Kamis

Indonesiaku

Golden Moments. The picture was taken at the beach of Parangkusumo, Yogyakarta, Indonesia.A little boy was running on the beach and jumping over the waves, and this picture beautifully captured the happy moments before sunset...

.

Masih Pagi di Tugu. The picture was taken in the morning at Tugu of Yogyakarta, Indonesia with Digital SLR Canon EOS 5D.
.


Lifetime Devotion. Picture was taken on March 9, 2009 with Digital SLR Canon EOS 5D. Location: Siti Hinggil Pagelaran of The Palace (Kraton) of Yogyakarta, Indonesia. Siti Hinggil means "elevated land" in Javanese, while Pagelaran denotes an area close to the entrance which functions as a waiting place for the chief ministers (called "Patih" in Javanese) and their governing members before meeting the Sultan.

.


Blangkon Still Alive. Blangkon is a traditional javanese hat, the most popular hat in Central Java and Yogyakarta. The tricycle is called "becak", one of traditional mode of transportation in Indonesia.

.
Kereta Kencana. Kereta is a traditional javanese carriage. Kereta Kencana means the Royal Carriage which carry the King (Sultan) from the palace to places. This one is is the oldest carriage displayed at the Museum Kereta in Yogyakarta.

.

Sabtu

Ekonomi Rakyat siapa yang punya?...

Harus diakui pertanyaan yang bertubi-tubi tentang ekonomi rakyat seperti ini bersumber pada salah mengerti bahwa seakan-akan konsep ekonomi rakyat ini ditemukan dan diperkenalkan oleh Adi Sasono atau Mubyarto atau Sajogyo, dan alasan pengenalannyapun tidak ilmiah tetapi hanya untuk tujuan politik yang ”populis”, yaitu untuk ”memenangkan pemilu”.

Mudah-mudahan akan jelas bagi kita semua bahwa istilah ekonomi rakyat adalah istilah ekonomi sosial (social economics) dan istilah ekonomi moral (moral economy), yang sejak zaman penjajahan dimengerti mencakup kehidupan rakyat miskin yang terjajah. Bung Karno menyebutnya sebagai kaum marhaen.

Jadi ekonomi rakyat bukan istilah politik ”populis” yang dipakai untuk mencatut atau mengatas namakan rakyat kecil untuk mengambil hati rakyat dalam Pemilu.

Ekonomi Rakyat adalah kegiatan atau mereka yang berkecimpung dalam kegiatan produksi untuk memperoleh pendapatan bagi kehidupannya. Mereka itu adalah petani kecil, nelayan, peternak, pekebun, pengrajin, pedagang kecil dll, yang modal usahanya merupakan modal keluarga (yang kecil), dan pada umumnya tidak menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga. Tekanan dalam hal ini adalah pada kegiatan produksi, bukan konsumsi, sehingga buruh pabrik tidak masuk dalam profesi atau kegiatan ekonomi rakyat, karena buruh adalah bagian dari unit produksi yang lebih luas yaitu pabrik atau perusahaan. Demikian meskipun sebagian yang dikenal sebagai UKM (Usaha Kecil-Menengah) dapat dimasukkan ekonomi rakyat, namun sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat tidak dapat disebut sebagai ”usaha” atau ”perusahaan” (firm) seperti yang dikenal dalam ilmu ekonomi perusahaan.

Jika disadari bahwa buku Smith tahun 1759 berjudul The Theory of Moral Statements, padahal kita hanya mengajarkan ke pada mahasiswa kita buku ke duanya yaitu The Weath of Nations (1776), kiranya kita para dosen ilmu ekonomi harus mengaku ”berdosa” atau paling sedikit mengakui kekeliruan kita.

Mengapa mahasiswa ekonomi hanya memahami manusia sebagai ”homo ekonomikus”, dan bukan sebagai ”homo moralis” atau ”homo socius” ? Itulah, karena ilmu ekonomi kita ajarkan sebagai ilmu yang super spesialistik, yang matematik, sehingga sifatnya sebagai ilmu sosial menjadi hilang. Memang Kenneth Boulding telah berjasa mengingatkan bahwa ilmu ekonomi dapat dipelajari sebagai : (1) ilmu ekologi; (2) ilmu perilaku; (3) ilmu politik; (4) ilmu matematik; (5) ilmu moral.

Tetapi berapa banyak di antara kita yang membahasnya atau menyinggung di ruang kuliah sebagai ilmu moral? Sangat sedikit, karena kita lebih suka menganggap ilmu ekonomi sebagai ilmu positif (positive science), dan cenderung mengejek ekonom lain yang mengajarkannya sebagai ilmu yang normatif (normative science). Terhadap konsep Ekonomi Pancasila yang pernah mencuat di wacana nasional, ada Ekonom Senior kita yang mengejek bahwa “tidak ada gunanya mengajarkan ilmu surga di dunia”

Karena tidak banyak manfaatnya lagi mengingatkan kritik-kritik radikal terhadap ilmu ekonomi seperti Paul Ormerod dalam The Death of Economics (1994), (karena buku seperti ini pasti sudah ”disingkirkan” sejak awal), maka buku klasik Kenneth Boulding diatas kiranya lebih tepat untuk dikutip.

Our graduate schools may easily be producing a good deal of the ”trained incapacity”, which Veblen saw being produced in his day, and this is a negative commodity unfortunately with a very high price.(Boulding, Kenneth, E. Economics as a Science, Tata McGraw-Hill, Bombay 1970, op. cit.hal 156)

Kami sangat khawatir kita tidak terlalu peduli apakah sarjana-sarjana ekonomi yang kita hasilkan akan merupakan ”trained incapacity” atau bukan? Mudah-mudahan melalui diskusi-diskusi ini makin banyak dosen di fakultas-fakultas ekonomi yang tersadar, berpikir, dan menjadi peduli pada misi pendidikan kita sekarang dan di masa depan. Jika tidak kita patut bertanya, Quo Vadis Fakultas Ekonomi Kita?

Prof. Dr. Mubyarto : Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM dan Ketua Yayasan Agro Ekonomika http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_2.htm

.

Jumat

"Kesejahteraan": apa maksudnya?...

Kesejahteraan adalah janji yang tak pernah basi untuk dijual oleh siapapun yang ingin membeli banyak hati. Setiap pemimpin bersumpah akan membawa kesejahteraan bagi mereka yang dipimpinnya, tetapi banyak sudah janji yang tidak terpenuhi atau bahkan dikhianati. Menjadi sejahtera adalah mimpi semua manusia, namun tak banyak yang tahu kemana harus mengejarnya dan bagaimana menggapainya? Mencari kesejahteraan belakangan ini ibarat berputar-putar mengejar satu fatamorgana, untuk kemudian tersesat di fatamorgana yang lain yang menjanjikan pemuas dahaga namun lagi-lagi hampa, atau bahkan menjerumuskan kepada binasa.


Negara, sebagai suatu institusi supra kemana individu menyerahkan sebagian kekuasaannya (dengan sukarela ataupun dengan paksaan), tak lagi pernah berhasil menunjukkan bahwa ia mampu menghantarkan rakyatnya ke gerbang sejahtera. Sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi kini hanya bisa kita temui di dalam kisah-kisah seribu satu malam a la Sultan Harun Al-Rasyid atau kisah raja-raja peminang putri salju dan cinderella.


Apakah kesejahteraan (well-being) kini telah kehilangan makna? Sehingga kata itu hanya tinggal kerangka tanpa jiwa, yang bisa digunakan dan dilantangkan oleh siapapun (juga oleh negara) tapi tak pernah bisa menghidupkan jiwa-jiwa? Dimanakah ruh dari kata “sejahtera”? Sehingga ia bisa berdaya membebaskan dirinya dari belenggu perbudakan ideologi yang ditunggangi oleh kepentingan pribadi para penguasa, berdaya menghidupkan kesadaran individu dari tipuan berbalut jargon-jargon palsu, dan menjadi daya hidup bagi negara untuk menjadi seharusnya ia menjadi.


Amartya Sen dalam bukunya “Inequality Reexamined” (1992) menegaskan, bahwa kesejahteraan (well-being) tidak cukup diukur dari indikator agregat makroekonomi semisal GDP, GNP atau Real Incomes. Tidak pula memadai jika kesejahteraan hanya diukur dari kecukupan bahan pokok (primary goods) ataupun sumberdaya (air, energi, other resources). Negara yang memiliki tingkat GDP yang tinggi, seringkali masih menghadapi masalah kemiskinan dan kesenjangan akut di perekonomian domestiknya. Dua orang individu yang memiliki sumberdaya yang sama seringkali mencapai kemakmuran (wealth) yang berbeda.


Bagi Sen, primary goods dan resources baru merupakan “bahan dasar” yang masih perlu ditransformasi menjadi hal-hal yang memang menjadi karakteristik dari kesejahteraan. Dalam terminologi Sen, karakteristik kesejahteraan adalah tercapainya “functioning”. Dan untuk mencapai functioning tersebut, individu perlu memiliki "capability"...kemampuan untuk mentransformasikan bahan dasar yang dimilikinya menjadi kesejahteraan.


Functioning merupakan aspek paling esensial dari keberadaan seorang manusia. Ia bisa berupa keadaan konkrit, semisal terpenuhinya kebutuhan pangan, selalu dalam keadaan sehat, terhindar dari kematian (avoiding escapable morbidity), atau berupa kondisi abstrak semisal menjadi bahagia, dihormati, bebas dari rasa takut, bisa berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat (tidak terasing). Tercapainya keadaan/kondisi-kondisi tersebutlah yang sesungguhnya merupakan pencapaian kesejahteraan yang sebenarnya.


Capability merupakan berbagai kombinasi functioning yang bisa dicapai oleh seorang individu, dan oleh karenanya menentukan tingkat kesejahteraan yang mungkin dicapainya. Dua orang individu dengan sumberdaya yang sama, dapat memiliki capability yang berbeda. Misalnya individu yang cacat (handicapped) tentu saja memiliki keterbatasan dalam mengolah sumberdaya yang dimiliki dibandingkan dengan orang normal lainnya. Demikian pula, setiap individu memiliki variasi karakteristik personal masing-masing, misalnya perbedaan kekuatan fisik, kemampuan intelektual, tingkat kematangan, agresivitas usaha, dll, yang semuanya sangat mempengaruhi bagaimana ia mentransformasi sumberdaya. Yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kesejahteraan yang bisa dicapainya.


Capability adalah refleksi dari derajat kebebasan seseorang (person’s freedom) dalam mencapai well-being. Capability set seseorang meliputi berbagai kombinasi functionings, maka mencerminkan tingkat kebebasan seseorang yang berbeda untuk memilih di antara tingkat kehidupan yang mungkin baginya (freedom of choice). Well-being terwujud dengan dicapainya functioning. Dan keduanya, functioning DAN capability, secara tak terpisahkan harus menjadi definisi yang sesungguhnya dari kesejahteraan.

.