Minggu





Kaca Patri di Gedung Lawang Sewu,Semarang,Jawa Tengah,Indonesia. July 22nd.2009

Rabu

yang ringan dan lucu (sedikit lucu)

Bank Syariah? Coba tebak kira-kira apa persepsi orang kebanyakan tentang sistem perbankan yang satu ini? Lucu-lucu lho. Ndak bisa disalahkan juga…jika masyarakat kebanyakan tidak memiliki pemahaman yang cukup seperti yang dimiliki oleh mereka para aktivis dan penggiat ekonomi syariah ataupun bank syariah. Inilah persepsi mereka, sebagaimana tertangkap dalam suatu survey persepsi dalam rangka mapping target market bank syariah (dialog tidak persis sama, tapi intinya sama):

Scene satu:
Ditanyakan kepada seorang responden, “Ibu,..sudah punya rekening bank syariah?”
Dijawab sama si-Ibu, “Mmm..belum”
Ditanya lagi, “Kenapa belum, Bu?....”
Ibu menjawab, ”Kan..bank syariah itu bank cuma buat orang muslim aja...”

Scene dua:
Kepada responden ditanya, ”Sudah punya rekening bank syariah, Mas?”
Si Mas menjawab, ”belum laah..”
Ditanya, “Kenapa belum, mas?...”
Jawab si Mas, “yahh..hidup saya aja masih ga benerr. Ga brani pake bank syariah”


Scene tiga:
Yang mensurvei nanya, “Mbak..mbak…sudah pernah ke bank syariah?”
Si Mbak ketawa, “Hihii..sering liat sih..tapi blum brani masuk..”
Ditanya, “Lho? Kenapa ga brani masuk?”
Jawab si Mbak lagi, ”....Blum brani, mas…belum tobat!...”


Scene empat:
Kepada responden yg keliatannya udah alim ditanya, “Sudah punya tabungan syariah ?”
Si Uda dengan halus menjawab, ”belum...”
Ditanya lagi, ”kenapa belum?...”
Dijawab Uda, ”Anu....saya belum maqom-nya” (kayak tasawuf aja hehe..)


Scene Lima:
Kepada si Bapak ditanya, ”Bapak tau nggak kalo di bank syariah punya deposito juga?”
Si Bapak heran, ”O yaa?...kirain itu bank cuma buat nabung ongkos naek haji doank??!...”


Hmm....kenapa yaa bank syariah dipersepsikan lebih sebagai sebuah ”entitas religius” dan bukan sebagai ”entitas bisnis bank”? Kenapa yaa..aura bank syariah koq lebih seperti aura lembaga dakwah, pengajian, musholla atau malah tarekat ? Dan bukan aura lembaga banking penyedia jasa keuangan? Kenapa yaa...koq bank syariah sampe bisa dikait2kan dengan urusan tobat-menobat dan bener-ga bener hidupnya (calon) nasabah? Kalo hidup belum bener..rasanya ga brani masuk bank syariah? Kalau sudah tobat, sudah bener, dres-code sudah ”syariah”..baru boleh ke bank syariah. Koq bisa begitu yaa?..padahal di bank konvensional, dateng mo pake jas keq..mo pake celana pendek keq..mo pake sarung keq..bebas-bebas aja lagee..Koq bukannya dikaitkan dengan urusan penyedia solusi keuangan/berbank?? Siapapun, pake pakaian apapun..kalo ada masalah keuangan ya bisa dateng. Welcome- welcome aja. Koq bisa yaa??..citra yang melekat kepada bank syariah adalah bank nya khusus orang muslim saja..jadi orang non-muslim ndak bisa make jasa bank syariah??

Hmm.....jadinya ya ndak aneh kalo bank syariah jualan di indonesia udah 17 tahun...nasabahnya baru dapet 5 juta orang ! (Padahal di bank konvensional udah ada lebih dari 100 juta rekening lho).

Tulisan ini diposting juga di: Kompasiana iB Blogger Competition
.

Minggu

Bank Syariah Tidak Menggandakan Uang?...Ah Masaa ?!..

Pernyataan itu mengusik nalar saya, ketika pada sebuah forum diskusi keilmuan seorang narasumber yang terpelajar dengan menggebu-gebu menyatakan bahwa kelebihan bank syariah dalam konteks makro-moneter adalah “tidak ada multiplier effect dari bank syariah!”. Bahwa, katanya, “tidak terjadi penggandaan uang oleh bank syariah”…dan “bank syariah tidak menciptakan uang”..”tidak ada money creation” sebagaimana yang dilakukan oleh sistem perbankan yang lain. Hmm….benarkah?..

Kenapa kita membutuhkan uang? Berbagai ragam motivasi kita. Uang yang ada di dalam dompet kita, kita perlukan untuk membayar karcis busway misalnya. Atau untuk mbayar jasa ojek motor atau bertransaksi membeli sesuatu Uang yang kita selipkan di bawah bantal atau di dalam koper, misalnya untuk berjaga-jaga (precaution) jika ada sesuatu yang darurat, sehingga kita punya uang cash sebagai pegangan. Uang di celengan ayam kita, uang yang ada di rekening tabungan kita, bisa jadi dalam rangka kita menumpuk uang (hoarding dan spekulasi) supaya kelak bisa beli motor baru atau rumah.

Di bank sentral sbg otoritas moneter, setidaknya dicatat tiga motivasi besar kenapa masyarakat memegang uang: transaction motives (misalnya sebesar X triliun rupiah), precautionary motives (sebesar Y triliun), dan speculative & hoarding motives (sebesar Z triliun). Sehingga total kebutuhan likuiditas yang harus disediakan oleh otoritas moneter adalah (X+Y+Z) triliun.

Bagaimana kemudian likuiditas sebesar (X+Y+Z) triliun rupiah itu dapat disediakan oleh otoritas moneter? Apakah kemudian otoritas moneter harus mengeluarkan uang cash dari khazanahnya sebanyak (X+Y+Z) triliun tersebut seluruhnya? Sehingga semua orang yang membutuhkan uang tersebut (sebagai alat ukur nilai, alat bayar, dan alat penyimpan nilai) dapat memegang uang tersebut secara fisik dalam genggamannya masing-masing? Dapatlah dibayangkan berapa besar uang yang secara cash harus diedarkan oleh otoritas moneter!!....

Untung Ada Bank

Syukurlah, bhw kehadiran sistem perbankan sebagai sebuah entiti perantara (intermediary) kemudian dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memperlancar penyediaan likuiditas bagi berbagai transaksi ekonomi yang mereka perlukan. Para pemilik pabrik tidak harus menjinjing koper penuh uang ke toko yang menjual mesin-mesin produksi. Untuk melakukan pembayaran, mereka cukup menuliskan nilai pembayaran pada selembar kertas cek, yang dengannya jumlah uangnya di bank A akan berkurang, dan sebagai padanannya jumlah uang penjual mesin di bank B akan bertambah. Pembeli mobil bekas tidak harus ketakutan membawa-bawa uang dalam amplop tebal, karena pembayaran bisa dilakukan melalui ATM. Uang tabungannya di Bank C akan berkurang, dan uang si penjual mobil di Bank D akan bertambah sebagai padanannya.

Masyarakat dapat menjadi lebih tenang dengan menyimpan uang pendapatannya pada sistem perbankan, daripada disimpan di lubang bambu atau di bawah bantal. Masyarakat yang mendambakan punya rumah dapat memperoleh bantuan pembiayaan dari sistem perbankan, yang kemudian harus ia lunasi dengan mencicil setap bulannya, dan seterusnya. Dengan hadirnya sistem perbankan, maka kehadiran likuiditas/uang secara fisik/cash dapat secara drastis dikurangi dalam berbagai transaksi produktif maupun untuk memenuhi kebutuhan menyimpan nilai dan berjaga-jaga.Life becomes much easier.


Dari Mana Uangnya?

Karena tidak semua transaksi perlu dilakukan dengan uang cash, maka secara nasional uang/likuiditas dalam wujud fisiknya pada akhirnya hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan jumlah likuiditas (X+Y+Z) triliun, misalnya sebesar M triliun. Likuiditas inilah yang antara lain kita simpan dalam dompet, di balik kemben para penjual jamu, di bawah tumpukan baju dalam lemari, dan yang disimpan oleh sistem perbankan dalam brankas besi mereka. Dalam terminologi standard sistem keuangan, uang sebesar M triliun ini disebut sebagai “jumlah uang yang diedarkan” (Secara statistik juga meliputi jumlah likuiditas milik perbankan yang disimpan di bank sentral dan jumlah likuiditas yang sangat-siap-cair/liquid dalam rekening giro yang dikelola sistem perbankan).

Nah, tugas otoritas moneterlah yang harus menyediakan M triliun ini..dengan mencetak uang sebanyak M triliun tersebut. Tidak perlu sebanyak (X+Y+Z) triliun..tapi cukup sebanyak M Triliun. Koq bisa begitu? Karena M ini disebut high-powered money, karena ia ibarat sebutir benih yang mengandung potensi tumbuh dengan energi yang sangat besar menjadi berkali lipat dirinya. Bagaimana kemudian dlm prosesnya M triliun ini bisa menjelma menjadi jumlah uang yang jauh lebih besar dari dirinya, menjadi sebanyak (X+Y+Z) triliun sesuai kebutuhan?


Untung Ada Bank Lagi…

Bank lah yang menggandakannya! Bank memiliki checking accounts, jasa transfer antar rekening tabungan, teknologi ATM, dan skim-skim pembiayaan. Dengan segenap perangkat itulah, maka sistem perbankan mampu “menciptakan uang” (money creation). Pada fractional-reserve banking system, sistem perbankan bahkan mampu menawarkan berbagai produk dan menjanjikan berbagai pembiayaan kegiatan ekonomi sampai dengan nilai sebesar (X+Y+Z) triliun, meski di tangannya hanya memegang fisik likuiditas sebesar (M-R), dimana R adalah Reserve Requirement (cadangan wajib) yang harus ia simpan di bank sentral. Di bank terjadilah “multiplier effect” atau “money creation” ini. Apapun banknya: mau bank konvensional keq…atau bank syariah keq.


Bank Syariah Apa Donk Bedanya?..

Jadi, melalui bank syariah DAN bank konvensional....otoritas moneter melipatgandakan M triliun high-powered money..”uang benih”-nya. Mekanisme ”money creation” sama-sama terjadi di bank syariah DAN di bank konvensional. Fenomena ”multiplier effect” dari M triliun menjadi berlipat-lipat triliun juga sama-sama terjadi di bank konvensional DAN bank syariah. Lho? Jadi apa bedanya donk?

Ingat kembali, bahwa motivasi besar orang memiliki uang ada 3: untuk transaksi, untuk berjaga-jaga, dan untuk menumpuk harta ataupun spekulasi. Ingat juga, bahwa bank syariah tidak boleh memberikan pembiayaan kepada usaha2/transaksi yang spekulatif. Maka...dalam perekonomian yang sudah meluas penggunaan bank syariahnya, komponen spekulatif (Z triliun) bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan (jika seluruh transaksi dan instrumen ekonomi sudah bebas dari motif2 spekulasi). Z = 0 triliun.

Sehingga yang ada adalah (X+Y+ nol) triliun..yaitu jumlah kebutuhan likuiditas yang secara riil dibutuhkan oleh perekonomian. Dalam lanskap sistem ekonomi Islam dengan bank syariah sebagai ”saluran irigasi likuiditasnya”...,”urat nadinya”....dimana aktivitas spekulatif dan hoarding telah berhasil dinihilkan.....maka (X+Y) triliun ini benar-benar sudah terbebas dari non-productive activities.

Bank syariah secara nasional akan tetap melakukan “money creation” sebesar (X+Y) triliun. Bank syariah tetap akan ”menggandakan uang”, dari M triliun of high-powered money menjadi (X+Y) triliun. Dan ”multiplier effect” tetap terjadi di bank syariah. Tetapi.... jumlah uang yang di-multiplierkan/digandakan adalah dari M triliun menjadi (X+Y) triliun saja. Atau persis menjadi tepat yang dibutuhkan secara cukup oleh perekonomian riil produktif. Tidak ada excess likuiditas di sektor-sektor spekulatif. Tidak meluber kemana-mana.

Mungkin itu ya maksud si narasumber itu?....:)


Tulisan ini juga diposting di : Kompasiana iB Blogger Competition

.

Sabtu

The Outliers..(ndilalah) the Opinion Makers..

Menarik sekali mengikuti perjalanan sosialisasi bank syariah ke berbagai kalangan masyarakat, dan mengamati respon yang didapat. Berbekal peta profil segmen target market bank syariah yang lima jenis itu (segmen pokoknya syariah, ikut-ikutan, itung-itung-itungan, terpaksa, dan pokoknya bukan syariah), sepertinya segmen yang satu ini ndak tercatat di mana-mana :P

Sosialisasi ke mahasiswa adalah yang paling semarak. Idealisme audiens yang sedang di puncak-puncaknya, menjadikan suasana seminar atau diskusi atau roadshow paling bersemangat. Apalagi kalau event-nya dituanrumahi oleh kelompok studi atau forum kajian mahasiswa, biasanya auranya terasa lebih garang karena dibuka dengan mengangkat kepalan tangan dan teriakan takbir seperti rapat-rapat partai saja hehe. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pun tidak kalah bersemangat dan terkadang menghujat garang. Ada benang merah dari pertanyaan-pertanyaan di banyak event seperti ini: bank syariah tidak syariah !....Nah lho..

“Bank syariah sekarang kan masih nempel ke bank konvensional !..makanya tetep ga syariah !!”, tuduh salah seorang peserta.. “Duitnya aja nyampur tuhh..iiihh !!...”, tuduh seorang peserta putri dengan curiga. “ATM-nya aja jadi satu..gimana mau syariah ??!”, tuduh yang lain lagi. Hmm…mungkin karena mereka melihat banyaknya bank konvensional saat ini membuka Unit Usaha Syariah (UUS) semisal Bank Niaga Syariah, Bank Lippo Syariah, Bank Danamon Syariah, atau sebentar lagi ada Bank BCA Syariah. Dan biasanya ATM nya ya digabung jadi satu. Nasabah bank syariah kalau ambil uang tunai ya ke ATM milik bersama itu…

“Bank syariah itu kan cuma akal-akalan bisnis ! produknya sama dengan bank konvensional.Cuma dikerudungin aja kan ?!..” okee…sepertinya yang satu ini entah apakah ia sudah melihat secara mendalam skim/skema/akad yang mendasari produk2 bank syariah dan membandingkannya dgn skim/skema/akad produk bank konvensional?...atau sekedar nyomot judul produknya saja dari brosur gitu?...

“Bank itu bukan dari islam…ya ga syariah lah!...jadi, bank syariah itu ya bank-bank juga kan?!..”, cetus yang lain. “Bank itu menciptakan money multiplier effect…ga boleh lah. Nanti uang menciptakan uang. Bank syariah juga begitu kan ?!..” Hmm..yg ini pasti suka mbaca buku atau ikutan pelatihan tentang ekonomi syariah. Yang memberikan pemahaman kepada mereka tentang bank, bagaimana mekanisme operasional bank, serta apa peran bank dalam perekonomian modern…juga bahkan tentang bagaimana proses “penciptaan uang (likuiditas)” dalam sebuah sistem perekonomian modern…

“Bank itu produk sistem kapitalisme. Kita harus kaffah (=totalitas) dulu..ganti dulu semua sistemnya….semua subsistemnya….sistem ekonomi harus syariah dulu..!..” atau bahkan ..”Bank sentral-nya aja belum syariah….otoritas banknya aja belum syariah…gimana bank2nya bisa syariah ?!!...”. Nah yang ini biasanya sudah mahasiswa tingkat akhir ni, sudah lebih mendalam pengetahuannya tentang perbandingan sistem-sistem ekonomi. Bahkan seorang Doktor guru besar yang biasa jadi narasumber dimaa-mana tentang ekonomi syariah..bicara seperti ini..tentu dengan bahasa yang lebih halus. Bagi mereka, tidak mungkin ada bank syariah selama sistem besarnya tidak syariah. Entah apa yang dimaksud dengan sistem yang syariah itu..apakah dengan mengganti bank sentral dengan Baitul Maal ? Atau merubah semua bank-bank menjadi bank syariah semuanya? (tetep jadi bank juga siiih..) Atau mengganti sistem ekonomi nasional dengan sistem ekonomi syariah? Tapi gimana konkritnya? Entahlah…ilmu saya juga ndak nyandak hehe..

Memang sih pada akhirnya setiap kali “ditest” oleh pembicara, apakah mereka sudah punya rekening bank syariah.....bisa dihitung yang ngaku punya…dari sekian ratus yang hadir. Rata-rata di bawah sepuluh orang. Apakah itu karena keyakinan mereka bahwa bank syariah yang ada sekarang ini tidak/belum syariah, sehingga mereka ndak mau buka rekening syariah? Atau hanya sekedar fenomena khas dari karakteristik muslim negeri ini? (lihat tulisan saya sebelumnya: “Paradoks ber-bank syariah”). Apakah itu karena mereka sudah paham benar tentang bank syariah, sehingga bisa mencap bank syariah yang ada sekarang ini tidak syariah/belum syariah? Ataukah hanya sekedar gejolak darah muda yang selalu pingin “pokoknya saya beda !!...” :)

Tulisan ini diposting juga di: Kompasiana iB Blogger Competition

.