalagi makan..dan terus begitu selama dua hari dua malam. Tentara-tentara itu terus berteriak-teriak, “Ini wajah telanjang perempuan-perempuan komunis! Dasar sundal! Kamu dilatih PKI disini untuk membunuh dan menyayat-nyayat tubuh kan?!”..


Disela-sela teriakan mereka, setan-setan berseragam itu megucap-usapkan ujung senjata mereka ke payudara kami, atau merudnuk dan meremas-remaskan tangan mereka, atau menusuk-nusukkan ujung aras senjata ke kemaluan kami. Bagi mereka, kami hanyalah tontonan dan obyek tertawaan menarik yang bisa menaikkan hasrat binatang mereka. Pada hari ketiga, dunia Ibu semakin gelap anakku…kami semua digiring ke barak kosong. Katanya untuk diinterogasi,tapi yang terjadi adalah penganiayaan fisik secara lebih biadab lagi. Siapa sebenarnya mereka?! Manusia atau bukan?! Mereka menyundutkan api rokok ke payudara-payudara kami, membakar rambut kemaluan, memperkosa kami secara beramai-ramai dan merusak organ seksual kami dengan benda-benda..leher botol, tongkat pemukul, kemoceng, laras senjata dan banyak lagi benda yang menumpahkan darah kami. Seperti kesetanan, mereka menyetrum jari-jari, puting-puting payudara dan klitoris kami. Terus dan terus, hingga Ibu berulangkali pingsan. “Habisi saja! Habisi!”, teriak mereka. Dan Ibu sudah hancur. Ibu menyerah.


Hanya “ya” yang boleh Ibu jawab ketika beberapa wartawan dipertemukan dengan kami. Mereka bertanya macam-macam seputar sebuah peristiwa besar tewasnya jenderal-jenderal. Dan Ibu hanya boleh menjawab “ya”…atau tiga orang algojo yang sudah berkali-kali memeriksa dan memerkosa Ibu akan menyiksa Ibu lebih kejam lagi katanya. Ramai-ramai wartawan bertanya: apakah benar Ibu ikut menyiksa jenderak-jenderal? Apakah Ibu ikut menari-narkan tarian “Harum Bunga” sambil telanjang di depan para jenderal? Apa benar Ibu dan kawan-kawan ini sukwati yang berpesta seks di depan para jenderal? Dan untuk semua hal yang Ibu tidak pernah lakukan…tapi Ibu hanya bleh manjwab “ya” dan “ya” dan “ya” saja…. Dan hadiah dari kepatuhan Ibu adalah…Ibu diperkosa berkali-kali lagi oleh seorang interogator! Mereka manusia atau bukan, Nak ?!!.Siapa mereka?!..


Ibu Darmi, 78 tahun, membuka warung di Surabaya


Anak,..jangan suruh Ibumu ini menari lagi. Jangan minta Ibumu tuk mendengarkan lagi gamelan. Karena batin ini menjadi menjerit sekeras-kerasnya. Karena pada setiap dentingnya membawa kembali kisah gelap. Dan pada setiap lekuk geraknya dibasahi air mata dan darah.


Seandainya anak tahu, sesungguhnya darah Ibumu adalah darah seorang penari. Dan ruh jiwa Ibu adalah ruhnya penari. Ibumu ini sampai menari di istana di hadapan Presiden Sukarno. Yang Ibu tahu, bahwa Tuhan menganugerahkan keindahan gerak untuk Ibumu ini, yang melaluinya Ibu temukan bahagia. Ibu tahu, bahwa Bapakmu sangat aktif dalam berbagai kegiatan organisasi. Tapi Ibu tak pernah punya ketertarikan untuk itu, dan Bapakmu memang tak membolehkan Ibu untuk ikut berorganisasi. Ibu hanya boleh menari, karena disitulah bahagianya Ibu…


Tapi jiwa dan daya hidup Ibu kemudian direnggut paksa pada suatu hari di penghujung bulan oktober tahun enam puluh lima. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja orang banyak menyerbu dan membakar rumah kami. Mereka berteria-teriak, membawa keris, kelewang, tombak, dan kayu-kayu pemukul..menebas Bapamu dan Kakiangmu hinga mereka tewas. Ibu dan kamu tak bergerak bersembunyi di balik rumpun bambu, tapi ahirnya mereka tahu, “Ini dia! Di sini! Istri dan anaknya!..Bunuh! Bunuh! Bakar! Bakar!..” teriak mereka..


Anak, wajah-wajah mereka menjelma siluman dan leak. Pakaian Ibumu mereka renggut dan sobek dan Ibu diarak berjalan kaki keliling desa. Di leher Ibu, mereka gantungkan tulisan besar “Aku Lonte PKI” dan di punggung “Aku Dajal! Pembunuh Jenderal!”. Ibu tidak tahu apa maksud mereka? Siapa itu jenderal-jenderal yang mereka maksudkan? Yang Ibu tahu cuma menari…


Tapi mereka sudah menjelma buta. Ibu diikat di depan balai desa, dan bayak laki-laki menggerayangi seluruh lekuk dan lindap-lindap tubuh Ibu. Sehari semala penuh, tanpa minum dan tanpa makan. Telanjang. Hari berikutnya Ibu digiring ke pos tentara. Disana tak berbeda yang Ibu jumpai. Ibu diinterogasi tanpa henti selama dua hari, dan selama itu juga Ibumu disuruh menari di atas meja interogasi dengan telanjang bulat. Dan siluman leak berseragam itu menggerayangi bagian –bagian tubuh Ibu dengan semau-mau mereka. Duh Anak,…perlakuan mereka sangat durjana! Untunglah kemudian Ibu dibebaskan karena mereka tidak bisa membuktikan keterlibatan Ibu dengan PKI maupun ormas2nya. Ibumu cuma penari. Tapi Ibu tetap wajib lapor setiap bulannya.


Duh Anak,..derita belum sirna ternyata! Setiap kali lapor ke kantor tentara, terus saja Ibu dipaksa untuk melayani nafsu binatang para pembesar tentara di kantor mereka. Terkadang Ibu dibawa ke tempat-tempat dan diperkosa, terkadang mereka datang bergiliran ke rumah Ibu untuk menagih setoran buat nafsu leaknya. Mereka datang dan pergi. Tidak peduli siang atau malam hari. Kalo Ibu menolak, mereka mengancam akan menuduh Ibu sebagai eks-Tapol yang melarikan diri.


Anak, Ibu tak boleh lagi masuk ke Pura. Karena bagi mereka Ibu adalah seorang pelacur dan eks-tapol komunis. Ndak ada seorangpun yang mau membela Ibumu ini. Ibu terasing, terkucil, dijauhi dan dibenci, Duh, Anak..betapa manusia itu sangat mudah menjadi siluman pembenci dan perusak yang berkedok “kebenaran” dan “kesucian”. Bahkan keluarga Ibu sendiri sudah menghapus nama Ibu dari silsilah keluarga. Alangkah dahsyatnya peristiwa besar di akhir september enam puluh lima itu! Ibu yang hanya tahu mencintai suami, dan kami sama-sama mencintai seni tari..sekarang sudah dianggap mati oleh sanak keluarga sendiri!!...


Sejak saat itu, Ibumu tak pernah lagi menari. Meski bagi Ibu menari adalah gerakan jiwa dan daya hidup..namun sejak peristiwa itu menari telah menjadi mimpi terburuk dalam kehidupan Ibu. Tak bisa lagi Ibu mendengar gamelan. Tak sanggup lagi Ibu menari. Anak, Ibumu sekarang ini tinggal sebatang jasad. Tanpa jiwa-raga, tubuh dan ruh yang penari. Inilah beban yang harus Ibu pikul, mungkin sampai nafas ini berhenti…


Dedicated to mothers who've been living in the darkside of this life. May God bless you all, Ibu...

Disarikan dibahasakan kembali dari tuturan lisan langsung para korban yang dirangkum dalam buku “Suara Perempuan Korban Tragedi ‘65” by Ita F.Nadia, Galang Press, 2008.


..


Minggu

Maing, Dari Betawi Menggubah Jiwa Negeri

Maing, demikian si bocah betawi Kwitang Lebak itu dipanggil sehari-harinya. Ia terlahir pada tanggal 11 Mei 1914 dan diberi nama Ismail Marzuki oleh ayahandanya, Haji Marzuki Saeran yang seorang guru ngaji di kampung, dan juga kasir bengkel mobil Ford Reparatie di daerah Senen Raya. Selain kesukaan Maing mandi dan bermain di Kali Ciliwung tak jauh dari rumahnya, Maing kecil bak burung kutilang yang setiap waktu bersiul-siul mulutnya. Sampai-sampai babe-nya sering menegurnya, “Eh! Il (Ismail)!..Kalau maghrib jangan bersuit. Ngga bae. Ntar ditabok setan!”..


Tapi apa mau dikata, jika seni adalah warna jiwanya. Sebagai anak yang paling disayang, Maing kecil sudah punya koleksi alat musik lengkap di kamarnya: rebana, gitar, biola, ukulele, kecapi, mandolin, akordeon, harmonika, saksofon sampai piano! Cita-citanya untuk menjadi pemusik terbukti bukanlah main-main, ketika ia memutuskan untuk memilih menekuni dunia musik daripada melanjutkan sekolah ke SMA (jaman itu Algemeene Middlebare School, AMS). “Ude gue aje jadi tukang musik, jangan elu lagi ikut-ikutan!”, kata Maing kepada Naroth adik tirinya. Ia sadar akan konsekuensi “jalan susah” yang akan dijalaninya. Apalagi pada waktu itu musisi memiliki citra yang “miring” di mata masyarakat, dipandang rendah, pemalas, kaum maksiat, pemburu perempuan dan hidup tanpa guna (citra yang nanti akan ia buktikan bahwa ia bisa menjadi musisi yang tidak seperti itu).


Jiwa seni menjadikan Maing peka terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya. Pada usia 17 tahun ia mencipta lagu pertamanya “Oh Sarinah” (1931)..yang merupakan perlambang dari sebuah bangsa yang tertindas oleh kolonial Belanda. Dan kemudian seperti mata air yang deras memancar, dari benaknya seakan tak terbendung..mengalirlah dua ratus lima puluh lagu dicipta dalam dua puluh tahun perjalanan hidupnya!!…termasuk lagu Als de Orchideen Bloeien (1939) yg menjadi sangat populer di radio-radio di negeri Belanda, dan kemudian diIndonesiakan menjadi “Bila Anggrek Mulai Berkembang” yang dinyanyikan oleh biduanita Netty.


Sebagai anak betawi di zaman kolonial, Maing juga tak ketinggalan dalam pergerakan memajukan kaumnya melalui Perkoempoelan Kaoem Betawi yang dipimpin oleh Muhammad Hoesni Thamrin. Ia bertugas sebagai kurir organisasi, dan kemudian ditunjuk menjadi Ketua “Tjabang Muziek” organisasi tersebut, yaitu Modern Gamboes & Harmonium Orkest Combinatie. “…lagoe-lagoenja jang asjik dan merdoe menambahkan rasa gembira dan bersemangat di tengah hawa jang sedjoek pada malam itoe” (Berita Kaoem Betawi, November 1939).


Dan sebagai anak negeri, Maing juga bergabung di orkes studio radio PPRK (Perserikatan Perkoempoelan-Perkoempoelan Radio Ketimoeran) yang didirikan pada tahun 1937 untuk memajukan kepentingan-kepentingan kaum bumiputera, yang kemudian ia menjadi pemimpinnya pada tahun 1940…hingga masuknya balatentara Nippon ke Indonesia.


Pemerintahan militer Dai-Nippon segera saja mengambilalih dan menjadikan semua media komunikasi dan kebudayaan sebagai corong untuk menyebarluaskan propaganda “Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya dan Perdamaian Dunia”. Sebuah justifikasi bagi agresivitas invasi imperialisnya ke negeri-negeri Asia Pasifik. Koran, televisi dan radio dimaksimalkan untuk “merebut hati rakyat” (minshin ha’aku) dan “mengindoktrinasi serta menjinakkan” (senbu kosaku). Sebagai bagian dari program propaganda itu, sebuah Badan Poesat Keboedajaan (Keimin Bunka Shidoso) dibentuk..dan Seksi Musik adalah dimana Maing ditempatkan…bersama-sama dengan musikus Indonesia lainnya seperti Cornel Simanjuntak, Utojo Ramelan dan R.Koesbini. Tugas utama dari Seksi Musik itu adalah menciptakan lagu-lagu yang berisi semangat berjuang,terutama kesadaran patriotis sebagai anggota Asia Timur Raya (dengan Jepang sebagai pusat tentunya): Kampoeng Halaman, Tanah Toempah Darahkoe, Selaloe Sedia, Membela Pabrik, Hidoep Baroe, Memoeji Amat, dll….. Asia Timur Raya! Asia Timur Raya! Tenno Heika! Saudara Tua penyelamat Indonesia!..


Ahh, bukankah Indonesia memang adalah negeri yang terbesar di Asia dulu? Bahkan ia besar dengan kekuatannya sendiri. Bukankah Indonesia adalah negeri terindah bak mutu manikam di khatulistiwa sejak dulu? Bahkan ia adalah terindah pada dirinya sendiri. Demikianlah berontak jiwa Maing muda. Hatinya tak menerima, bahwa untuk menjadi besar dan indah Indonesia harus tunduk dan menempel kepada negeri asing. Negeriku indah pada dirinya..negeriku besar karena dirinya !...maka memberontaklah ia! Melalui karya-karya lagunya ia titipkan pesan-pesan tersembunyi…. tentang keindahan dan kebesaran negeri…tentang cintanya kepada tanah airnya…tentang ikrar ketundukhatiannya untuk mengabdi kepada kemuliaannya:…Kesuma Melati (dengan pesan tersembunyi: Indonesia juga punya bunga yang seindah dan seelok bunga Sakura)…Indonesia Tanah PoesakaBisikan Tanah Air….Rayuan Kelapa….


Indonesia Tanah Pusaka


Indonesia Tanah Air hamba

Poesaka abadi nan djaya

Indonesia sedjak doeloe kala

Tetap dipoedja-poedja bangsa


Di sana, tempat lahir hamba

Diboeai dibesarkan boenda

Tempat berlindoeng di hari toea

Tempat akhir menoetoep mata


Indonesia tanah air hamba

Tiada bandingannja di doenia

Karya indah Toehan Maha Esa

Bagi bangsa yang memoeja-Nya


Indonesia Iboe Pertiwi

Kaoe koepoedja kaoe koekasihi

Tenagakoe bahkan poen djiwakoe

Kepadamoe rela koeberi


http://www.youtube.com/watch?v=Knn2UhNLTWE

...


Jumat

Darah Muda, Yang Dibutuhkan Oleh Revolusi !

Dua puluh tahun merayap perlahan dan api pertama yang dinyalakan Budi Utomo terasa semakin memadam. Tak banyak perubahan yang diberikan, dan hari demi hari penindasan kolonial seakan tak akan pernah berakhir. Terlalu banyak generasi tua dalam kepengurusan perkumpulan penyeru pertama itu, terlalu banyak pangreh praja –amtenaar- yang menggelayuti peran geraknya untuk membebaskan rakyat bumiputera. Terlalu banyak pertimbangan, terlalu banyak kekhawatiran, terlalu takut berlebihan…sehingga Budi Utomo malah lebih sibuk membikin kumpulan-kumpulan diskusi “aman” dengan topik-topik kebesaran budaya Jawa daripada aksi-aksi menuntut pembebasan rakyat !..

Tapi api yang tlah dinyalakan terlanjur menyambar ke banyak jiwa! Anak-anak bumiputera yang sedang menjadi pelajar dan mahasiswa di negeri penjajah telah terlanjur terbakar jiwanya. Bahkan mereka, yang terlahir sebagai anak-anak kaum priyai dan bangsawan pribumi, terbakar pula jiwanya tuk mulai bergerak membebaskan saudara-saudara di Hindia Belanda. Mereka pun menjelma menjadi aktivis kemerdekaan yang bergerak dalam kegelapan, apinya menyambar-menyambar menyibak bayang-bayang sang raksasa penjajah!!..

“Yang terjadi dengan para pemuda ini adalah pembodohan yang menyedihkan. Mereka datang ke negeri Belanda agar mampu memainkan peranannya di tengah masyarakat, agar dapat menduduki jabatan memimpin di tanah tempat kelahirannya, tapi mereka habiskan waktunya yang mungkin merupakan bagian terindah dalam hidupnya itu untuk saling memanaskan kepala dan menggetirkan perasaannya dengan berfikir, berbicara, dan menulis tentang cara tercepat melepaskan bangsanya dari pengaruh negeri ini, negeri di mana mereka datang guna mencari pencerahan jiwa dan penambahan ilmu..” (J.E. Bijlo, Kolonial Tijdschrift, 1925)

Mohammad Hatta, berusia sembilan belas tahun ketika tiba di negeri Belanda untuk belajar di Rotterdamse Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Perdagangan di Rotterdam). Tak lama kemudian ia segera termasuk salah seorang dari kelompok mahasiswa “badung” (dari kacamata pemerintah Belanda tentunya), yang mondar-mandir melintasi negeri-negeri Eropa untuk berpolitik memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya. Menjadi ketua Perhimpunan Indonesia (Indonesische Vereeniging) yang berpanjikan bendera merah putih bergambar kepala banteng, menulis dan menyebarkan brosur “subversif” tentang pemikiran-pemikiran kemerdekaan Indonesia, ditangkap pemerintah kolonial pada 23 September 1927 dengan tuduhan penghasutan, dan berdiri di depan majelis sidang pengadilan untuk membacakan pledoinya –yang dikemudian hari disebarluaskan sebagai brosur delapan puluh halaman dan diberi judul “Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka):

“..mengapa pemuda-pemuda Indonesia itu membuat hidup mereka begitu sukar, dan memusingkan kepala dengan bermacam-macam masalah politik dan kolonial? Megapa tidak memuaskan dahaga remaja dan menikmati keindahan masa mudanya? Mengapa mereka begitu rewel dan tidak pernah puas?..."

“Mengapa demikian?...bahwa pemuda-pemuda tidak mendidik dirinya sendiri. Melainkan dididik dalam kondisi dan situasi dimana ia tumbuh berkembang, dan dalam masyarakat dimana ia berada. Dalam masyarakat kolonial, pemuda itu cepat sekali mengalami kenyataan yang keras dan pahit. Ia melihat dengan mata kepala sendiri kesengsaraan yang diderita oleh massa rakyat yang tertindas. Ia melihat bagaimana massa rakyat itu bermula menerima saja nasibnya yang nestapa itu, bagaimana selama berpuluh-puluh tahun ia menyerah saja pada siksaan-siksaan dari suatu sistem yang pada suatu waktu pasti akan tenggelam. Pemuda itu merasakan dan mengerti duka dan sengsara rakyat…Itu sebabnya putera-putera bangsa yang tidak merdeka itu, sejak usia mudanya, telah bergumul dengan pikiran-pikiran yang tidak dialami oleh pemuda-pemuda Barat yang sebaya mereka.”

“Disinilah mereka merasakan artinya Merdeka..dari kungkungan suasana yang sempit dan menyesakkan dari masyarakat kolonial. Hal ini memperkuat dalam diri mereka suatu kesadaran akan panggilan untuk menjadi pemimpin rakyat kelak….Benar, kami telah bebas dari hypnose kolonial, dan karena itu menjadi sadar akan diri sendiri. Dari sini kami dapat melihat kenyataan kolonial dengan jelas. Dan aksi kami didasarkan atas penglihatan itu…. …”

“maka, berada di negeri ini atau pusat ilmiah lain di Eropa, tidak semata-mata berarti belajar dan menambah pengetahuan yang menjamin kepada mereka suatu posisi yang baik dalam masyarakat Indonesia,- akan tetapi ia juga berarti melatih diri secara politis, mempersiapkan diri untuk tugas mulia di hari depan.”

“Sebagai putera Tanah Air, pemuda-pemuda Indonesia yang belajar di sini merasa diri sebagai pengemban tugas yang mulia. Rakyat Indonesia akan meletakkan kepercayaannya pada mereka dan akan mencari perlindungan pada mereka… “

“Pemuda Indonesia adalah hati nurani bangsa yang berbicara, jiwa bangsa yang menyala, yang akan mewarnai masa depan….Mereka adalah mahasiswa, tapi lebih dari itu, lebih dari segala-galanya, mereka adalah putera Indonesia. Kepentingan Tanah Air mencekam dalam hati mereka…memberikan reaksinya atas gejala-gejala politik dan ekonomis….memerankan apa yang secara jasmani dan rohani diemban oleh berjuta-juta kawan seperjuangan di Indonesia, yakni cinta Tanah Air.."

“Tugas kita bukanlah mengumpulkan kaum tua yang sudah berkarat dalam pengertian dan keyakinan mereka. Pekerjaan kita hanyalah meliputi kaum muda saja, sebab masa depan Indonesia ada di tangan mereka…Angkatan tua yang berkarat dalam tradisi dan merasa bahwa akhir hidupnya telah mendekat, condong untuk mempertahankan apa yang ada dan berharap-harap….pihak muda yang mengazankan merahnya fajar, yang jiwanya diberi semangat oleh keadaan yang baru. Pada hati kaum muda itu terdapat keyakinan yang terlampau kuat, kepercayaan yang terlalu hidup sehingga tidak dapat dicekik.”



Referensi: “Indonesia Merdeka” (Indonesia Vrij), Mohammad Hatta, Den Haag 9 Maret 1928 dan “Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950”, Harry A.Poeze,KITLV-Jakarta & KPG Jakarta 2008.


..

Senin

Melecut Guntur di Angkasa Wolanda

Usianya dua puluh enam tahun mahasiswa fakultas ekonomi Universitas Rotterdam, ketika Mohammad Hatta berdiri di depan majelis sidang pengadilan di Den Haag dan membacakan pidato pembelaanya. Lima bulan sudah ia dan ketiga kawannya (Ali Sastroamidjojo, Abdoelmajid Djojoadhiningrat dan Nazir Pamoentjak) ditahan oleh pemerintah negeri Belanda. Lima bulan sudah pemerintah Belanda mencoba mencari-cari pasal-pasal penghasutan yang tepat, yang akan dituduhkan kepadanya…sejak “kenekatan” mereka menghadiri Ligue Internationale des Femmes pour la Paix et la Liberte (Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kemerdekaan) di Gland-Swiss pada 1927 dan membacakan “pidato politik”-nya yang berjudul “L'Indonesie et son Probleme de I' Independence” (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).


Bahkan sejak “kenekatan” koran Indonesia Merdeka yang dipimpinnya menuliskan artikel-artikel “subversif” karya anak negeri jajahan, yang kejutannya mengagetkan pemerintah kolonial bak mendengar guntur di siang hari bolong (1924):


Cepat atau lambat, setiap bangsa yang ditindas akan merebut kembali kemerdekaannya; itu adalah hukum besi daripada sejarah dunia…apa kelahiran kemerdekaan itu akan bersamaan dengan darah dan air mata, atau proses itu berlangsung secara damai…Lebih-lebih daripada di masa lampau, maka kini kita melihat jalan satu-satunya menuju kemerdekaan. Itu adalah jalan perjuangan, pengorbanan penderitaan. Dewasa ini tak ada jalan lain, tak tampak oleh kami adanya jalan lain yang menuju ke cita-cita itu..”


Dan sekarang Mohammad Hatta, sekali lagi melecutkan guntur yang dilahirkan dari dada-dada anak bangsa bernama Indonesia ..ke cakrawala negeri belanda. Guntur yang selama ratusan tahun dibungkam kolonial belanda, sekarang melecut-lecut mengejutkan pada setiap kata selama tiga setengah jam lamanya…..


“Tuan Ketua! Angkatan muda Indonesia tumbuh dan berkembang dalam masyarakat jajahan ini..dan dalam suasana penuh pembencian ras dan penghinaan….Dengan pengalaman kolonial dan kepahitan dalam hati, mereka datang kemari, ke negeri penjajah…maka kini terbukalah mata dan hati mereka melihat masyarakat baru..Seolah langit lain mengembang di atas kepala mereka.”


“Disinilah mereka merasakan artinya Merdeka..dari kungkungan suasana yang sempit dan menyesakkan dari masyarakat kolonial. Hal ini memperkuat dalam diri mereka suatu kesadaran akan panggilan untuk menjadi pemimpin rakyat kelak….Benar, kami telah bebas dari hypnose kolonial, dan karena itu menjadi sadar akan diri sendiri. Dari sini kami dapat melihat kenyataan kolonial dengan jelas. Dan aksi kami didasarkan atas penglihatan itu.”


“Panggilan pertama adalah haruslah menyadarkan bangsa tentang betapa nistanya hidup terjajah; mereka harus mencetuskan dorongan untuk kemerdekaan dalam jiwa rakyat dan dengan demikian benar-benar mengajarkan rakyat untuk menghargai milik kemanusiaan yang terbesar: kemerdekaan nasional.”


“..ia berhenti memohon belas kasihan dari bangsa Belanda. Ia tak lagi menadahkan tangan, suatu sifat yang jelek, untuk memohon kebaikan hati bangsa lain..Karena bagi suatu bangsa yang kenal harga diri, terdapatlah titik terang…Bangsa kita harus tahu, bahwa ia sanggup membuat sesuatu yang besar. Tenaga-tenaga latentnya yang tersimpan harus dapat dikerahkannya. Ia harus diingatkan kembali akan masa lampaunya yang cemerlang;tapi yang terpenting adalah merangsang gairahnya untuk bergerak.”


“Faktor yang menentukan dalam perjuangan kemerdekaan nasional bukanlah terletak pada kelompok kecil kaum intelek Jantung bangsa berdenyut dalam lapisan-lapisan luas. Intelek hanya perlu menemukan kekuatan rakyat yang meluap-luap segar itu dan menjadi juru bahasanya. Jantung itu terbuka untuk menangkap suara zaman.”


“Untuk sampai ke situ maka pertama-tama perlu adanya massa aksi, jadi membentuk kekuatan yang berturut-turut harus dicapai dengan propaganda untuk kesatuan Indonesia, solidaritas Indonesia, untuk kepercayaan dan kesadaran diri pribadi…Tujuan bersama-yakni membebaskan Indonesia-menuntut terwujudnya massa aksi kebangsaan yang sadar akan diri sendiri dan tegak atas kekuatan sendiri.


“Tuan Ketua! Saya tidak menyembunyikan bahwa aksinya (Perhimpunan Indonesia red.) untuk sebagian besar adalah bertujuan merongrong dan meruntuhkan secara sistematis, sokoguru-sokoguru psikologis, yaitu tempat bertopangnya kekuasaan dan gengsi penjajah….Sejarah dunia telah mengajarkan bahwa terhadap suatu gerakan massa yang terorganisir dari rakyat, angkatan bersenjata dari pemerintah terpaksa berpangku tangan. ”


“Susah rasanya untuk menuntut daripada kami, kaum nasionalis Indonesia, untuk melepaskan cita-cita kami akan suatu Tanah Air yang merdeka..Lebih suka kami melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan, daripada melihatnya sebagai embel-embel daripada suatu negara asing.”


“Bersama rakyat, kami akan dihukum, atau kami akan dibebaskan. Karena bersama dengan rakyat itu kami akan mendapat kehormatan, dan bersama rakyat itu kami akan tenggelam. Pemuda Indonesia adalah hati nurani bangsa yang berbicara, jiwa bangsa yang menyala, yang akan mewarnai masa depan…Tugasnya adalah mempercepat datangnya hari yang baru….”


“Hanya satu negeri yang menjadi negeriku. Ia tumbuh dari perbuatan, dan perbuatan itu adalah usahaku.”


Den Haag, 9 Maret 1928

..

Sabtu

Indonesia Raya

Berdiri dan bangkitlah ! Tegapkan badan ragamu dan tegakkan jiwamu! Karena kepada hatimu sedang diperdengarkan puncak perjalanan ruh bangsa, setelah melintasi gelapnya berabad-abad kehidupannya, setelah diamnya dalam belenggu di bawah kaki bangsa lain, setelah darah dan air mata basah membanjiri setiap jengkal tanah dan airnya. Bangun dari kemalasan jiwamu, berdiri dan bangkitlah !! Karena kepada hatimu sedang dipaparkan berpuluh juta wajah, yang tlah serahkan jiwa dan raganya untuk kebebasan dan kemerdekan bangsa mu!! Kemerdekaan tanah dan airmu ! Kemerdekaan jiwa-jiwa para orangtua orangtua mu!


Jangan jadikan semuanya sia-sia dan terlupa. Ada darah di gengaman tanganmu..darah mereka yang telah basahi setiap perjalanan bangsa ini. Yang sekarang berseru kedalam jiwa hatimu..


”Dengarkan teriakan kami! Dengarkan seruan kami! Teruskan langkah perjuagan kami! Cita-cita dan mimpi ke arah mana ruh bangsa ini menuju..masihlah jauh di balik cakrawala!! Jangan berhenti, jangan tertipu! Kepalkan tanganmu, berdiri! Bangkit, wahai putera-puteri bangsa ini !!.


Indonesia tak akan pernah mati selama jiwa kalian terus diisi dengan gemuruh yang suaranya menggetarkan segala bangsa-bangsa di dunia! Indonesia tak akan pernah sirna, selama jiwa kalian terus diisi kesadaran bahwa rakyat semua harus terus dididik, diayomi, diasuh, dan dibesarkan. Sebagaimana kalian mengasuh dan menumbuhkan dengan rasa sayang tanamanbunga kalian! Demikian pulalah jiwa bangsa ini harus terus kalian jaga, pelihara, asuh, bina, didik, dan hidup-hidupkan sepanjang lintasan masa!!..”


Berdiri dan bangkitlah! Inilah suara dari leluhurmu! Puncak cita-cita bangsamu, puncak impian tanah dan airmu!!..Menangislah, wahai air mata yang digerakkan oleh jiwa-jiwa !! Dimanapun kalian berada saat ini! Menangislah!!!....


Hangatkan hati dan jiwamu

Dengan nyanyian ruh tanah dan air darimana kalian dilahirkan ini !!

Berdiri dan bangkitlah….untuk bangsa mu: Indonesia Raya !!..



Indonesia Raya 1945: http://www.youtube.com/watch?v=0ybhFIhE6fs

...


Minggu

Merah Yang Membakar

Ia baru berusia balita ketika Kartini menyeru-menyeru dari balik tembok kadipaten Jepara, dan usianya baru sebelas tahun ketika perkumpulan Budi Utomo didirikan oleh para mahasiwa sekolah dokter Jawa Stovia di Jakarta. Pada saat itu di kampung kelahirannya, Nagari Pandan Gadang di lembah Suliki di Payakumbuh Sumatera Barat, tanam paksa komoditi kopi baru saja berakhir dan diganti dengan kewajiban membayar pajak kepada kolonial Belanda. Tak banyak yang ia ketahui tentang keadaan negeri ini, dan tak terlalu tinggi cita-citanya ketika pada Oktober 1913 ia berangkat melanjutkan sekolah ke Rijks Kweekschool di Harleem-Belanda untuk menjadi guru sepulangnya nanti. Tetapi..tiga belas tahun kemudian,…dialah seorang perintis kemerdekaan yang berwawasan paling luas, seorang perancang Republik yang berfikiran paling tajam, dan seorang penuntut kemerdekaan yang paling tegas dan tak tergoyahkan.


Tan Malaka (1897-1949), terlahir bernama Ibrahim dan kemudian memangku gelar Datuk Tan Malaka di usia remajanya. Separuh hidupnya ia jelajahi jatuh-bangun di berbagai negeri dunia: sebelas negeri di dua benua. Yang menjadikannya seorang anak dari semua bangsa…dengan penguasaan tujuh bahasa (Belanda, Russia, Jerman, Inggris, Mandarin, Tagalog, dan Indonesia). Yang menyerap pengetahuan, pengalaman, semangat dan turut aktif dalam perjuangan rakyat di banyak negeri untuk membebaskan diri mereka dari himpitan penindasan kolonial-imperialis Inggris di India, Spanyol dan Amerika di Filipina…maupun penindasan kaum aristoktrat-feodalis-borjuasi di negeri-negeri Asia Timur dan Rusia. Tan Malaka menjadi tokoh paling tak disukai oleh para penjajah imperialis, dicari dan dikejar-kejar melintasi batas negara-negara oleh polisi rahasia, sehingga ia harus bergerak seperti bayangan malam dengan setidaknya 23 nama samaran (Alisio Rivera, Elias Fuentes, Ossorio, Ong Song Lee, Tan Ming Sion, Cheung Kun Tat, Howard Law, Hasan Gozali, dll..). Sebuah “gaya hidup” yang exotic sekaligus sophisticated jika kita membayangkannya seperti film-film spy James Bond jaman kini. Bedanya, Bond mengabdi kepada Sri Ratu kerajaan Inggris, sementara Tan Malaka mengabdi kepada seluruh rakyat bangsa-bangsa yang berjuang membebaskan diri dari kolonial-imperialis –termasuk Inggris- di seluruh dunia.


Pemikiran-pemikiran Tan Malaka sejak awal hari telah menjadi panduan bagi Soekarno sang proklamator dan para perintis kemerdekaan di tanah air. Dan di kemudian hari Panglima Besar Jenderal Soedirman pun mengaguminya. Dengan kedalaman pengetahuannya tentang karakter masing-masing penjajah kolonial di berbagai belahan dunia, termasuk tentang Belanda, Tan Malaka tahu bahwa kebebasan tanah airnya dan kesejahteraan rakyat negerinya tak mungkin akan diberikan cuma-cuma atas kebaikan hati Belanda..


“Tatkala Belanda mengarahkan kapal pembajaknya ke Indonesia, waktu itu negeri mereka hanyalah negeri tani dan tukang warung kopi kecil-kecil…Dengan keberanian dan kemauan seorang bajak laut serta ketamakan seorang tukang warung kopi yang kecil, habislah sekalian hasil negeri Indonesia dirampasnya…Bagaimana mungkin kita harapkan pemerintahan bijaksana dari bajak laut, tukang warung kecil ini ! (Massa Actie,Tan Malaka,1926)


Tan mengingatkan, bahwa perubahan kebijakan kolonial Belanda di awal abad keduapuluh (politik etis dan industrialisasi Jawa) sesungguhnya semata-mata untuk kepentingan monopoli para pedagang dan pengusaha swasta Belanda dan tidak menyisakan apapun bagi perekonomian bumiputera. Dan bahwa harapan bumiputera, baik mereka yang menyeru-nyeru dari dalam negeri Belanda maupun dari Hindia Belanda (termasuk Budi Utomo dan Kartini), akan kebaikan hati Belanda untuk meningkatkan taraf pendidikan bumiputera sehingga sama derajatnya antara penjajah dan anak-jajahannya….adalah harapan sia-sia!


“Masih saja ‘pemerintah tani dan tukang warung’ Belanda takut kepada universitas dan sekolah tinggi seperti kepada hantu…Tetapi, selain duit yang bagi seorang Belanda lebih berat timbangannya daripada cita-cita dan alasan politik, ada pula pandangan politik lain yang tak dapat kita harapkan dari si Belanda tani dusun yang dungu itu….’Bangsa Indonesia, harus tetap bodoh supaya ketentraman dan keamanan umum terpelihara’ “.(Massa Actie, Tan Malaka, 1926).


Bagi Tan Malaka, kebebasan harus direbut dengan paksa! Kesejahteraan dan pendidikan harus diperjuangkan dengan kekuatan sendiri. Kemerdekaan harus seratus persen dituntut dan direbut dari tangan penjajah Belanda. Kemerdekaan setengah-setengah tak bisa diterima. Tak ada kerjasama. Tak ada kompromi. Yang diperlukan adalah..revolusi !


“Kepada kaum intelek kita serukan…Tak terdengarkah olehmu, teriakan massa Indonesia untuk kemerdekaan yang senantiasa menjadi semakin keras?” (Naar de Republiek Indonesia, Menuju Republik Indonesia, Tan Malaka, 1925)


“..dengan jalan revolusi dan perang kemerdekaan nasionallah (yang dapat dimasukkan dalam revolusi sosial!), maka sekalian negeri besar dan modern tanpa kecuali, melepaskan diri dari kungkungan kelas dan penjajahan…Satu kelas dari suatu bangsa yang tidak mampu mengenyahkan peraturan-peraturan kolot serta perbudakan melalui revolusi, niscaya musnah atau terkutuk menjadi budak abadi. Revolusi adalah mencipta!(Massa Actie, Tan Malaka, 1926)


Tanggal 26-28 Oktober 1928, ketika Indonesische Studieclub menggelar Kongres Pemuda Indonesia....Wage Rudolf Soepratman, memainkan lagu ciptaannya: Indonesia Raya. Sebuah lagu yang terinspirasi dari tulisan Tan Malaka di penutup buku Massa Actie-nya:


Di sanalah tempatmu pemimpin-pemimpin revolusioner!...tegakkanlah mereka yang lemah…bangunkan yang tidur, suruh berdiri…;itulah kewajiban seorang yang tahu akan kewajiban seorang putra tumpah darahnya. Di situlah tempatmu berdiri dan berdiri…seorang putra Tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah….” ..

..

Sabtu

Uang, Lagi-Lagi Uang...


Ribuan tahun telah berlalu, dan sedemikian lamanya pula peradaban manusia telah dibangun di atas fondasi yang sangat rapuh: ego, dengan mana ia diciptakan. Peradaban demi peradaban dibangun dan runtuh silih berganti, hanya untuk menunjukkan bahwa sepanjang sejarahnya manusia tak kunjung bisa menaklukkan egonya. Setiap peradaban senantiasa diwarnai oleh perbenturan dan tarik-menarik antara berbagai ego yang masing-masing menuntut kebesaran diri, penguasaan sebesar-besarnya atas pihak lain, pemenuhan kepuasan diri sendiri, maupun ketamakan serta kerakusan (yg merupakan paradoks terhadap tujuan bersama untuk menggapai kemakmuran dan kesejahteraan).


Dan kehadiran uang, apapun nama dan bentuknya: cangkang kerang, gigi unta, gading gajah, cula badak, kulit sapi, domba, tembakau, batuan mineral semisal amber, dinar emas dan perak, kertas, kartu plastik, atau bahkan sekedar angka-angka dalam buku tabungan, menjanjikan semua yang ego butuhkan. Kepemilikan uang (apakah itu dlm wujud gigi unta, kertas, emas ataupun perak) tidak hanya menjanjikan kemampuan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan sehari-hari, tapi lebih dari itu; ia menjanjikan kemampuan untuk mewujudkan hasrat manusia untuk hidup abadi melalui penumpukan harta warisan. Ia menjanjikan kemampuan menaklukkan masa depan melalui penumpukan uang dan pemastian aliran future income.


Cangkang kerang, gigi unta ataupun secarik kertas pada hakekatnya tidaklah berharga, kecuali jika kemudian semua orang mempercayainya sebagai sesuatu yang berharga (shared & agreed values). Seorang pembeli tidak mungkin bisa menukarkan cangkang kerang dengan barang yang dibutuhkannya, apabila si penjual tidak percaya bahwa cangkang kerang itu berharga. Demikian pula, pegawai kantoran tidak akan mau bekerja kecuali jika secarik kertas yang ia terima di akhir bulan dipercayainya berharga untuk nanti ditukar dengan makanan dan pakaian. Supermarket akan memberi makanan dan pakaian dengan kepercayaan bahwa secarik kertas itu dapat ia bawa ke bank dan menambah jumlah kekayaannya. Demikianlah maka mata rantai “money illusion” ini pada akhirnya membentuk sebuah system of belief tentang berharganya secarik kertas atau cangkang kerang atau gigi unta tersebut. Manusia kemudian bersama-sama tersihir oleh ilusi yang berasal dari benda-benda, sehingga kita sangat percaya bahwa benda-benda itu memiliki nilai dan kekuatan yang jauh lebih besar daripada penampakan biasanya.


Irasional? Ya. Sama irasionalnya dengan “nilai” yang kita sematkan kepada sekeping kartu debet plastik, secarik uang kertas dollar atau rupiah (fiat/representative money), maupun dinar emas (commodity money). Tak peduli apapun bentuknya!


Dan ketika kekuatan psikologis akhirnya juga kita serahkan kepada benda-benda yang kita sebut sebagai “uang”, maka money illusion menjanjikan kekuataan yang lebih besar lagi: penguasaan atas uang (dan sumber-sumber ekonomi) menjanjikan kendali kekuasaan atas orang lain dan bahkan atas sebuah negeri. Kepemilikan uang sebanyak-banyaknya menjanjikan kemampuan untuk mewujudkan semua keinginan dan mimpi-mimpi dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup! Conspicuous consumption, reputable wastefulness and futility adalah kata lain dari konsumerisme pada abad ke-19 (Thorstein Veblen (1981), The Theory of the Leisure Class). Dan dalam jebakan ilusi, manusia menjadi semakin kerasukan mengejar materi. Sebagaimana Midas sang raja, untuk setiap benda yang disentuhnya menjadi emas maka satu kehausan muncul untuk menyentuh benda lainnya. Satu kehausan melahirkan kehausan berikutnya. Demikian seterusnya hingga puteri kesayangannya pun menjadi emas membatu.


Peradaban-peradaban awal manusia sebenarnya sangat menyadari tentang betapa dahsyatnya kekuatan ilusi yang dikandung oleh uang (apapun bentuknya) dalam merayu ego manusia. Dan mereka berusaha memberi kekuatan kepada manusia untuk tidak terjebak ke dalamnya, dengan menanamkan kesadaran bhw uang adalah sesuatu yang sakral yang harus dijaga dan dipertanggungjawabkan penggunaannya kpd para Dewa di atas mereka. Penerbitan uang pertama bangsa Romawi, misalnya, diawali dgn prosesi “pensucian” di kuil dewi Juno dan pemberian nama mata uang yang bernuansa religius: “moneta” yang juga merupakan sebutan bagi dewi Juno. Demikian pula dengan bangsa-bangsa sebelumnya (Yunani, Babilonia dan Mesir) yang juga senantiasa menyematkan nuansa religi pada mata uangnya; penggunaan emas dan perak sebagai uang diyakini merupakan simbol dari korelasi mistis antara Matahari dan Bulan.


Dan semakin “berkuasanya” uang dalam kehidupan sehari-hari serta kehancuran sosio-ekonomi yang diakibatkannya, bahkan pada abad-abad awal lahirnya, memunculkan gambaran bahwa uang tidak lain adalah perwujudan lain dari iblis dan setan. Di masa peradaban Babilonia, kehadiran emas dikatakan sebagai “the excrement of Hell” (kotoran neraka). Sepanjang sejarahnya, manusia semakin keras berteriak tentang kehadiran Iblis dan setan yang menyertai kekuatan destruktif dari uang. Namun mereka sepertinya tak pernah sadar, bahwa Iblis dan setan itu adalah makhluk yang sama yang telah mereka lepaskan dari rantai kendali dari dalam diri mereka sendiri. Dan yang selama ini bahkan telah mereka besarkan dengan asupan ego mereka sendiri yang semakin besar dan semakin besar kekuatan kendalinya…


Ego, yang telah meruntuhkan mimpi John Maynard Keynes (1932) tujuh puluh lima tahun yang lalu tentang sebuah peradaban manusia yang seharusnya :


“…when the accumulation of wealth is no longer of high social importance, there will be great changes in the code of morals. We shall be able to rid ourselves of many of the pseudo-moral principles which have hag-ridden us for two hundred years, by which we have exalted some of the most distasteful of human qualities into position of the highest virtues. We shall be able to afford to dare to assess the money-motive at its true value. The love of money as a possesion –as distinguished from the love of money as a means to the enjoyments and realities of life – will be recognized for what it is, a somewhat disgusting morbidity, one of those semi-criminal, semi-pathological propensities…” (Economic Possibilities for Our Grandchildren, Essays in Persuasion, John Maynard Keynes, 1932)


...

Seruan Dari Balik Sunyi


Betapa ia mencintai eropa, kemajuan ilmu serta peradabannya, kesamaan derajat manusianya..dan kebebasannya. Dan betapa ia selalu rindu untuk pergi ke sana mereguk semua itu. Kemudian dengan daya ruh yang baru, ia akan kembali ke tanah Hindia tuk meniupkan ruh kemajuan itu ke dalam fikiran dan jiwa rakyatnya. Rakyat yang dipujanya, yang “keindahan” mereka menghiasi relung hatinya.

“Duh, Stella..aku ingin ceritakan banyak tentang Rakyatku yang begitu lembut, tentang caranya berfikir dan memandang…betapa penuh sesak perbendaharaan yang kami dengar dari mulut Rakyat; kebijaksanaan, kebenaran, begitu jelas, dengan kata-kata yang begitu sederhana namun bernyanyi!...Kami begitu dekatnya pada alam, pada sumber mula; kebijaksanaan-kebijaksanaan kami tidak perlu sampai memaksa memecahkan kepala untuk dapat memahaminya Dengan kata-kata sederhana, namun, duh, betapa indah bunyi dan iramanya….Segala yang tinggi dan indah dalam hidup ini adalah puisi. Cinta, pengabdian diri, kesetiaan, kepercayaan, seni, segala yang meninggi, mempermulia dan memperindah adalah puisi. ..Orang Jawa yang kecil, paling kecil pun adalah puitik..” (Surat Kartini kepada Estelle Zeehandelaar sahabat penanya, 1902)

Orang Jawa yang kecil, yang hidup serba kekurangan di luar tembok kadipaten di mana Kartini dipingit sejak usia dua belas tahun (1891). Rakyat, yang kepada mereka telah ia serahkan hatinya tuk selama-lamanya meski ia tak hidup bersama-sama dengan mereka. Yang membuatnya menitikkan air mata karena ketertindasan mereka di bawah sistem budaya feodal, di dalam mana ayahandanya RMA Sosroningrat -Bupati Jepara- adalah menjadi bagian dari sistem itu, dan ibu kandungnya Ngasirah –putri seorang jelata yang dijadikan selir oleh ayahandanya- menjadi korbannya (dan dirinya sendiri yang nanti akhirnya menjalani nasib yang sama menjadi isteri dari seorang bupati Rembang yang telah beristeri tiga). Ah!..hatinya mendesak-desak untuk melakukan sesuatu bagi mereka, mengangkat derajat mereka, membebaskan mereka…

“disebut bersama dengan Rakyatku; dengannyalah dia akan berada buat selama-lamanya! Aku sangat bangga, Stella, disebut dengan satu nafas dengan Rakyatku.” (Surat kepada Estelle Zeehandelaar, 1902).

dan juga membebaskan dirinya…

“..penjaraku adalah sebuah rumah besar, dengan pekarangan luas, tapi sebuah pagar tembok tinggi mengelilinginya, dan pagar itulah yang mengurung aku…Arah manapun yang kutempuh, akhir dari perjalanan itu selalu saja tembok batu atau pintu terkunci…

..tetapi si adat itu telah letakkan dirinya dengan tanpa ampun dalam susunan orang dewasa….Sekarang harus tenang, terkendali, sebagaimana mestinya wanita-wanita muda Pribumi yang berasal dari keturunan bangsawan tinggi. Seorang gadis Jawa adalah sebutir permata, bila ia pendiam, tak bergerak-gerak seperti boneka kayu; bicara hanya bila benar-benar perlu dengan suara berbisik, sampai pun semut tak sanggup mendengarnya; berjalan setindak demi setindak seperti siput; tertawa, harus tanpa suara tanpa membuka bibir….Si anak manusia kecil itu tak juga bisa belajar tawakal! Dalam kepala dan hatinya yang gila itu berhuru-hara ratusan pikiran-pikiran yang memberontak” (surat kepada Estelle Zeehandelaar, 1899).

Dari persentuhannya dengan semangat kebebasan eropa (ia lebih menyebut eropa, yang ia pahami sangat lebih besar dari sekadar negeri belanda), semakin tumbuh kesadaran dalam jiwa Kartini muda…bahwa rakyat (dan dirinya) harus dibebaskan dari adat yang memenjarakan dan membelenggu. Hanya dengan cara itulah, mereka bisa dibawa kepada kemajuan peradaban! Sebuah kesadaran yang ironis, karena ia justru hidup dan dihidupi dalam adat yang tak disetujuinya itu. Sebuah kesadaran yang mungkin diletupkan oleh butiran darah yang ia warisi dari ibu kandungnya yang “cuma” puteri seorang mandor pabrik tebu di Majong. Sebuah kesadaran, bahwa kemajuan bisa dicapai hanya jika semua manusia bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi memiliki hak-hak yang sama, dan boleh memiliki mimpi-mimpi yang sama tinggi !!..

“…demi kepentingan mereka yang kau sayangi dan menyayangi kau; ini, perjuanganmu mempermulai wujud manusiamu…Pergi!, garap kerjamu melaksanakan cita-cita;kerja buat hari depan; kerja buat kesejahteraan ribuan, yang terbungkuk-bungkuk di bawah tindasan hukum-hukum yang tidak adil, di bawah faham palsu tentang baik dan buruk; pergi, pergi, menderitalah dan berjuanglah tapi kerjalah buat keabadian!” (surat kepada MCE Ovink-Soer, 1900)

Disarikan dan dibahasakan kembali dari buku “Panggil Aku Kartini Saja” oleh Pramoedya Ananta Toer, Hasta Mitra, April 2000.


..

Penyeru Penyeru Pertama


Mereka yang tlah melihat dunia, terbukalah wawasannya. Di hadapannya terbentang kemungkinan-kemungkinan, dan ia kini berani untuk memiliki impian. Ia kini bisa menatap gemintang di langit yang benderang, yang tak pernah bisa ia saksikan di langit negerinya yang selama ratusan tahun hanya gelungan mendung mengkungkung. Ia kini adalah anak semua bangsa, yang bisa menjadi sama majunya dan bisa sama beradabnya dengan bangsa-bangsa lain di dunia! Mereka pun menyeru kepada saudara-saudara mereka setanah air di Hindia Belanda. Untuk mengikuti jejak langkah mereka.

“Hai kalian, putra-putra Jawa, demi kalian disini aku memberanikan diri berseru. Dengarkanlah, lonceng telah berbunyi agar kalian bangun dari tidur yang membiuskan, untuk membela hak-hak kalian, yaitu hak untuk berlomba-lomba dengan mereka yang lebih beradab dan berkembang dalam ilmu, kecerdasan dan ketekunan, hingga kalian menjadi berkah bagi tanah air kalian sendiri!..kembangkan seluruh kekuatan kalian untuk membantu rakyat kita membentuk diri, dari kanak-kanak sampai dewasa.”

Demikianlah seruan Sosrokartono, salah seorang pelajar perintis di negeri Belanda dan penyeru pertama (yang juga adalah kakak kandung dari RA Kartini) pada pertengahan tahun 1899. Seruan senada disampaikan pula melalui media cetak yang dibuat dan disebarluaskan ke Hindia Belanda oleh beberapa bumiputera yang telah menetap di negeri Belanda. Abdul Rivai, seorang wartawan dan dokter asal Sumatera Barat, menerbitkan koran Pewarta Wolanda (1899) dan kemudian Bandera Wolanda (1901) bersama-sama dengan Sosrokartono dan Abdullah (putra Dr.Wahidin Soedirohoesodo). Koran Kolonial Weekblad (1901) dan Bintang Hindia (1902) kemudian menyusul dengan membawa pesan-pesan yang sama.

Memasuki tahun pertama dari abad keduapuluh, mulailah berdatangan putera-putera pribumi ke negeri Belanda menjawab seruan itu. Sejalan dengan dimulainya pula kebijakan “politik etis” oleh pemerintah kolonial terhadap negeri-negeri jajahannya, maka kesempatan untuk mempelajari bahasa dan kebudayaan negeri Belanda semakin dibuka. Sebuah kebijakan untuk mendekatkan dan mempererat hubungan persaudaraan antara negeri jajahan dengan negeri penjajahnya lewat jalan budaya dan bahasa. Maka berdatanganlah mereka ke negeri Belanda: putera-putera raja nusantara, putera Sultan Kutai, putera Sultan Asahan, putra kaum bangsawan Jawa, anak Bupati Magelang, anak Susuhunan Solo, dan orang-orang biasa.

Bahkan R.A.Kartini melihat bahwa pergi ke Belanda adalah satu-satunya jalan menuju kemajuan dan (lebih penting lagi) kebebasan dirinya, “Cakrawalaku pasti akan lebih luas, jiwaku pasti akan lebih kaya, dan semua itu tak sangsi lagi pasti akan berpengaruh baik baik bagi pelaksanaan tugasku…Negeri Belanda harus dan pasti menjadikan diriku benar-benar seorang perempuan merdeka.”

Bagi para penyeru pertama, satu-satunya jalan yang mereka lihat untuk menggapai masa depan yang lebih benderang hanyalah dengan menerima kondisi keterjajahan ini sebagai sebuah “takdir” yang tidak dapat diubah lagi. Berbagai upaya untuk merubah takdir telah pupus ditumpas, di Jawa, di Aceh, di Sumatera, di timur kepulauan nusantara. Dan kerajaan penjajah tetap berdiri tegak tak terkalahkan. Tak ada siapa yang bisa merubah kondisi ini, karena memang inilah takdir hidup kita. Dan yang bisa kita lakukan kini adalah mencoba “mengambil hikmah” dan manfaat dari keterjajahan ini. Yang bisa kita lakukan, dalam pemikiran mereka, adalah setidaknya mengharap simpati dan niat baik (dan rasa kasihan) dari Sang Ratu Belanda terhadap Hindia Belanda…untuk menjadikan kita sebagai anak-anaknya yang sesungguhnya. Yang dengannya kita diberinya kesempatan untuk mencicipi kesejahteraan dan kemajuan sebagaimana anak-anaknya di negeri Belanda. Dan sebagai imbalannya, akan kita berikan kesetiaan kita kepada Yang Mulia berupa ketaklukan di bawah satu Ratu dan satu bendera: Kemaharajaan Belanda.

Maka pada penerbitan pertama koran Bintang Hindia (1902), sang redaktur menjelaskan, bahwa “Kami ingin banyak bercerita kepada sesama warga negara Pribumi dan warga negara Timur lainnya tentang Ibu Pertiwi di Eropa, dan dengan itu membangkitkan minat mereka pada berbagai hal, yang sampai waktu itu berada di luar lingkungan pemikiran mereka…….Kami ingin memperkokoh kesetiaan kepada Bendera dan Ratu, namun kesetiaan yang tidak didasarkan pada rasa takut yang bodoh dan pengecut, melainkan didasarkan pada keyakinan yang benar, pada rasa cinta.”

Maka dituliskan pada Kop surat kabar Bandera Wolanda (1901) maupun Bintang Hindia (1902), “Kekallah karadja an Wolanda Masjhoerlah tanah Hindia” di kirinya. Dan di kanannya dituliskan “Sampai mati satya kepada Sri Baginda Maharadja”.

Disarikan dan dibahasakan kembali dari buku “Di Negeri Jajahan: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950”, Harry A.Poeze, KITLV Jakarta dan KPG, Juli 2008.
..

Minggu

Anak Semua Bangsa


Luasnya dunia tak pernah terbayangkan oleh nyaris segenap rakyat negeri kepulauan ini. Dunia, bagi mereka, hanyalah sejauh mata mereka bisa memandang. Sejauh patok-patok pembatas sawahnya atau cakrawala yang tak pernah bisa mereka capai dengan sampan dan perahu mereka. Dan ketika penderitaan serta penindasan berabad-abad tak lagi menyisakan kisah lain kecuali kisah tentang samudera air mata..maka semuanya menjadi seperti suatu kewajaran dan nasib buruk yang harus mereka terima dan jalani dalam satu-satunya dunia yang mereka ketahui ini.

Hanya segelintir anak negeri ini yang beruntung untuk menyadari, bahwa di belahan bumi yang jauh dan di balik cakrawala sana terdapat dunia yang lain. Dunia yang benderang oleh lampu-lampu yang tak perlu diisi minyak kelapa, yang jalan-jalannya lebar tertata bersih, yang kereta-keretanya tak lagi dihela oleh kuda tapi oleh mesin di atas lintasan besi, yang manusia-manusianya bisa bebas berbicara, yang bisa duduk sama rendah berdiri sama tinggi di antara sesama mereka, yang segalanya teratur tertib dan rapi.

Mereka adalah anak-anak tanah jajahan Hindia Belanda,yang di tahun-tahun 1600-an dibawa oleh tuan-tuan Belandanya ketika berlibur mudik ke negeri mereka (Den Haag adalah kota liburan paling favorit ketika itu). Sebagai budak, sebagai babu, sebagai baby sitter/ ibu susu, sebagai “perabot rumah tangga” yang tidak berharga tapi musti dibawa-bawa untuk melayani berbagai kebutuhan mereka dan menjaga life style kolonial mereka sebagaimana mereka hidup di Hindia Belanda. (Kebiasaan ini kemudian memaksa pemerintah negeri Belanda pada tahun 1636 mengeluarkan larangan untuk membawa orang kulit non-putih dari Hindia Belanda..sebuah larangan yang tak diacuhkan)

Mereka adalah pribumi tanah jajahan yang sengaja didatangkan oleh pemerintah Kolonial untuk memamerkan “eksotika” diri mereka, wajah mereka, postur tubuh mereka, pakaian mereka, kesenian dan bahasa mereka…sebagai bangsa pribumi yang terbelakang..kepada para penonton Exposition Universelle Coloniale…Pameran Dunia (tentang negeri-negeri) Kolonial. Di London (1851), Amsterdam (1883) dan Paris (1889), mereka “dipajang” untuk mengisi sebuah miniatur suasana perkampungan di Hindia Belanda, lengkap dengan gubuk-gubuk, kali kecil, jembatan bambu dan kandang kuda serta kambing. Dan panitia membekali para pengunjung dengan “buku panduan” yang bisa dibaca sambil melihat-lihat perkampungan sehingga lebih dapat merasakan suasana eksotisnya!

Mereka yang lain, adalah satu dua anak negeri yang mendapat “beasiswa” sebagai asisten pelukis, asisten guru, asisten amtenar, ataupun abdi dalem yang dikirim oleh Raja-nya atau sultan-nya untuk belajar. (Kadjo, misalnya, adalah seorang abdi dalem yg pada tahun 1856 dikirim oleh Sunan Surakarta ke Brussel utk belajar memperbaiki arloji !..)

Di waktu-waktu senggang mereka sebagai pelajar, budak, babu, baby sitter, ataupun “asesoris” pameran, tentu saja mereka terus merasa takjub menyaksikan sebuah dunia dengan berbagai keajaiban yang tak pernah mereka bayangkan seumur hidupnya. Ketakjuban yang menyadarkan mereka, bahwa ada dunia yang jauh lebih maju daripada dunia mereka di Hindia Belanda sana. Mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa ada dunia lain yang ternyata bisa seindah dan semegah ini.

Bagi sebagian mereka yang berfikir mendalam, penyaksian ini menyulut kesadaran, bahwa ia bukan lagi manusia yang kesepian…yang tak bisa memiliki keinginan…yang hidup di sebuah dunia terpencil yang bernama Hindia Belanda. Ia kini telah menjadi bagian dari fenomena dunia yang lebih luas dan ramai dengan segala kemungkinan. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa-bangsa lain, yang juga berhak untuk memiliki keinginan untuk maju dan menjadi setara.

Ia kini terlahir sebagai anak semua bangsa, yang berhak memiliki mimpi yang setara dengan semua bangsa maju di dunia. Untuk memiliki kehidupan yang sama indah dan sama benderangnya !!..


Disarikan dan dibahasakan kembali dari: “Di Negeri Jajahan: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950”, Harry A.Poeze, KITLV Jakarta dan KPG, Juli 2008.
..