Rabu

Suka dan Duka Adalah Pelajaran DariNya...


Hati adalah kumpulan keadaan yang selalu berubah setiap waktu. Kadang ia menjadi gembira dan bersuka. Kadang ia menjadi suka dan berpedih. Begitu selalu sepanjang masa tidak ada habisnya. Hingga kita mencapai batas usia. Jangan hanyutkan dirimu dalam naik-turunnya irama hati. Karena ia hanya akan mengombang-ambingkanmu. Menyebabkan gundah dan was-was, dan jalan masuk bagi bisikan setan ke dalam hatimu.

Sesungguhnya semua keadaan hakikatnya dari Gusti Allah semata. Sukamu, dukamu, tawamu, airmata pedihmu, semuanya adalah anugerahNya untuk melatih jiwa dan hatimu. Tanpa duka, engkau tak pernah dewasa. Tanpa airmata, engkau tak menghargai bahagia...

Terimalah dengan lapang dadamu semua yang IA berikan pada hatimu. Sakit dan gembiramu adalah pelajaran/hikmah yang harus engkau pahami. Jangan berlarut dalam duka, jangan terlena dalam suka. PAda setiapnya ada makna tersembunyi, yang hanya bisa dilihat dengan mata jiwa.

Gusti Allah Maha Halus dalam mengajarkan hamba-hambaNya. IA sisipkan rahasia-rahasiaNya dalam setiap kejadian, agar hamba-hambaNya dapat mengambil pelajaran yang dalam yang harus dibaca dan diresapi artinya secara perlahan. Untuk jadi pegangan perjalanan kehidupan.

Pedih, ceria, duka, tawa...adalah keadaan hati yang senantias berubah dan terus berubah sepanjang masa. Hingga usia kita tiba di akhirnya. Janga larut, jangan terlena, jangan hanyut dalam perasaan. Ambil hikmah dan pelajaran. Dalam dukamu ada cerita mulia. Dalam sukamu ada kisah mulia. Cari dan temukan kemuliaan itu dengan keikhlasan penerimaan kepada semua takdirNya!

.....

Ikhlas Kita...

Ikhlas adalah meyakini, bahwa semua yang diberikan olehNya adalah yang terbaik untuk kita. Meskipun terlihat pedih dan berat untuk dijalani, tetapi semuanya untuk kebaikan ruh dan jiwa kita. Hamparan kenyataan yang diberikan olehNya adalah jalan terbaik bagi jiwa makhluqNya. Tanpa terkecuali. Maha Suci Gusti Allah yang memelihara alam semesta ini mulai dari alam kecil hingga alam raya yang sebesar2nya.

Keikhlasan kita akan membuka hati kita kepada cahayaNya, yang memancar menerangi relung jiwa kita. Menjadi penerang bagi perjalanan kita dalam melintasi kehidupan ini.
Ikhlas dalam berkehidupan, adalah ikhlas melihat dan menerima semua ketetapanNya. Baik maupun buruk di mata manusia. Semuanya bukanlah percuma, karena semuanya diciptakan Alloh untuk kebaikan yang paripurna buat manusia. Semuanya.

Lupakan Saja...


Kesalahan sebesar apapun janganlah menghalangi dirimu dari berbaik sangka kepadaNya, karena tak ada dosa yang terlalu besar di hadapan keMaha Rahmaan dan RahiimanNya. Jika kita masih mengandalkan amal kita dalam mengharapkan kasihsayangNya, maka kita akan menjadi pesimis dan patah harapan manakala kita berbuat salah sementara amal kita rasanya baru sedikit. Padahal kepadaNya lah kita semestinya bergantung. Karena mengandalkan amal, malah bisa melahirkan rasa kesombongan spiritual. Menyandarkan diri kepada amal dan ketaatan kita yang banyak, malah bisa melahirkan perasaan paling benar dan paling dekat kepadaNya.

Gusti Allah lah yang Maha Berkehendak, dan IA berkehendak memilih siapapun yang IA kehendaki. Kesalahan yang kita alami hanyalah peringatan untuk memperkuat kesadaran kita sebagai hamba yang penuh kelemahan dan kelalaian. Ketersesatan kita adalah pembangkit kesadaran akan kehendak, rahmat, dan kemurahanNya. Kebesaran ampunan Gusti Allah tidak bisa dilampaui oleh seluruh dosa-dosa hambaNya. Ampunan Gusti Allah lebih agung, lebih besar, lebih kinasih pada hamba-hambaNya yang bertobat.

Maka, lupakanlah kesalahan dan ketersesatan di masa lalumu. Menyebut-nyebut suasana musim kemarau di tengah musin hujan, sama halnya dengan musim kemarau itu sendiri. Taubat adalah melupakan dosa-dosa masa lalumu. Bagaimana bisa, hati yang telah dipenuhi oleh asmaNya dan mengingat kasihsayangNya akan mengingat selainNya??...

.

Sabtu

Dalam Pemeliharaan Paripurna

Gusti Allah lah yang telah menciptakan alam semesta ini, mulai dari makhluq yang terkecil hingga yang memenuhi alam raya. IA Maha berkuasa untuk memelihara semuanya sebaik-baiknya, dan ilmuNya meliputi apa-apa yang tampak maupun yang tidak nyata

Gusti Allah lah yang Maha kaya, Yang menjamin rizki semua makhluqNya..bahkan menghidupi semut2 yang engkau temui di kamar mandimu. Apa yang mereka makan dari sana? Mereka terus berkembang biak dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, dan sepanjang masa hidupnya...

Gusti Allah memelihara kita. Dalam kebaikan yang paling paripurna. Untuk kebaikan bagi aku, engkau dan semua...


.

Kamis

diam...dan saksikan keindahan...


Sesungguhnya setiap titik pada lintasan hidupmu adalah dalam rencana azaliNya. Setiap lintasan, setiap persimpangan dan persinggungan, adalah dalam kehendak dan rencanaNya yang paripurna. Setiap perjumpaan, kebersamaan, dan perpisahan bukanlah ketidaksengajaan. Takdir kita...adalah hasil dari bertumpuknya ketetapan, yang saling berhubungan dengan sarana sebab akibat. Kita merasa memilih dengan pengetahuan dan akal kita, tapi dalam keMahapengetahuanNya....semua "pilihan" adalah titik semata...

Rencana dan ketetapan-Nya tidak mungkin bisa ditolak oleh siapapun, juga tidak akan bisa dihalang-halangi oleh apapun. Menyerahlah, niscaya engkau akan bisa nyaman beristirahat. Engkau boleh saja menolak adanya malam dan siang, namun malam tetap akan menjelang, meski engkau membencinya, begitu pula siang. Keduanya tetap akan datang bagaimanapun sikapmu. Begitulah takdir akan terus berjalan, suka atau ndak suka.

Jika tiba malam kefakiran, maka terimalah dan ucapkan selamat tinggal kepada siang kekayaan. Jika datang malam kesakitan, maka terimalah dan ucapkan selamat tinggal kepada siang kesehatan. Jika tiba malam yang kau benci, maka terimalah dan ucapkan selamat tinggal pada siang yang kau sukai. Sambutlah malam sakit dan derita, kefakiran, kerendahan dan kehancuran kehormatanmu dengan hati yang lega. Jangan menolak apapun yang telah ditetapkanNya, karena engkau akan binasa, bahkan imanmu akan sirna, hatimu akan kotor ternoda. Jangan memberontak atau meronta, karena nuranimu akan nelangsa.

Memohonlah kepadaNya agar membuat kita ridla dengan keputusanNya dan sabar dengan apa yang kita alami. Penderitaan, kesalahan, dan ketersesatan..adalah jalan sebab kepada rasa butuh kita, sehingga kita mau bertaubat dan berdoa kepadaNya, menangis dan mendamba kedekatan serta perhatianNya. Bersikap tenanglah di hadapan takdirmu.

Diam... Niscaya akan kau saksikan keajaiban-keajaiban terungkap kepadamu. Diam... Maka akan kau saksikan bagaimana Gusti Allah mengubahmu, membolak-balik dirimu... dan mengurai keindahan dari balik semua yg berlaku...

.

Minggu

Perdukunan ga Ilmiah? ...



Perdukunan itu ilmiah ga sih? Jamu-jamu an itu ilmiah ga sih? Pengobatan dari “orang pinter” itu rasional ga sih? Sering sekali kita malah dimarahi dokter, ketika ketauan sudah diam-diam minum “obat cina” untuk mengobati demam berdarah kita. Atau jamu sambiroto untuk diabetes kita. Atau ketauan karena diam-diam minum jamu temulawak yang dibawa oleh Ibu sepuh kita, untuk mengobati Hepatitis. Atau dibawakan saudara kita yang baik hati…sebotol air putih yang katanya oleh-oleh dari Syekh Gurunya untuk menyembuhkan kita. “Itu pengobatan yang tidak ada acuan medisnya !” atau “Aah…itu kan cuma mitos !” atau “Tidak rasional !!...” begitu kata mereka.

Apa sih “ilmiah” itu? Apa sih “rasional” itu? Dalam prakteknya, “ketidakilmiahan” suatu metode ataupun “irasionalitas” suatu teori selalu dikaitkan dengan teori, sistem pengetahuan atau paradigma yang sedang berlaku. Suatu metode seringkali divonis “tidak ilmiah” hanya karena metode tersebut tidak bersesuaian (not conform) dengan teori yang sudah mapan dan diakui umum. Seakan-akan metode,hukum dan teori yang sudah ada merupakan satu-satunya acuan yang mutlak benar yang tidak boleh digugat kebenarannya. Maka berbagai metode pengobatan alternatif misalnya yang menggunakan jamu tradisional, racikan obat cina, herbal, terapi aura ataupun pengobatan dengan mantra/doa pada suku-suku asli pedalaman ditolak oleh ilmu kedokteran modern dan dicap “tidak ilmiah” serta “tidak rasional”. Penolakan yang semata disebabkan oleh ketidaksesuaian metode-metode “aneh” tersebut dengan kerangka dan sistematika Ilmu Penegtahuan yang telah mapan diakui.


Paul Karl Feyerabend (1924-1994), seorang science-philosoper kelahiran Austria, menolak pemikiran yang menyimpulkan bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya cara dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan menentukan kemajuan intelektual kemanusiaan. Menurutnya, tidak terdapat satupun aturan tunggal, sistem maupun hukum perkembangan apapun yang bersifat universal yang dapat menjelaskan seluruh perkembangan ilmu pengetahuan. Setiap ilmuwan memiliki kebebasan kreatif dalam upayanya memahami realitas, bahkan dengan metodologi yang dinilai “tidak ilmiah” ataupun “irasional” sekalipun. Dalam perjalanan sejarahnya ilmu pengetahuan telah diperkaya oleh berbagai metode “tidak ilmiah” dan fakta-fakta yang “tidak rasional” dari herbalism, psikologi, metafisika, keilmuan para “orang pintar”, dukun tradisionil ataupun dukun modern yang sudah beriklan di tivi, dukun beranak, hikmah para sufi, pertapa, dan lain-lain yang semuanya telah memperkaya perspektif kita.

Fakta-fakta yang teramati secara empiris tidak pernah cukup kuat untuk menjadi landasan bagi kita dalam menerima atau menolak suatu teori. Karena metodologi yang kita gunakan selalu terlalu sempit dan mereduksi terlalu banyak segenap kompleksitas realitas yang ingin kita pahami. Sementara itu cakrawala realita sangatlah luas tak bertepi. Dan bentangan Ilmu Pengetahuan bak samudera yang dipenuhi oleh berbagai ide dan teori yang seringkali saling tidak bersesuaian, namun keseluruhannya sesungguhnya membawa kandungan mimpi dan harapan yang sama akan pengetahuan sempurna tentang realita.

“Theories are surrounded by an ocean of anomalies, unless we modify the stern rules of falsification using them only as rule of thumbs, and not as necessary conditions for scientific procedure….that strict falsification would wipe out science as it presently exists, and would never permit it to have come into existence.” (Hickey,Thomas J.,“History of Twentieth Century Philosophy of Science,” Book VI, hal.78, 1995,2005)

Kita dituntut untuk terus membuka dirinya terhadap fakta-fakta, metode, dan teori yang terhampar di sekitar kita. Untuk terus berfikir out of the box. Untuk mencermati fakta-fakta yang secara sepintas dinilai sebagai “tidak ilmiah” ataupun “tidak rasional” dilihat dari kacamata ilmu pengetahuan yang (saat ini) diyakininya. Realitas adalah terlalu kompleks untuk dapat dipahami hanya dengan mengandalkan satu atau dua teori mainstream, karena alam masih menyimpan banyak rahasia baik yang nampak maupun yang tidak dapat diindera. Pengetahuan manusia tentang apa yang ada di dalam dirinya saja, tentang ruh dan jiwa misalnya, masih sangat minim. Apalagi pengetahuan tentang alam semesta jauh di balik bintang sana ataupun di balik dimensi kasat mata. Hanya dengan merendahkan hati untuk menerima keterbatasan pengetahuan yang telah dimilikinya, maka manusia dapat lebih maju dengan menerima pemikiran-pemikiran lain yang berbeda.

Jadi..pilih ke dukun atau minum jamu?....:P



Tari Ronggeng, a traditional Batavian Dancing.

The Biggest Secret..FInally Revealed !!


Saya senyum saja di dalam hati. Sudah terlalu sering saya mendengar tentang yang satu ini. Hampir tiga tahun melihat dan mendengarkan hal yang sama, dari forum ke forum, dari seminar ke seminar, talkshow di tivi dan radio, dari diskusi ke diskusi. Para ”pakar” ekonomi syariah dan perbankan syariah, para aktivitis, komentator, pejabat bahkan para petinggi tak pernah bosan dengan yang satu ini. Seakan jika sudah ngomong ini, maka sah-lah kompetensi keilmuannya dan pengetahuannya tentang ekonomi syariah. Dan nampaknya tidak ada yg peduli untuk mengecek validasi kebenaran klaim yg satu ini: bank syariah kebal dari krisis ekonomi!

Argumentasi yang selalu dikatakan (selain dari bahwa bank syariah dibangun berdasarkan ”blueprint” buatan Tuhan sendiri, sehingga sudah pasti paling sempurna) adalah bahwa bank syariah bebas dari dinamika perekonomian yang berbasis suku bunga. Sehingga ketika krisis ekonomi terjadi, dan suku bunga sistem perbankan nasional ataupun global bergejolak, bank syariah yang tidak berbasis suku bunga akan aman. Kan ga pake suku bunga..ya pastilah ga terpengaruh. Begitu mungkin fikir mereka. Krisis ekonomi? Ga akan berdampak kepada bank syariah. Bank syariah akan tetap survive karena memiliki kekebalan hebat. Bank syariah immune terhadap krisis ekonomi!..

Tapi benarkah begitu? Ya, tapi hanya jika bank syariah buka di atas awan..tidak nrima tabungan atau ngasih pembiayaan apapun ke manusia bumi di bawah sini. Atau..hanya jika bank syariah hidup di dalam gelembung plastik steril dan tidak berhubungan fisik dgn orang lain. Ingat film lawas The Boy in the Plastic Bubble? Nah seperti itulah kira-kira... :p

Tapi, tentu saja bank syariah tidak hidup di dalam gelembung plastik steril. Ia juga berinteraksi dengan dunia luar, dengan nasabah yang menyimpan tabungannya, dengan nasabah yang dibiayainya, dengan para suppliers yang mendukung operasional sehari-harinya, dengan perusahaan induknya, dengan para investor, pemilik modalnya dan pemegang sahamnya. Nasabah yang proyek2nya dibiayai oleh bank syariah tetap terpengaruh oleh dinamika apapun yang berdampak kepada kelangsungan proyeknya. Pembiayaan dari bank syariah, tidak otomatis melindunginya dari resiko terburuk usahanya.

Case Satu: Krisis Bank Syariah Akibat Menurunnya Perdagangan Dunia

Misalnya akibat krisis global maka penduduk di negara2 di Eropa atau AS berkurang kemampuan konsumsinya. Maka permintaan terhadap barang impor..misalnya Kijang Inova dari Indonesia, atau tembakau atau sandal jepit dari Indonesia berkurang. Kalau yg menunda pembelian sandal jepit cuma satu dua orang Amerika, ga ngaruh lah. Tapi urusan ekspor impor sudah juta-juta dollar itung2annya. Dan penurunan permintaan bisa menyebabkan sebuah pabrik di Indonesia bangkrut dan tutup. Pemilik pabrik ga bisa mbayar cicilannya kepada bank. Maka banknya terkena musibah kredit macet. Sama saja jika pabrik itu dibiayai oleh bank syariah..mo pake skema murabahah keq, mudharabah keq, ijaroh keq….bank syariahnya tetep kena imbasnya. Tidak kebal.


Case Dua: Krisis Bank Syariah Akibat Gejolak Suku Bunga

Misalnya karena satu hal maka otoritas moneter menaikkan BI Rate. Biasanya karena alasan untuk menjaga stabilitas harga2 (inflasi) secara forward-looking alias antisipatif. Bank-bank yang beroperasi berbasis suku bunga, tentu saja kemudian mengikuti dengan menaikkan suku bunga..termasuk suku bunga kreditnya. Karena sekarang kredit jadi ”mahal”, maka tidak banyak pengusaha yang ambil kredit dan kegiatan investasi berhasil direm, sehingga mesin ekonomi tidak menjadi ”panas”.

Bagaimana dengan bank syariah? Tentu saja kenaikan suku bunga tidak berdampak langsung kepada bank syariah, krn tidak berbasis suku bunga. Tetapi dampak tidak langsungnya tetap ada: Penurunan aktivitas perekonomian (krn direm) akan berakibat menurunnya profit usaha....yang ujung2nya menurunkan bagi hasil yang bisa diberikan. Jika aktivitas ekonomi menurun sangat tajam, maka bagi hasil bisa menjadi sangat kecil. Dampaknya dilematis bagi bank syariah: memangkas margin keuntungannya demi mempertahankan bagian nasabah....atau kehilangan nasabahnya. Siapa sih yg mau nabung di bank syariah kalau bagi hasilnya kecil bangettt?. Jadi, dinamika suku bunga akan tetap mempengaruhi dinamika bank syariah. Tidak kebal.

Catt: menariknya, kenaikan suku bunga akan berkorelasi negatif dgn bagi hasil. Suku bunga yang naik, akan menyebabkan perlambatan aktivitas investasi usaha..sehingga menyebabkan bagi hasil yang lebih kecil. Fair..tetapi tidak selalu bisa diterima oleh semua orang. But that’s life...


Case Tiga: Krisis Bank Syariah Akibat Gejolak Nilai Tukar

Tiba-tiba saja nilai tukar rupiah bergejolak. Biasanya karena faktor sentimen akibat gejolak sosial-politik-keamanan domestik. Tiba2 saja masyarakat lebih suka megang dollar daripada rupiah, sehinga semuanya beli dollar dan akhirnya rupiah terpuruk. Dollar yang ”mahal” akan memukul dunia industri, begitu kata para pengamat ekonomi.

Pertama....bahan baku, barang modal yang dibeli dari luar negeri..tiba2 harganya mahal sekali. Sehingga biaya produksi menjadi meroket (termasuk juga biaya investasi dan operasional bank syariah). Ini mengurangi profit mereka atau malah bisa bangkrut krn ada banyak juga yang tidak mampu lagi beli bahan baku.

Kedua....pembiayaan/kredit dalam dollar (bank syariah juga memberikan pembiayaan dalam Dollar lho..) tiba-tiba harus dibayar dgn rupiah yang lebih banyak. Banyak perusahaan yang sekarat akibat kewajiban2 valasnya jika dinilai dalam rupiah jadi membengkak (perusahaan2 ini jualan di Indonesia, jadi pendapatannya ya dalam rupiah..yg menjadi semakin menciut nilainya). Banyak perusahaan yang tiba2 networth nya jadi menguap dimakan utang...alias aset lebih kecil daripada kewajiban2. Bayangkan jika perusahaan itu dibiayai oleh bank syariah...tetep jadi pembiayaan macet..dan jika banyak sekali, maka bank syariahnya tetep akan masuk ”rumah sakit” (dulu ada BPPN). Tidak kebal.


So What? Bank Syariah memang tidak kebal terhadap dinamika apapun di dunia di dalam mana ia hidup. Bank syariah memang tidak kebal terhadap krisis. Inilah yang harus disadari dan diakui oleh mereka, para penggiat ekonomi dan perbankan syariah yang sering jadi pembicara di talkshow seminar diskusi...dan para ”pakar” serta para ”ahli ekonomi syariah” yang ngajari anak-anak muda yang sedang semangat2nya belajar.

Lepaskan semua jargon dan atribut simbol2 apologetik yang berbunga-bunga, maka yang tinggal dari bank syariah hanyalah business agreement (akad, skema keuangan) yang sama fragile-nya dengan business agreement manapun di hadapan krisis ekonomi.

Dan hanya dengan demikian kita bisa dengan jujur dan rendah hati mengatakan, bahwa..

"Islamic finance was not going to be immune from the crisis; whilst they have no toxic assets, Islamic financial institutions do have concentration issues of their own in sectors like regional private equity and real estate. However, it is generally believed they are still in better shape than many conventional banks and so will be better placed to exploit the upturn when it comes ...” (pada suatu diskusi internasional)

Jadi….jangan mau dibohongi ah…

Sabtu

chick lit



Pasar Ngasem, Yogyakarta, Indonesia. Anak-anak ayam ini dibasuh warna-warni pewarna oleh penjualnya, ditaruh di dalam sebuah kotak kardus. Untuk menarik hati anak-anak kecil yang sedang dibawa orangtuanya belanja di pasar ngasem, Yogyakarta.

take me out, ladies....

Di malam-malam akhir pekan kini saya punya hobi baru: nonton acara tivi baru take me out, Indonesia. Setelah semingguan penat dengan urusan yang serius-serius, kini saya bisa bersantai merehatkan fikiran dan berhaha-hihi di depan layar kaca..menyaksikan sebuah dating show yang saat ini sedang menjadi trend baru reality show di negeri ini. Buat anda yang alergi sama hal-hal berbau barang impor kebarat-baratan, jangan khawatir karena acara “biro jodoh” live ini juga menghadirkan nuansa budaya tradisionil nusantara…seperti tari pendet..reog ponorogo..hanoman….plus seorang “ustadz cinta” bagi anda yang membutuhkan rasa “tenang” di hati ketika nonton acara ini. Seorang ustadz beneran…yang bertugas memberi wejangan rohani dan hikmah-hikmah kepada pasangan-pasangan yang berjodoh di acara tersebut…hehe…seru dan lucu :P


Dating show diawali dengan masuknya 30 wanita singles (masih gadis atau widow ataupun single parent) yang semuanya tampil cantik, modis, dan penuh percaya diri. Semuanya bersemangat untuk mencari pasangan dan jodohnya di acara ini…dengan cara memencet (atau tidak memencet) tombol lampu di meja di depannya masing-masing.

Selanjutnya satu-satu pria dihadirkan dari balik tabung bertirai…semuanya ganteng dan bergaya (beberapa juga sangat narsis hehe..) masuk dengan style nya masing-masing. Ada yang bergaya casual, ada yang tampil secara mewah, ada yang pake baju lurik dan blangkon..ada yang ditandu a la raja mesir kuno !! Bebas-bebas saja…untuk menarik hati ketigapuluh peserta wanita. Setiap peserta pria pun diberi kesempatan untuk memperkenalkan dirinya: nama, status, pekerjaan/profesi sehari-hari..

Dan bagian paling serunya adalah: saat peserta wanita menentukan. Mereka yang terpesona pada pandangan pertama..atau tertarik pada penampilan pertama...atau terpikat pada kesan pertama…akan membiarkan lampu mejanya menyala. Turned On. Artinya mereka berminat untuk mengenal si pria lebih jauh. Yang tidak tertarik, akan memencet tombol dan mematikan lampunya. Turned Off. Penonton pun berseru...”waaaahh....” ketika banyak lampu yang masih menyala. Dan berseru ”oooooohhhh.....” ketika banyak lampu dimatikan. Sebagian terbahak. Sebagian merasa kasihan ketika semua lampu ternyata dimatikan....artinya si pria nggak laku. Dari 30 peserta wanita, tidak ada satupun yang berminat mengenalnya. Dan harus pulang tanpa gandengan...(salah satunya ya yg masuk digotong pake tandu a la firaun...dan yg pake lurik plus blangkon itu. Maaf yaa..)

Hmmm.......first impression does matters! Kesan pertama itu ternyata penting lho. Makanya kita sibuk berdandan dan berapih ketika mau bertemu calon mertua. Makanya kita berdandan se-perfect mungkin ketika wawancara kerja. First impression DOES matters!

Hehehe..tiba-tiba saya tertawa geli. Sebuah bayangan gila melintas: jika yang dihadirkan dalam dating show itu adalah iB (ai-Bi) bank syariah…udah kebayang tinggal berapa lampu yg menyala: 1 lampu saja ¡!..omg!...(note: nasabah bank syariah saat ini 5,3 juta orang..dibandingkan dgn nasabah bank konvensional 100 juta..jadinya sekitar 5%-an lah). Dan jika sang single iB dihadirkan berkali-kali episode…hmm….selama 17 tahun episode pegembangan bank syariah selama ini…..lampu yang menyala…ya tetep 1 lampu itu saja! Bank syariah nggak laku-laku!..Omg…..


First impression does matters. Dan inilah kesan pertama bank syariah di mata para peserta (baca: masyarakat umum), yang diambil dari dokumen resmi hasil survei otoritas perbankan indonesia (dibahasakan ulang disini):


• Bank Syariah? Untuk orang yang mau naik haji saja…
• Bank Syariah kan untuk orang muslim saja…
• Produk bank syariah? ya cuma ada tabungan bagi hasil saja
• Bank Syariah? “Syariah” bangett ssiih?..jadi takuut…(sangat menekankan simbol-simbol keagamaan)…bukan gue bangett….
• Pinjamannya tanpa bunga, tapi ya sebenernya sama lah dengan bank konvensional…cuma beda istilah aja….
• Kebanyakan pake istilah-istilah arab..ribett...ga ngertiiii...
• Jaringannya terbatas, susah nyari kantornya...
• Fasilitas layanan sering ga bisa dipake...cuma bisa buat nge-check saldo..teller-nya luamaa banget servicenya....susah ngambil duitnya...

Wadoooh!...Ditambah lagi dengan kesan pertama yang tertangkap di kalangan masyarakat yang sudah pernah saya ceritakan di artikel saya dulu ”Yang Ringan dan Lucu (Sedikit Lucu)”..

Lengkap sudah first impression tentang iB (ai-Bi) bank syariah ini...Ga heran meski sudah ditampilkan berkali-kali (17 tahun episode)...cuma satu lampu yang nyala. Ibarat komentar mencemooh seorang peserta wanita terhadap sang pria yang bergaya firaun, lengkap dengan asesoris2 emas imitasi dan kostum sinetronnya, masuk dengan ditandu 4 orang ”budak2nya”......”omg..you are too much!...” (lebayy)

and you are turned OFF ......maaf yaa...

Tulisan ini juga diposting di iB Blogger Competition di Kompasiana.

..

Minggu





Kaca Patri di Gedung Lawang Sewu,Semarang,Jawa Tengah,Indonesia. July 22nd.2009

Rabu

yang ringan dan lucu (sedikit lucu)

Bank Syariah? Coba tebak kira-kira apa persepsi orang kebanyakan tentang sistem perbankan yang satu ini? Lucu-lucu lho. Ndak bisa disalahkan juga…jika masyarakat kebanyakan tidak memiliki pemahaman yang cukup seperti yang dimiliki oleh mereka para aktivis dan penggiat ekonomi syariah ataupun bank syariah. Inilah persepsi mereka, sebagaimana tertangkap dalam suatu survey persepsi dalam rangka mapping target market bank syariah (dialog tidak persis sama, tapi intinya sama):

Scene satu:
Ditanyakan kepada seorang responden, “Ibu,..sudah punya rekening bank syariah?”
Dijawab sama si-Ibu, “Mmm..belum”
Ditanya lagi, “Kenapa belum, Bu?....”
Ibu menjawab, ”Kan..bank syariah itu bank cuma buat orang muslim aja...”

Scene dua:
Kepada responden ditanya, ”Sudah punya rekening bank syariah, Mas?”
Si Mas menjawab, ”belum laah..”
Ditanya, “Kenapa belum, mas?...”
Jawab si Mas, “yahh..hidup saya aja masih ga benerr. Ga brani pake bank syariah”


Scene tiga:
Yang mensurvei nanya, “Mbak..mbak…sudah pernah ke bank syariah?”
Si Mbak ketawa, “Hihii..sering liat sih..tapi blum brani masuk..”
Ditanya, “Lho? Kenapa ga brani masuk?”
Jawab si Mbak lagi, ”....Blum brani, mas…belum tobat!...”


Scene empat:
Kepada responden yg keliatannya udah alim ditanya, “Sudah punya tabungan syariah ?”
Si Uda dengan halus menjawab, ”belum...”
Ditanya lagi, ”kenapa belum?...”
Dijawab Uda, ”Anu....saya belum maqom-nya” (kayak tasawuf aja hehe..)


Scene Lima:
Kepada si Bapak ditanya, ”Bapak tau nggak kalo di bank syariah punya deposito juga?”
Si Bapak heran, ”O yaa?...kirain itu bank cuma buat nabung ongkos naek haji doank??!...”


Hmm....kenapa yaa bank syariah dipersepsikan lebih sebagai sebuah ”entitas religius” dan bukan sebagai ”entitas bisnis bank”? Kenapa yaa..aura bank syariah koq lebih seperti aura lembaga dakwah, pengajian, musholla atau malah tarekat ? Dan bukan aura lembaga banking penyedia jasa keuangan? Kenapa yaa...koq bank syariah sampe bisa dikait2kan dengan urusan tobat-menobat dan bener-ga bener hidupnya (calon) nasabah? Kalo hidup belum bener..rasanya ga brani masuk bank syariah? Kalau sudah tobat, sudah bener, dres-code sudah ”syariah”..baru boleh ke bank syariah. Koq bisa begitu yaa?..padahal di bank konvensional, dateng mo pake jas keq..mo pake celana pendek keq..mo pake sarung keq..bebas-bebas aja lagee..Koq bukannya dikaitkan dengan urusan penyedia solusi keuangan/berbank?? Siapapun, pake pakaian apapun..kalo ada masalah keuangan ya bisa dateng. Welcome- welcome aja. Koq bisa yaa??..citra yang melekat kepada bank syariah adalah bank nya khusus orang muslim saja..jadi orang non-muslim ndak bisa make jasa bank syariah??

Hmm.....jadinya ya ndak aneh kalo bank syariah jualan di indonesia udah 17 tahun...nasabahnya baru dapet 5 juta orang ! (Padahal di bank konvensional udah ada lebih dari 100 juta rekening lho).

Tulisan ini diposting juga di: Kompasiana iB Blogger Competition
.

Minggu

Bank Syariah Tidak Menggandakan Uang?...Ah Masaa ?!..

Pernyataan itu mengusik nalar saya, ketika pada sebuah forum diskusi keilmuan seorang narasumber yang terpelajar dengan menggebu-gebu menyatakan bahwa kelebihan bank syariah dalam konteks makro-moneter adalah “tidak ada multiplier effect dari bank syariah!”. Bahwa, katanya, “tidak terjadi penggandaan uang oleh bank syariah”…dan “bank syariah tidak menciptakan uang”..”tidak ada money creation” sebagaimana yang dilakukan oleh sistem perbankan yang lain. Hmm….benarkah?..

Kenapa kita membutuhkan uang? Berbagai ragam motivasi kita. Uang yang ada di dalam dompet kita, kita perlukan untuk membayar karcis busway misalnya. Atau untuk mbayar jasa ojek motor atau bertransaksi membeli sesuatu Uang yang kita selipkan di bawah bantal atau di dalam koper, misalnya untuk berjaga-jaga (precaution) jika ada sesuatu yang darurat, sehingga kita punya uang cash sebagai pegangan. Uang di celengan ayam kita, uang yang ada di rekening tabungan kita, bisa jadi dalam rangka kita menumpuk uang (hoarding dan spekulasi) supaya kelak bisa beli motor baru atau rumah.

Di bank sentral sbg otoritas moneter, setidaknya dicatat tiga motivasi besar kenapa masyarakat memegang uang: transaction motives (misalnya sebesar X triliun rupiah), precautionary motives (sebesar Y triliun), dan speculative & hoarding motives (sebesar Z triliun). Sehingga total kebutuhan likuiditas yang harus disediakan oleh otoritas moneter adalah (X+Y+Z) triliun.

Bagaimana kemudian likuiditas sebesar (X+Y+Z) triliun rupiah itu dapat disediakan oleh otoritas moneter? Apakah kemudian otoritas moneter harus mengeluarkan uang cash dari khazanahnya sebanyak (X+Y+Z) triliun tersebut seluruhnya? Sehingga semua orang yang membutuhkan uang tersebut (sebagai alat ukur nilai, alat bayar, dan alat penyimpan nilai) dapat memegang uang tersebut secara fisik dalam genggamannya masing-masing? Dapatlah dibayangkan berapa besar uang yang secara cash harus diedarkan oleh otoritas moneter!!....

Untung Ada Bank

Syukurlah, bhw kehadiran sistem perbankan sebagai sebuah entiti perantara (intermediary) kemudian dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memperlancar penyediaan likuiditas bagi berbagai transaksi ekonomi yang mereka perlukan. Para pemilik pabrik tidak harus menjinjing koper penuh uang ke toko yang menjual mesin-mesin produksi. Untuk melakukan pembayaran, mereka cukup menuliskan nilai pembayaran pada selembar kertas cek, yang dengannya jumlah uangnya di bank A akan berkurang, dan sebagai padanannya jumlah uang penjual mesin di bank B akan bertambah. Pembeli mobil bekas tidak harus ketakutan membawa-bawa uang dalam amplop tebal, karena pembayaran bisa dilakukan melalui ATM. Uang tabungannya di Bank C akan berkurang, dan uang si penjual mobil di Bank D akan bertambah sebagai padanannya.

Masyarakat dapat menjadi lebih tenang dengan menyimpan uang pendapatannya pada sistem perbankan, daripada disimpan di lubang bambu atau di bawah bantal. Masyarakat yang mendambakan punya rumah dapat memperoleh bantuan pembiayaan dari sistem perbankan, yang kemudian harus ia lunasi dengan mencicil setap bulannya, dan seterusnya. Dengan hadirnya sistem perbankan, maka kehadiran likuiditas/uang secara fisik/cash dapat secara drastis dikurangi dalam berbagai transaksi produktif maupun untuk memenuhi kebutuhan menyimpan nilai dan berjaga-jaga.Life becomes much easier.


Dari Mana Uangnya?

Karena tidak semua transaksi perlu dilakukan dengan uang cash, maka secara nasional uang/likuiditas dalam wujud fisiknya pada akhirnya hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan jumlah likuiditas (X+Y+Z) triliun, misalnya sebesar M triliun. Likuiditas inilah yang antara lain kita simpan dalam dompet, di balik kemben para penjual jamu, di bawah tumpukan baju dalam lemari, dan yang disimpan oleh sistem perbankan dalam brankas besi mereka. Dalam terminologi standard sistem keuangan, uang sebesar M triliun ini disebut sebagai “jumlah uang yang diedarkan” (Secara statistik juga meliputi jumlah likuiditas milik perbankan yang disimpan di bank sentral dan jumlah likuiditas yang sangat-siap-cair/liquid dalam rekening giro yang dikelola sistem perbankan).

Nah, tugas otoritas moneterlah yang harus menyediakan M triliun ini..dengan mencetak uang sebanyak M triliun tersebut. Tidak perlu sebanyak (X+Y+Z) triliun..tapi cukup sebanyak M Triliun. Koq bisa begitu? Karena M ini disebut high-powered money, karena ia ibarat sebutir benih yang mengandung potensi tumbuh dengan energi yang sangat besar menjadi berkali lipat dirinya. Bagaimana kemudian dlm prosesnya M triliun ini bisa menjelma menjadi jumlah uang yang jauh lebih besar dari dirinya, menjadi sebanyak (X+Y+Z) triliun sesuai kebutuhan?


Untung Ada Bank Lagi…

Bank lah yang menggandakannya! Bank memiliki checking accounts, jasa transfer antar rekening tabungan, teknologi ATM, dan skim-skim pembiayaan. Dengan segenap perangkat itulah, maka sistem perbankan mampu “menciptakan uang” (money creation). Pada fractional-reserve banking system, sistem perbankan bahkan mampu menawarkan berbagai produk dan menjanjikan berbagai pembiayaan kegiatan ekonomi sampai dengan nilai sebesar (X+Y+Z) triliun, meski di tangannya hanya memegang fisik likuiditas sebesar (M-R), dimana R adalah Reserve Requirement (cadangan wajib) yang harus ia simpan di bank sentral. Di bank terjadilah “multiplier effect” atau “money creation” ini. Apapun banknya: mau bank konvensional keq…atau bank syariah keq.


Bank Syariah Apa Donk Bedanya?..

Jadi, melalui bank syariah DAN bank konvensional....otoritas moneter melipatgandakan M triliun high-powered money..”uang benih”-nya. Mekanisme ”money creation” sama-sama terjadi di bank syariah DAN di bank konvensional. Fenomena ”multiplier effect” dari M triliun menjadi berlipat-lipat triliun juga sama-sama terjadi di bank konvensional DAN bank syariah. Lho? Jadi apa bedanya donk?

Ingat kembali, bahwa motivasi besar orang memiliki uang ada 3: untuk transaksi, untuk berjaga-jaga, dan untuk menumpuk harta ataupun spekulasi. Ingat juga, bahwa bank syariah tidak boleh memberikan pembiayaan kepada usaha2/transaksi yang spekulatif. Maka...dalam perekonomian yang sudah meluas penggunaan bank syariahnya, komponen spekulatif (Z triliun) bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan (jika seluruh transaksi dan instrumen ekonomi sudah bebas dari motif2 spekulasi). Z = 0 triliun.

Sehingga yang ada adalah (X+Y+ nol) triliun..yaitu jumlah kebutuhan likuiditas yang secara riil dibutuhkan oleh perekonomian. Dalam lanskap sistem ekonomi Islam dengan bank syariah sebagai ”saluran irigasi likuiditasnya”...,”urat nadinya”....dimana aktivitas spekulatif dan hoarding telah berhasil dinihilkan.....maka (X+Y) triliun ini benar-benar sudah terbebas dari non-productive activities.

Bank syariah secara nasional akan tetap melakukan “money creation” sebesar (X+Y) triliun. Bank syariah tetap akan ”menggandakan uang”, dari M triliun of high-powered money menjadi (X+Y) triliun. Dan ”multiplier effect” tetap terjadi di bank syariah. Tetapi.... jumlah uang yang di-multiplierkan/digandakan adalah dari M triliun menjadi (X+Y) triliun saja. Atau persis menjadi tepat yang dibutuhkan secara cukup oleh perekonomian riil produktif. Tidak ada excess likuiditas di sektor-sektor spekulatif. Tidak meluber kemana-mana.

Mungkin itu ya maksud si narasumber itu?....:)


Tulisan ini juga diposting di : Kompasiana iB Blogger Competition

.

Sabtu

The Outliers..(ndilalah) the Opinion Makers..

Menarik sekali mengikuti perjalanan sosialisasi bank syariah ke berbagai kalangan masyarakat, dan mengamati respon yang didapat. Berbekal peta profil segmen target market bank syariah yang lima jenis itu (segmen pokoknya syariah, ikut-ikutan, itung-itung-itungan, terpaksa, dan pokoknya bukan syariah), sepertinya segmen yang satu ini ndak tercatat di mana-mana :P

Sosialisasi ke mahasiswa adalah yang paling semarak. Idealisme audiens yang sedang di puncak-puncaknya, menjadikan suasana seminar atau diskusi atau roadshow paling bersemangat. Apalagi kalau event-nya dituanrumahi oleh kelompok studi atau forum kajian mahasiswa, biasanya auranya terasa lebih garang karena dibuka dengan mengangkat kepalan tangan dan teriakan takbir seperti rapat-rapat partai saja hehe. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pun tidak kalah bersemangat dan terkadang menghujat garang. Ada benang merah dari pertanyaan-pertanyaan di banyak event seperti ini: bank syariah tidak syariah !....Nah lho..

“Bank syariah sekarang kan masih nempel ke bank konvensional !..makanya tetep ga syariah !!”, tuduh salah seorang peserta.. “Duitnya aja nyampur tuhh..iiihh !!...”, tuduh seorang peserta putri dengan curiga. “ATM-nya aja jadi satu..gimana mau syariah ??!”, tuduh yang lain lagi. Hmm…mungkin karena mereka melihat banyaknya bank konvensional saat ini membuka Unit Usaha Syariah (UUS) semisal Bank Niaga Syariah, Bank Lippo Syariah, Bank Danamon Syariah, atau sebentar lagi ada Bank BCA Syariah. Dan biasanya ATM nya ya digabung jadi satu. Nasabah bank syariah kalau ambil uang tunai ya ke ATM milik bersama itu…

“Bank syariah itu kan cuma akal-akalan bisnis ! produknya sama dengan bank konvensional.Cuma dikerudungin aja kan ?!..” okee…sepertinya yang satu ini entah apakah ia sudah melihat secara mendalam skim/skema/akad yang mendasari produk2 bank syariah dan membandingkannya dgn skim/skema/akad produk bank konvensional?...atau sekedar nyomot judul produknya saja dari brosur gitu?...

“Bank itu bukan dari islam…ya ga syariah lah!...jadi, bank syariah itu ya bank-bank juga kan?!..”, cetus yang lain. “Bank itu menciptakan money multiplier effect…ga boleh lah. Nanti uang menciptakan uang. Bank syariah juga begitu kan ?!..” Hmm..yg ini pasti suka mbaca buku atau ikutan pelatihan tentang ekonomi syariah. Yang memberikan pemahaman kepada mereka tentang bank, bagaimana mekanisme operasional bank, serta apa peran bank dalam perekonomian modern…juga bahkan tentang bagaimana proses “penciptaan uang (likuiditas)” dalam sebuah sistem perekonomian modern…

“Bank itu produk sistem kapitalisme. Kita harus kaffah (=totalitas) dulu..ganti dulu semua sistemnya….semua subsistemnya….sistem ekonomi harus syariah dulu..!..” atau bahkan ..”Bank sentral-nya aja belum syariah….otoritas banknya aja belum syariah…gimana bank2nya bisa syariah ?!!...”. Nah yang ini biasanya sudah mahasiswa tingkat akhir ni, sudah lebih mendalam pengetahuannya tentang perbandingan sistem-sistem ekonomi. Bahkan seorang Doktor guru besar yang biasa jadi narasumber dimaa-mana tentang ekonomi syariah..bicara seperti ini..tentu dengan bahasa yang lebih halus. Bagi mereka, tidak mungkin ada bank syariah selama sistem besarnya tidak syariah. Entah apa yang dimaksud dengan sistem yang syariah itu..apakah dengan mengganti bank sentral dengan Baitul Maal ? Atau merubah semua bank-bank menjadi bank syariah semuanya? (tetep jadi bank juga siiih..) Atau mengganti sistem ekonomi nasional dengan sistem ekonomi syariah? Tapi gimana konkritnya? Entahlah…ilmu saya juga ndak nyandak hehe..

Memang sih pada akhirnya setiap kali “ditest” oleh pembicara, apakah mereka sudah punya rekening bank syariah.....bisa dihitung yang ngaku punya…dari sekian ratus yang hadir. Rata-rata di bawah sepuluh orang. Apakah itu karena keyakinan mereka bahwa bank syariah yang ada sekarang ini tidak/belum syariah, sehingga mereka ndak mau buka rekening syariah? Atau hanya sekedar fenomena khas dari karakteristik muslim negeri ini? (lihat tulisan saya sebelumnya: “Paradoks ber-bank syariah”). Apakah itu karena mereka sudah paham benar tentang bank syariah, sehingga bisa mencap bank syariah yang ada sekarang ini tidak syariah/belum syariah? Ataukah hanya sekedar gejolak darah muda yang selalu pingin “pokoknya saya beda !!...” :)

Tulisan ini diposting juga di: Kompasiana iB Blogger Competition

.

iB..mengapa huruf i-nya kecil?....

Mungkin ini pertanyaan keseribu sekian tentang “misteri” di balik mengapa huruf i pada logo iB (ai-Bi) huruf kecil? Kenapa bukan dua-duanya huruf besar..jadi IB? Atau I-nya yang besar..jadi ditulis Ib ?

Alkisah di bulan ketiga dua tahun silam, bergulirlah gagasan untuk membuat sebuah logo yang akan menjadi ciri penanda khas bank syariah di Indonesia. Sebuah logo yg akan menjadi identitas pemersatu dari bank-bank syariah yang semakin banyak bermunculan, termasuk juga BPRS yang tumbuh bermekaran. Sehingga tercipta kesatuan citra bank syariah sebagai sebuah industri yang besar, solid dan mapan. Ibaratnya toko di ujung pulau, meski jauh terpencil tapi kalau ada logo “Visa” atau “Master Card”nya…maka toko itu tidak lagi dipandang sbg toko pinggiran…karena terhubung dgn brand global, shg orang jadi yakin untuk bertransaksi. Bank syariah di Indonesia memerlukan logo yang kredibel seperti itu…

Pada bulan kelima di tahun yg sama, proses perumusan logo industri perbankan syariah dimulai. Dan karena logo ini akan menjadi logo dari sebuah industri keuangan yang serius –sangat sangat serius-, maka amat tidak pantas untuk sekedar mencoret-coret sendiri disainnya di atas kertas..seperti mau bikin logo perkumpulan karang taruna atau vokal group sekolahan. Semuanya harus memiliki makna, bahkan untuk setiap tarikan garis, bentuk, warna dan pemilihan huruf ! Logo harus dilahirkan dari rahim perenungan yang mendalam tentang filosofi dasar dan virtues dari sistem perbankan syariah (islamic bank). Setiap pilihan bentuk dan tarikan garisnya adalah perwujudan lahir dari idea-idea bathiniah.

Adalah Irvan A. Noe’man, seorang pakar dan tokoh disain grafis terkemuka negeri ini yang kemudian membantu mengendapkan idea batiniah itu, yang dikandung oleh sistem bank syariah..dan kemudian mewujudkannya ke dalam garis, bentuk dan warna. Sebagai salah satu tokoh pendiri Indonesia Design Professionals Association (ADGI), dan juga putera dari A. Noe’man sang arsitek Masjid Salman ITB, Irvan tak diragukan lagi memiliki kepakaran disain grafis sekaligus kepekaan religius…dua kualitas yang dibutuhkan untuk melahirkan logo sekaliber industri islamic banking di Indonesia ini.

Tanggal 2 Juli 2007, logo iB dicanangkan sebagai logo resmi bagi industri perbankan syariah di Indonesia. Bertepatan dengan peringatan hari ulang tahun Bank Indonesia. Dan untuk keseratus sekian kalinya, pertanyaan dari yang hadir adalah..”kenapa huruf i-nya kecil yaa?..” Apakah cuma untuk pemanis-manis disain dan komposisi?

Lebih dalam dari itu! Penjelasan Irvan A. Noe’man terhadap “misteri” itu sangat memukau dan mencerahkan: “iB adalah islamic banking….dan huruf i kecil mensiratkan bahwa islam harus tampil secara humble…rendah hati..”.

Islam dalam islamic banking, ditampilkan secara lembut, halus dan rendah hati. Ia menyejukkan, bukan menakut-nakuti. Ia mendamaikan, bukan membuat gelisah. Ia halus dan lembut, bukan bengok-bengok (teriak-teriak, bhs Jawa) memekakkan telinga. Ia rendah hati, bukan membusungkan kesombongan. Ia bisa menghargai, bukan memurkai atau memaki-maki. Itulah mengapa i-nya iB pake huruf kecil….

Tulisan ini diposting juga di: iB Blogger Competition.

..

Selasa

Bank Syariah...dipiiliih...diipiliiih.....

Dagangan apa yang sekarang ini paling laku dijual? Ekonomi syariah dan perbankan syariah! Apakah karena momennya memang pas, dimana banyak orang sedang mencari-cari sistem perbankan alternatif yang lebih tahan banting dalam hempasan badai krisis keuangan global? Atau semata karena rasa emosional/sentimen keagamaan dari masyarakat negeri ini, saat ini sedang disentil dan dielus-elus oleh orang-orang yang pingin memperoleh simpati. Entah demi tujuan-tujuan ekonomi, uang…ataupun untuk tujuan kampanye politik, kekuasaan.

Tapi sebenernya apa sih yang mereka jual? Apakah cuma sekedar jualan jargon dan simbol-simbol hanya untuk membeli hati? Sebenernya apa sih kelebihan dari bank syariah? Sehingga ia pantas dijadikan sebuah “isu strategis” yang harus dibicarakan di antara isu-isu strategis lainnya. Jangan-jangan, yang teriak-teriak jualan bank syariah di berbagai forum dan media itu malah ga ngeh tentang…apa sih bagusnya barang yang ia jual?....

Pertama: Dengan sistem bagi hasilnya, bank syariah sejatinya mengangkat kembali keluhuran kultur anak negeri ini. Re-inventing the heritage. Sistem bagi hasil sudah dikenal di nusantara bahkan sejak pra kedatangan Islam. Istilah maro, mertelu, belah pinang, bakongsi, mencerminkan kultur luhur kebersamaan, welas asih dan keadilan. Semakin banyak masyarakat menggunakan bank syariah, maka nilai-nilai luhur bangsa ini semakin dihidupkan kembali. Lihat tulisan saya sebelumnya: “Bank Syariah Bukan Barang Impor”.

Kedua: Bank syariah merekatkan kembali aktivitas pasar keuangan dengan kegiatan ekonomi riil, sehingga mengobati masalah de-coupling economy. Setiap uang yang dikeluarkan oleh bank syariah harus digunakan untuk membiayai sektor riil produktif. Tidak boleh diputar-putar saja di sektor finansial. Dengan demikian, maka membesarnya pasar keuangan selalu merupakan cermin sempurna dari membesarnya kegiatan produksi di sektor riil. Tidak terjadi ekonomi gelembung (bubble economy) yang sewaktu-waktu bisa pecah menggoncang perekonomian.

Ketiga: Harmonisasi antara kedua pasar tersebut (sektor keuangan dan sektor riil) akan mencegah terjadinya ekses likuiditas, karena likuiditas yang mengalir dalam perekonomian adalah sesuai dengan kebutuhan transaksi yang benar-benar riil. Tidak ada penumpukan likuiditas secara permanen yang hanya berputar-putar di instrumen keuangan, sementara sektor riil lebih membutuhkannya.

Keempat: Bank syariah tidak boleh membiayai bisnis spekulatif, misalnya untuk kegiatan spekulasi valas. Dengan membesarnya share bank syariah dalam perekonomian, maka pergerakan harga benar-benar akan merupakan cermin sempurna dari interaksi supply-demand barang yang benar-benar riil. Dalam lanskap ini tidak diperbolehkan pembiayaan bagi aktivitas-aktivitas spekulatif maupun penumpukan (hoarding), sehingga meningkatkan prediktibilitas pergerakan inflasi.

Ahh..seandainya mereka tahu bagusnya dagangan yang sedang mereka jual ini…mereka pasti akan berteriak-teriak lebih lantang lagi. Bukan hanya supaya pingin dapet suara, tetapi karena bank syariah memang bagus punyya!.. ayoo..dipiliih…dipiliiih !!....:)

..

Sabtu

Ketika Bule Jatuh Cinta

Mengapa banyak negara asing berpenduduk tidak mayoritas muslim semakin menggebu ikut-ikutan mengembangkan bank syariah? Dimulai dari Inggris dan merambat ke Amerika Serikat, Australia, Singapura, Jepang, Rusia, Hongkong, Korea (sedang serius mempelajari bank syariah dan rajin bikin workshop dengan IFSB)...Koq bisa? Apa sih yang menyebabkan mereka jatuh cinta sama ekonomi syariah dan bank syariah??

Hampir pasti bukan karena alasan-alasan keagamaan. Urusan Hongkong dan Singapura, misalnya, bisa jadi cuma soal ngumpulin duit sebanyak2nya. Urusan negara-negara Barat lain, barangkali lebih sophisticated dan "mature": ethical economics!

Ketika bule Eropa dan Amerika taraf ekonominya sudah mapan, maka meningkatlah kesadarannya beyond urusan sembako dan duit. Sekarang mereka mikir soal-soal yang lebih "soft": bagaimana mengurangi efek global warming? bagaimana mengurangi kerusakan alam lingkungan? bagaimana menciptakan kehidupan sosial yang berkeadilan dan sejahtera? (welfare) Bagaimana manusia bisa hidup secara berkualitas? (freedom, education) bagaimana membangun semangat sosial dalam komunitas-komunitas? ...termasuk di dalamnya bagaimana berbisnis secara lebih etis? bisnis di berbagai sektor: etis dalam berbanking..etis dalam berinvestasi.

Bule sedang jatuh cinta sama Ethical banking dan ethical investment. Mereka rajin berkampanye utk hanya menggunakan bank-bank yang mendukung investasi yang etis yang mendukung kelestarian alam lingkungan. Bank yang ngasih kredit ke bisnis penebangan hutan..nggak laku. Bank yang ketauan ngasih kredit ke pabrik2 peghasil limbah..nggak laku. Bank yang ngasih kredit ke bisnis eksploitasi alam dan merusak alam..nggak laku.

Bule sedang jatuh cinta sama bank yang peduli dengan small enterpreneurs alias pengusaha kecil alias UMKM. Grameen bank-nya Muhammad Yunus di Bangladesh dipuja-puja dan dikasih hadiah nobel. Bule terpesona dan jatuh cinta sama yang kayak beginian sekarang..

Bule sedang jatuh cinta sama bank syariah. Betapa tidak? Coba lihat apa yang ditawarkan oleh sistem bank syariah:

"Kebersamaan dan kemitraan adalah nilai-nilai yang dikedepankan oleh sistem perbankan syariah, yang menjadi prinsip dan semangat dari setiap produk bank syariah yang ditawarkan kepada masyarakat. Sistem perbankan syariah dalam menjalankan aktivitas bisnisnya tetap menjaga visi kemanusiaan yang memandang “yang lain” (nasabah, mitra kerja, manusia lain dan lingkungan) sebagai yang setara, yang harus diperlakukan dengan rasa cinta kasih, berkeadilan dan empati.

Manusia lain adalah juga wajah-wajah yang memiliki mimpi-mimpi yang sama. Kebutuhan dan ketidakberdayaan seseorang tidak boleh dipandang sebagai kesempatan untuk menguasai, tetapi harus dilihat dengan rasa compassion, empati dan kebaikan hati untuk menghilangkan ketidakberdayaan itu. Prinsip kemitraan yang memanusiakan manusia lain, dan kebersamaan dalam kesetaraan inilah yang kemudian menjadikan sistem perbankan syariah lebih dari sekedar bank."

Mana ada di mainstream economics kita temukan "compassions"..."empati"..."kebaikan hati"...."kemitraan yang setara"..."keadilan"...."memandang alam lingkungan dengan rasa cinta kasih"....?? Bank syariah ga akan ngasih kredit ke bisnis yang membabati hutan krn itu mengancam kelestarian alam. Bank syariah ga boleh ngasih kredit ke bisnis yang menghasilkan pencemaran lingkungan. Bahkan bank syariah ga boleh ngasih kredit ke bisnis rokok atau minuman keras. Hmm…ga aneh kalau bule jadi jatuh cinta….pada waktunya mereka akan kasih hadiah Nobel juga ke bank syariah hahahaha… :p

Ingin ikutan bisa jatuh cinta? Tutup telinga anda dari hiruk-pikuk jargon-jargon, dan lihatlah iB (ai-Bi) bank syariah secara lebih mendalam. Di sana akan anda temukan ethical banking...ethical investment...ethical bankers....

Ingin membuat masyarakat jatuh cinta kepada iB (ai-Bi)? Stop preaching..and start SELLING your products and virtues !!..

Kamis

Islam Yes, Bank Islam..Itung-Itung Dulu aah..

Padahal sudah tujuh belas tahun bank syariah hadir di Indonesia, tapi mengapa share bank syariah masih ga bergerak dari angka dua koma sekian persen? Hiruk-pikuk seminar, diskusi,iklan tivi, eksibisi dan promosi, tapi mengapa jumlah nasabah bank syariah -saya adalah satu di antaranya- baru 5 juta saja? Padahal kalau mau melihat secara mendalam, produk bank syariah tidak kalah banyak dan tidak kalah bagusnya dengan produk bank konvensional.

Padahal di setiap seminar atau di media selalu ditulis,."sebagai negara yang penduduknya mayoritas muslim adalah potensi yang dahsyat bagi bank syariah"...atau.."seratus sekian juta rakyat Indonesia adalah muslim dan potensial sebagai nasabah bank syariah"...atau "indonesia adalah raksasa yang sedang tidur, kita akan menjadi pusat keuangan islam dunia !"..

Padahal sudah tujuh belas tahun omongan itu mengudara bergelembung dan berbusa-busa...dan kenyataannya? Tidak terjadi tuh. Bank syariah tetep kecil. Raksasanya tetep bobo.. Seakan-akan semua angka-angka statistik-demografis kemayoritasan muslim itu tidak memberikan arti apa-apa bagi kemajuan bank syariah. Ada apa ini??...

Barulah saya sedikit mendapat pencerahan, setelah membaca bahan bacaan yang disediakan oleh panitia lomba ini. Ternyata orang islam ga otomatis mau make bank islam (bank syariah), karena ternyata ada alasan2 lain untuk memutuskan apakah mau ke bank syariah atau ke bank konvensional? Pertimbangan-pertimbangan lain. Itung-itungan lain.

Kata bacaan itu, sebenernya ada 5 jenis orang dengan profil yg berbeda-beda dalam ber-banking: orang yang ”pokoknya syariah”, orang yang ikut-ikutan, orang yang ngitung-ngitung mana yang paling menguntungkan buat mereka, orang yang terpaksa, dan orang yang udah terbiasa make bank konvensional. Ndilalah jenis orang yang "itungan" dalam ber-banking katanya paling banyak: kalau ngambil pinjeman di bank konvensional lebih murah daripada di bank syariah, ya dia akan ambil produk bank konvensional. Kalau nabung di bank syariah return-nya lebih tinggi, ya dia akan pergi ke bank syariah. Pokoknya yang paling menguntungkan lah. Jenis org kayak begini ni yang paling banyak....

Nahh..ternyata pembagiaannya ndak bisa dikotomi muslim-non muslim. Sehingga klaim bahwa orang islam pasti mau make bank islam sangat bisa dipertanyaan secara serius. Dan mendasarkan diri kepada pendekatan demografis untuk jualan bank syariah akan menyebabkan industri bank syariah "terjebak" ke dalam strategi promosi yang sebenernya cuma didenger oleh sedikit orang yang "pokoknya syariah". Target market yang lain, yang justru lebih besar jumlahnya, malah ndak peduli. Atau setidaknya cuma mendengar, adem sejenak, tapi ujung-ujungnya ya itung-itungan lagi.

Jika bank syariah tidak pintar-pintar membaca profil target market ini, dan merumuskan strategi promosi yang pas, jelas tidak akan pernah bisa membesarkan pangsa pasarnya. Karena fakta di lapangan berbicara. Penduduk muslim Indonesia sangat unik: Islam Yes, Bank Islam..itung-itung dulu aah...

Selasa

Paradoks Ber-bank Syariah

Karena boleh ngirim artikel untuk Lomba Blogger iB lebih dari satu, ini adalah tulisan saya yang kedua. Kali ini tentang paradoks yang saya temukan di banyak kesempatan, sebuah kenyataan betulan dan bukan rekaan, yang pada setiap kalinya saya jadi bergumam.."oo..begini tho? makanya bank syariah di Indonesia ga gede-gede..."

Dalam sebuah acara forum diskusi ilmiah tingkat nasional, dengan topik tentang perbankan syariah. Sebagai pembicara adalah wakil dari sebuah bank syariah terkemuka, otoritas pengawas bank, dan wakil dari pimpinan sebuah perguruan tinggi negeri ngetop yang punya jurusan ekonomi syariah. Sang akademisi dengan sangat bersemangat berbicara panjang lebar, mencoba meyakinkan para peserta seminar tentang keunggulan dan kehebatan ekonomi syariah dan perbankan syariah. Bla..bla..bla..(sepeti kata Eko Patrio seperti di acara tivi lomba nyanyi itu). Dan bahwa membesarnya bank syariah akan mendukung stabilitas ekonomi nasional...sistem bank syariah yang berbagi hasil lebih adil... bla..bla..bla. Bersemangat sekali. Di tengah suasana bersemangat itu, tiba2 seorang teman yang duduk di sebelah saya, yang kebetulan bekerja di sebuah bank syariah berbisik.."sstt..perguruan tinggi-nya aja sampe sekrang ga punya rekening bank syariah tu...".

Pada kesempatan lain, saya kebetulan diundang ke sebuah acara yang lebih berkobar-kobar lagi semangatnya. Kali ini seminar mahasiswa yang dimotori oleh sebuah forum studi mahasiswa, topiknya: kehancuran sistem kapitalisme global dan kebangkita sistem ekonomi syariah. Waah hebat banget!! Seminar dibuka oleh sang "presiden" dari organisasi mahasiswa tsb..dan dibuka dengan bersama-sama meneriakkan takbir beberapa kali. Sangat menggugah semangat dan rasa bangga, bahwa kaum muda sudah sangat serius memikirkan soal ekonomi bangsa. Seminar berlangsung meriah. Tanya jawab berlangsung seru, dari yang menggugat sistem ekonomi mainstream saat ini yang dinilai telah gagal...yang menggugat sistem perbankan berbasis bunga...yang menggugat sikap pemerintah yang kurang suportif thd pengembangan ekonomi syariah dan bank syariah..dll..dll. Meriah, bersemangat dan bergelora!..Yang menarik, adalah...ketika salah satu pembicara, dari otoritas pengawas bank, di tengah presentasinya bertanya kepada para hadirin.."Hayo siapa yang sudah punya rekening di bank syariah ??..acungkan tangan.."
.....satu....dua.....tiga....dan tidak lebih dari lima orang yang mengacungkan jari..dari sekian ratus mahasiswa yang hadir...hmmm.....

Dalam sebuah forum diskusi pertemuan antar pakar ekonomi syariah dan perbankan syariah di Jakarta, yang membahas berbagai isu strategis seputar perbankan syariah. Hadir juga seorang narasumber yang sudah sangat terkenal puluhan tahun akan kepakarannya di bidang ekonomi syariah dan perbankan syariah, dan sering menjadi narasumber dalam berbagai events nasional maupun internasional tentang topik tersebut. Diskusi berlangsung sangat menarik, informatif, berkelas, dan mencerahkan.
Lebih menarik adalah ketika honorarium kepada para narasumber akan disampaikan. Teknisnya oleh panitia akan ditransfer ke rekening masing-masing. Dan seorang teman, yang juga panitia acara tersebut, datang ke saya sambil geleng-geleng kepala..."ternyata...si-Bapak itu ga punya rekening bank syariah !!..omg.." ..

Di acara televisi, banyak tokoh besar berteriak-teriak soal ekonomi syariah dan perbankan syariah. Di koran dan media cetak, banyak tokoh menulis tentang perbankan syariah. Di kampanye-kampanye, banyak tokoh dan kandidat bicara soal membesarkan ekonomi syariah dan perbankan syariah....

Tapi apakah kenyataannya seindah lisan dan kata-kata yang dihambur-hamburkan?
Sepertinya soal mengumbar kata-kata tentang hebatnya bank syariah adalah satu soal, sementara untuk menggunakan bank syariah dalam kehidupan sehari-hari..ternyata adalah soal yang lain lagi..yang membutuhkan lebih banyak pertimbangan lain lagi...driving force lain lagi..yang nampaknya lebih dalam dari sekedar jargon dan kata-kata. Sekian.

tulisan ini juga dipost di: http://sketsajanoe.blogspot.com/

Minggu

Lenong iB @ PRJ 2009....:))





Lenong iB (ai-Bi) Perbankan Syariah di PRJ 2009, a cultural approach...

Saturday, 16.00-18.00...Yadi Sembako & Mama Suhana
Sunday, 11.00-13.00.....Edrik & Maya Ekstravaganza

Bank Syariah Bukan Barang Impor


Siapa bilang perbankan syariah itu barang import dari negeri seberang? Siapa bilang bank syariah itu sesuatu yang asing yang pada suatu masa mendarat di negeri ini? Coba perhatikan lebih seksama dengan membuka mata hati dan fikiran anda. Dan cermati values proposition dari iB Perbanka Syariah ini..

Bukankah konsep "bagi hasil" sudah dikenal di nusantara ini sejak dahulu kala? Bahkan di masa-masa sebelum masuknya Islam ke negeri ini, semangat berbagi hasil ini sudah ada dan dilaksanakan sebagai sesuatu yang biasa sehari-hari. Nenek moyang kita di pulau Jawa sudah mengenal yang namanya "maro". Para pemilik tanah "berbagi hasil" dengan para saudara dan tetangganya yang mengerjakan tanah. Pemilik tanah punya bentangan tanah kosong yang bisa digarap. Ada tetangga dan saudaranya yang bersedia memberikan tenaga dan keahlian tani untuk mengolah tanah subur itu jadi padi, jagung dan palawija. Hasil panen dijual, dan hasilnya dibagi di antara mereka berdua: 50 prosen untuk pemilik tanah dan 50 prosen untuk petani penggarap. Mereka berbagi hasil...

Nelayan nusantara di sepanjang pantai negeri ini, juga tidak asing dengan istilah "bagi hasil" ini. Sehari-hari dan sudah sangat biasa, juragan yang memiliki banyak perahu meminjamkan perahunya kepada sana saudara atau tetangga untuk melaut mencari ikan. Hasil tangkapannya kemudian dibagi-hasilkan secara adil. Mereka mungkin tidak bisa baca dan tulis (pada saat itu), tapi naluri mereka mengatakan bahwa berbagi hasil adalah wujud rasa empati dan welas asih di antara mereka. Yang punya alat produksi memberi kesempatan kepada yang memiliki skill untuk menggunakan alat produksi itu, dan dua-duanga mendapat manfaat dan untung. Bagi hasil adalah warisan leluhur yang berempati dan welas asih kepada sesama...

Di daerah-daerah lain di nusantara, istilah bagi hasil itu sangat beragam tetapi memiliki semangat yang sama. Maro, mertelu (bagi hasil bertiga), belah pinang, bakongsi, dan lain lain. Semuanya sudah ada di nusantara sejak dahulu kala . Sudah sehari-hari. Sudah biasa. Bagi hasil bukan sesuatu yang alien (asing) bagi penduduk negeri ini.

Jadi, janganlah terlalu silau dan terpukau oleh istilah-istilah yang kedengaran asing dan cangih tentang bagi hasil ini. Jika bank syariah menjual produk-produknya dengan skema bagi hasil tapi dibungkus dengan istilah seperti mudharobah..atau musyarokah..atau ijaroh..yang berbau-bau timur tengah...seharusnya masyarakat jangan kagok atau minder. Itu kan cuma bungkusnya. Tapi isinya dan esensinya mah sudah PUNYA KITA sejak dahulu kala ! :) Sudah ada dan dipakai oleh anak negeri ini sejak zaman kerajaan-kerajaan besar nusantara dan pengaruh asing (termasuk timur tengah) belum mendarat di pantai-pantai negeri ini.

Bagi bank syariah, seyogianya dalam berkomunikasi bisa sadar akan hal ini. Bahwa apa yang mereka jual sekarang ini, sejatinya hanyalah "mengingatkan kembali" bahwa dulu di negeri ini ada konsep kemitraan yang sangat indah yang namanya bagi hasil, maro, mertelu, belah pinang, dan masih banyak istilah lainnya lagi. Dengan kesadaran itu, bank syariah akan bisa berkomunikasi atau berpromosi dengan lebih luwes dan lebih membumi. Musti diingat, bahwa mereka "hanya" ikutan menerapkan konsep kemitraan warisan budaya ke dalam produk-produk iB perbankan syariah. Sehingga konsep komunikasi dan promosi perlu dirancang dengan lebih "berbesar hati" dan "rendah hati" sebagai bentuk "pengakuan" terhadap warisan indah dari leluhur negeri ini..Indonesia!

Jika masyarakat menjadi paham, bahwa apa yang ditawarkan oleh iB perbankan syariah sejatinya adalah sesuatu yang sangat dekat dengan jiwa mereka, bahkan sudah mengalir di dalam darah mereka dan leluhur mereka. Jika masyarakat menjadi paham, bahwa "bagi hasil" bukanlah sesuatu yang asing (alien), bukan barang impor made in timur tengah,...maka akhirnya akan lahir kesadaran bahwa iB perbankan syariah bukan sesuatu yang asing dan bukan impor dari negeri padang pasir. Tetapi adalah bagian dari sejarah kita sendiri...disemangati oleh nilai-nilai luhur empati dan welas asih dari leluhur bangsa ini....dan oleh karena itu iB adalah juga milik ASLI negeri ini!!..

Mau Sejahtera?: a Marxist View


Karl Marx (1818-1883) mengajukan solusi bagi penderitaan dan keterasingan manusia. Dalam bukunya ini, The Economic and Philosophical Manuscripts of 1844, Karl Marx untuk pertama kalinya menorehkan pisau bedah analisisnya terhadap fenomena political economy pada tahun 1844 di Paris, yang dituangkannya ke dalam naskah Okononisch-philosophisce Manuskripte yang kemudian juga dikenal sebagai Naskah-Naskah Paris. Inilah pemikiran pertama Karl Marx tentang fenomena ekonomi dari sudut pandang dialektika-materialis, yang nanti akan menjadi landasan berfikirnya dalam menghasilkan buku-buku lainnya seperti The German Ideology (1846), A Contribution of the Critique of Political Economics (1859) dan akhirnya karya utamanya yang sangat terkenal Das Capital (1867).

Dalam buku ini, ia membongkar betapa kepemilikan pribadi (private property) adalah sebagai penyebab segala penderitaan manusia terutama buruh dan pekerja. Untuk kemudian menyimpulkan, bahwa penghapusan hak kepemilikan pribadi tersebut dan meleburnya ke dalam semangat komunal adalah satu-satunya jalan menuju pembebasan manusia.

“The abolition of private property is therefore the complete emancipation of all human senses and qualities..”

Melalui naskah Paris 1884 ini, yang terbagi ke dalam tiga manuskrip, Karl Marx menyampaikan analisisnya tentang penderitaan manusia berupa keterasingan (estrangement) dalam sistem ekonomi kapitalis, dan bahwa kepemilikan pribadi (private property) merupakan sumber penyebab keterasingan tersebut sehingga harus dihapus dalam rangka menghilangkan penderitaan manusia. Hanya di bawah sistem komunis, manusia akan menemukan kembali kemanusiaannya secara sempurna dan kekuasaan uang atas kemanusiaan akan dapat dilenyapkan.

Dalam manuskrip pertama, Karl Marx menganalisis secara sangat mendalam dan filosofis tentang hakikat manusia dan bagaimana manusia seharusnya diperlakukan dalam sebuah sistem ekonomi dan produksi. Dengan sangat tajam Karl Marx menunjukkan, bahwa di bawah sistem ekonomi kapitalis manusia mengalami empat jenis keterasingan yaitu: keterasingan manusia dari pekerjaanya, keterasingan manusia dari produk hasil pekerjaannya, keterasingan manusia dari identitas kemanusiaannya (species-being), dan keterasingan manusia dari manusia lainnya. Lebih jauh lagi, Marx bahkan menyimpulkan bahwa tujuan akhir dari sistem ekonomi kapitalis pada akhirnya adalah penderitaan manusia.

“Since, however, according to Smith, a society is not happy, of which the greater part suffers –yet even the wealthiest state of society leads to this suffering of the majority- and since the economic system (and in general a society based on private interest) leads to this wealthiest condition, it follows that the goal of the economic system is the unhappiness of society.”

Bagi mereka yang sedang gandrung (bahasa Jawa: jatuh cinta) dengan segala hal yang bernuansa ekonomi kerakyatan atau ekonomi wong-cilik atau perjuangan kelas buruh dan pekerja atau marhaen atau proletariat, maka buku ini menjanjikan pengobatan bagi hati yang sedang menderu-deru. Memang diperlukan keseriusan dalam membacanya, karena tulisan Karl Marx ini sangat mendalam secara filosofikal terutama saat ia membedah persoalan tentang siapa manusia dan hubungannya dengan pekerjaan, kepemilikan tanah serta modal. Bagi mereka yang tidak terbiasa membaca literatur-literatur falsafi, maupun mereka yang sekedar mencari bacaan ringan, tentu akan merasa sedang mengarungi samudera dengan gelombang demi gelombang yang sangat sukar untuk dilewati saat membaca buku ini.

Namun kesulitan perjalanan itu akan menjadi pengalaman yang sangat berharga, karena di akhirnya ketika menyelesaikan membaca buku ini –meski dengan sangat perlahan- dan memahami bagian demi bagiannya, akan memberi anda pemahaman yang sangat mendasar tentang inti pemikiran Karl Marx. Pemikiran Marx yang nantinya akan menjadi benih bagi banyak perjuangan kelas buruh dan pekerja di seluruh dunia, serta cikal-bakal bagi lahirnya salah satu ideologi paling berpengaruh di berbagai belahan dunia: komunisme.

.

Mau Sejahtera?: a Liberal-Sosialist View




Bagaimanakah tata pemerintahan yang adil itu? Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi? Dan prinsip-prinsip apa yang harus ia tegakkan? Sehingga pemerintahan itu mampu mengayomi rakyat yang dipimpinnya secara adil dan menjadi lebih sejahtera?

Dalam merumuskan teori keadilannya (theory of justice), John Rawls (1921-2002) berangkat dari pengandaian tentang adanya suatu posisi awal (original position) dari masyarakat. Di mana dalam posisi tersebut, manusia berada pada kondisi yang paling murni dan tulus serta tidak sadar akan berbagai perbedaan di antara mereka satu sama lain. Di balik “cadar ketidaktahuan” (veil of ignorance) tersebut, dan hanya dengan sedikit pengetahuan dasar tentang sarana primer yang ia butuhkan (a thin theory of the good, primary goods), manusia kemudian diminta untuk merumuskan dan menyepakati prinsip-prinsip keadilan.

Sebagai hasil dari proses prumusan yang –dipercaya- tidak bias itulah, maka Rawls memperoleh dua prinsip dasar sebagai landasan bagi perumusan sistem tata negara dan pemerintahan yang menjamin terbentuknya masyarakat yang bekeadilan. Dua prinsip dasar itu adalah:

(1) Setiap orang memiliki hak yang sama untuk menikmati seluas-luasnya sistem menyeluruh dari kebebasan dasar yang sama, yang sesuai dengan sistem kebebasan bagi semua. Prinsip ini disebut juga sebagai “the principle of greatest equal liberty” atau prinsip kebebasan (liberty principle).
(2) Kesenjangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga:
a. Menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi orang yang paling kurang beruntung. Disebut juga prinsip perbedaan (difference principle)
b. Melekat pada jabatan dan posisi pemerintahan yang terbuka bagi semua orang berdasarkan prinsip kesempatan yang sama dan adil. Disebut juga prinsip kesamaan kesempatan (fair opportunity principle)

Menurut Rawls, prinsip kebebasan adalah yang paling utama. Prinsip kesamaan kesempatan merupakan perpanjangan dari prinsip kebebasan ini, misalnya kesamaan kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai proses politik dan tata pemerintahan.

Kesejahteraan harus dirasakan oleh seluruh masyarakat secara merata. Kesenjangan sosial dan ekonomi hanya diperbolehkan terjadi apabila kesenjangan tersebut berpihak kepada kelompok masyarakat yang paling lemah (the least advantaged). Dalam konteks inilah, maka intervensi negara diperlukan untuk menjamin bahwa dinamika masyarakat selalu berjalan dalam koridor prinsip kedua tersebut. Keputusan politik harus dirumuskan untuk “mengawal” masyarakat, dan keputusan tersebut harus dirumuskan atas dasar prinsip maximin (maximize the minimum)…dengan sangat berhati-hati dan sangat konservatif. Kebijakan politik tidak boleh menempatkan kesejahteraan rakyat pada posisi beresiko tinggi, maka yang lebih utama adalah progress secara sedang-sedang saja bagi rakyat seluruhnya (average utilitarian theory of justice).

Fakta di depan mata: Konsentrasi kekayaan dunia saat ini berada di tangan segelintir warga dunia di negara-negara besar, sementara itu sebagian besar warga dunia masih terjebak dalam kemiskinan. Kesenjangan terus berlangsung selama dua dekade terakhir, dan tetap mewarnai ekonomi global dengan gambaran suram dan memprihatinkan. Dalam perekonomian domestik sendiri, kesenjangan sosial dan ekonomi di antara warga negara terus terjadi dan terlihat semakin parah. Jurang antara “the have” dan “the have not” semakin dalam dan melebar.

Nampaknya tindakan bebas (free action) dari manusia-manusia -individu pelaku ekonomi, spekulan finansial, raja-raja korporasi, pemilik Multi National Companies /MNCs, rent seekers- yang mengejar kesejahteraannya secara sendiri-sendiri, semakin tenggelam dalam ketamakan dan kerakusan. Dihadapkan kepada kenyataan demikian, maka prinsip keadilan Nozicks –bahwa masyarakat yang berkeadilan dapat diciptakan oleh pasar bebas (free market) dan perbedaan kesejahteraan adalah wajar- menjadi terlihat semakin terlalu optimistik dan naif.

Dalam dominasi tindakan bebas individu yang egoistis seperti ini, semakin besar kelompok masyarakat yang termarginalkan (least advantaged) dan semakin hilang suara mereka merintihkan penderitaannya yang seakan tak kunjung berakhir. Dalam kondisi demikian, menurut hemat penulis penerapan prinsip keadilan John Rawls yang mendasarkan diri kepada prinsip kebebasan yang berdimensi sosial (liberalis-sosialis) nampak lebih menjanjikan. Negara menghargai kebebasan individu dalam kepemilikan sumber daya, namun pada saat yang sama negara melakukan intervensi yang perlu untuk menjamin kemanfataan yang seluasnya dari pengelolaan sumber daya tersebut bagi masyarakat seluruhnya (terutama masyarakat yang paling lemah), serta menjamin kesempatan yang setara bagi seluruh masyarakat dalam berbagai kegiatan perekonomian

..

Mau Sejahtera? : a Liberalist View




Bagi Robert Nozick (1938-2002), yang seorang libertarian/liberalis-ekstrim, masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera adalah masyarakat yang justru terbentuk dari peran minimal intervensi negara di dalamnya (minimal state). Tugas negara cukuplah sebagai penjamin sistem hak milik pribadi, dan menarik pajak secukupnya. Sementara itu, distribusi sumber daya harus diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar bebas (free market), dan kepada masyarakat sendiri melalui mekanisme donasi maupun hadiah secara sukarela di antara mereka sendiri. Upaya untuk mengutamakan prinsip kebebasan, pada saat yang sama akan menggugurkan prinsip perbedaan, karena prinsip kebebasan mengisyaratkan tidak adanya pembatasan bagi hak kepemilikan individu. Kebijakan intervensi negara dalam rangka “fine tuning” distribusi/alokasi sumber daya/hak milik/kesejahteraan individu, yang berarti adanya pembatasan bagi transaksi-transaksi tertentu, adalah justru bertentangan dengan prinsip kebebasan yang dikemukakan Rawls.

Lebih jauh lagi Nozicks berpendapat, bahwa perbedaan kesejahteraan yang terjadi tidak boleh dipandang sebagai ketidakadilan namun mesti dilihat dari bagaimana proses terjadinya (historical theory of justice). Perbedaan kesejahteraan yang terjadi merupakan hasil dari perbedaan kemampuan individu (ability) dalam mengolah sumberdaya yang ia miliki. Bisa jadi, dua orang diberikan sumber daya yang sama, namun berakhir dengan tingkat kesejahteraan ekonomi yang berbeda karena perbedaan kemampuan dan keahlian. Dan bagi Nozicks fenomena itu adalah wajar-wajar saja dan tidak boleh dinilai sebagai ketidakadilan. Dengan demikian tidak ada “pola” keadilan yang bisa dijadikan pedoman oleh negara yang berniat ikut campur, misalnya apakah “bagi tiap orang menurut kebutuhannya, atau statusnya, dll”.

Dan oleh karena itu negara tidak memiliki kemampuan untuk melakukan “fine-tuning” distribusi/alokasi kesejahteraan yang diimpikannya. Tindakan bebas (free action) manusia-manusialah dalam pasar bebas (free market) yang akhirnya menentukan kesejahteraan manusia .

Kamis

Indonesiaku

Golden Moments. The picture was taken at the beach of Parangkusumo, Yogyakarta, Indonesia.A little boy was running on the beach and jumping over the waves, and this picture beautifully captured the happy moments before sunset...

.

Masih Pagi di Tugu. The picture was taken in the morning at Tugu of Yogyakarta, Indonesia with Digital SLR Canon EOS 5D.
.


Lifetime Devotion. Picture was taken on March 9, 2009 with Digital SLR Canon EOS 5D. Location: Siti Hinggil Pagelaran of The Palace (Kraton) of Yogyakarta, Indonesia. Siti Hinggil means "elevated land" in Javanese, while Pagelaran denotes an area close to the entrance which functions as a waiting place for the chief ministers (called "Patih" in Javanese) and their governing members before meeting the Sultan.

.


Blangkon Still Alive. Blangkon is a traditional javanese hat, the most popular hat in Central Java and Yogyakarta. The tricycle is called "becak", one of traditional mode of transportation in Indonesia.

.
Kereta Kencana. Kereta is a traditional javanese carriage. Kereta Kencana means the Royal Carriage which carry the King (Sultan) from the palace to places. This one is is the oldest carriage displayed at the Museum Kereta in Yogyakarta.

.

Sabtu

Ekonomi Rakyat siapa yang punya?...

Harus diakui pertanyaan yang bertubi-tubi tentang ekonomi rakyat seperti ini bersumber pada salah mengerti bahwa seakan-akan konsep ekonomi rakyat ini ditemukan dan diperkenalkan oleh Adi Sasono atau Mubyarto atau Sajogyo, dan alasan pengenalannyapun tidak ilmiah tetapi hanya untuk tujuan politik yang ”populis”, yaitu untuk ”memenangkan pemilu”.

Mudah-mudahan akan jelas bagi kita semua bahwa istilah ekonomi rakyat adalah istilah ekonomi sosial (social economics) dan istilah ekonomi moral (moral economy), yang sejak zaman penjajahan dimengerti mencakup kehidupan rakyat miskin yang terjajah. Bung Karno menyebutnya sebagai kaum marhaen.

Jadi ekonomi rakyat bukan istilah politik ”populis” yang dipakai untuk mencatut atau mengatas namakan rakyat kecil untuk mengambil hati rakyat dalam Pemilu.

Ekonomi Rakyat adalah kegiatan atau mereka yang berkecimpung dalam kegiatan produksi untuk memperoleh pendapatan bagi kehidupannya. Mereka itu adalah petani kecil, nelayan, peternak, pekebun, pengrajin, pedagang kecil dll, yang modal usahanya merupakan modal keluarga (yang kecil), dan pada umumnya tidak menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga. Tekanan dalam hal ini adalah pada kegiatan produksi, bukan konsumsi, sehingga buruh pabrik tidak masuk dalam profesi atau kegiatan ekonomi rakyat, karena buruh adalah bagian dari unit produksi yang lebih luas yaitu pabrik atau perusahaan. Demikian meskipun sebagian yang dikenal sebagai UKM (Usaha Kecil-Menengah) dapat dimasukkan ekonomi rakyat, namun sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat tidak dapat disebut sebagai ”usaha” atau ”perusahaan” (firm) seperti yang dikenal dalam ilmu ekonomi perusahaan.

Jika disadari bahwa buku Smith tahun 1759 berjudul The Theory of Moral Statements, padahal kita hanya mengajarkan ke pada mahasiswa kita buku ke duanya yaitu The Weath of Nations (1776), kiranya kita para dosen ilmu ekonomi harus mengaku ”berdosa” atau paling sedikit mengakui kekeliruan kita.

Mengapa mahasiswa ekonomi hanya memahami manusia sebagai ”homo ekonomikus”, dan bukan sebagai ”homo moralis” atau ”homo socius” ? Itulah, karena ilmu ekonomi kita ajarkan sebagai ilmu yang super spesialistik, yang matematik, sehingga sifatnya sebagai ilmu sosial menjadi hilang. Memang Kenneth Boulding telah berjasa mengingatkan bahwa ilmu ekonomi dapat dipelajari sebagai : (1) ilmu ekologi; (2) ilmu perilaku; (3) ilmu politik; (4) ilmu matematik; (5) ilmu moral.

Tetapi berapa banyak di antara kita yang membahasnya atau menyinggung di ruang kuliah sebagai ilmu moral? Sangat sedikit, karena kita lebih suka menganggap ilmu ekonomi sebagai ilmu positif (positive science), dan cenderung mengejek ekonom lain yang mengajarkannya sebagai ilmu yang normatif (normative science). Terhadap konsep Ekonomi Pancasila yang pernah mencuat di wacana nasional, ada Ekonom Senior kita yang mengejek bahwa “tidak ada gunanya mengajarkan ilmu surga di dunia”

Karena tidak banyak manfaatnya lagi mengingatkan kritik-kritik radikal terhadap ilmu ekonomi seperti Paul Ormerod dalam The Death of Economics (1994), (karena buku seperti ini pasti sudah ”disingkirkan” sejak awal), maka buku klasik Kenneth Boulding diatas kiranya lebih tepat untuk dikutip.

Our graduate schools may easily be producing a good deal of the ”trained incapacity”, which Veblen saw being produced in his day, and this is a negative commodity unfortunately with a very high price.(Boulding, Kenneth, E. Economics as a Science, Tata McGraw-Hill, Bombay 1970, op. cit.hal 156)

Kami sangat khawatir kita tidak terlalu peduli apakah sarjana-sarjana ekonomi yang kita hasilkan akan merupakan ”trained incapacity” atau bukan? Mudah-mudahan melalui diskusi-diskusi ini makin banyak dosen di fakultas-fakultas ekonomi yang tersadar, berpikir, dan menjadi peduli pada misi pendidikan kita sekarang dan di masa depan. Jika tidak kita patut bertanya, Quo Vadis Fakultas Ekonomi Kita?

Prof. Dr. Mubyarto : Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM dan Ketua Yayasan Agro Ekonomika http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_2.htm

.

Jumat

"Kesejahteraan": apa maksudnya?...

Kesejahteraan adalah janji yang tak pernah basi untuk dijual oleh siapapun yang ingin membeli banyak hati. Setiap pemimpin bersumpah akan membawa kesejahteraan bagi mereka yang dipimpinnya, tetapi banyak sudah janji yang tidak terpenuhi atau bahkan dikhianati. Menjadi sejahtera adalah mimpi semua manusia, namun tak banyak yang tahu kemana harus mengejarnya dan bagaimana menggapainya? Mencari kesejahteraan belakangan ini ibarat berputar-putar mengejar satu fatamorgana, untuk kemudian tersesat di fatamorgana yang lain yang menjanjikan pemuas dahaga namun lagi-lagi hampa, atau bahkan menjerumuskan kepada binasa.


Negara, sebagai suatu institusi supra kemana individu menyerahkan sebagian kekuasaannya (dengan sukarela ataupun dengan paksaan), tak lagi pernah berhasil menunjukkan bahwa ia mampu menghantarkan rakyatnya ke gerbang sejahtera. Sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi kini hanya bisa kita temui di dalam kisah-kisah seribu satu malam a la Sultan Harun Al-Rasyid atau kisah raja-raja peminang putri salju dan cinderella.


Apakah kesejahteraan (well-being) kini telah kehilangan makna? Sehingga kata itu hanya tinggal kerangka tanpa jiwa, yang bisa digunakan dan dilantangkan oleh siapapun (juga oleh negara) tapi tak pernah bisa menghidupkan jiwa-jiwa? Dimanakah ruh dari kata “sejahtera”? Sehingga ia bisa berdaya membebaskan dirinya dari belenggu perbudakan ideologi yang ditunggangi oleh kepentingan pribadi para penguasa, berdaya menghidupkan kesadaran individu dari tipuan berbalut jargon-jargon palsu, dan menjadi daya hidup bagi negara untuk menjadi seharusnya ia menjadi.


Amartya Sen dalam bukunya “Inequality Reexamined” (1992) menegaskan, bahwa kesejahteraan (well-being) tidak cukup diukur dari indikator agregat makroekonomi semisal GDP, GNP atau Real Incomes. Tidak pula memadai jika kesejahteraan hanya diukur dari kecukupan bahan pokok (primary goods) ataupun sumberdaya (air, energi, other resources). Negara yang memiliki tingkat GDP yang tinggi, seringkali masih menghadapi masalah kemiskinan dan kesenjangan akut di perekonomian domestiknya. Dua orang individu yang memiliki sumberdaya yang sama seringkali mencapai kemakmuran (wealth) yang berbeda.


Bagi Sen, primary goods dan resources baru merupakan “bahan dasar” yang masih perlu ditransformasi menjadi hal-hal yang memang menjadi karakteristik dari kesejahteraan. Dalam terminologi Sen, karakteristik kesejahteraan adalah tercapainya “functioning”. Dan untuk mencapai functioning tersebut, individu perlu memiliki "capability"...kemampuan untuk mentransformasikan bahan dasar yang dimilikinya menjadi kesejahteraan.


Functioning merupakan aspek paling esensial dari keberadaan seorang manusia. Ia bisa berupa keadaan konkrit, semisal terpenuhinya kebutuhan pangan, selalu dalam keadaan sehat, terhindar dari kematian (avoiding escapable morbidity), atau berupa kondisi abstrak semisal menjadi bahagia, dihormati, bebas dari rasa takut, bisa berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat (tidak terasing). Tercapainya keadaan/kondisi-kondisi tersebutlah yang sesungguhnya merupakan pencapaian kesejahteraan yang sebenarnya.


Capability merupakan berbagai kombinasi functioning yang bisa dicapai oleh seorang individu, dan oleh karenanya menentukan tingkat kesejahteraan yang mungkin dicapainya. Dua orang individu dengan sumberdaya yang sama, dapat memiliki capability yang berbeda. Misalnya individu yang cacat (handicapped) tentu saja memiliki keterbatasan dalam mengolah sumberdaya yang dimiliki dibandingkan dengan orang normal lainnya. Demikian pula, setiap individu memiliki variasi karakteristik personal masing-masing, misalnya perbedaan kekuatan fisik, kemampuan intelektual, tingkat kematangan, agresivitas usaha, dll, yang semuanya sangat mempengaruhi bagaimana ia mentransformasi sumberdaya. Yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat kesejahteraan yang bisa dicapainya.


Capability adalah refleksi dari derajat kebebasan seseorang (person’s freedom) dalam mencapai well-being. Capability set seseorang meliputi berbagai kombinasi functionings, maka mencerminkan tingkat kebebasan seseorang yang berbeda untuk memilih di antara tingkat kehidupan yang mungkin baginya (freedom of choice). Well-being terwujud dengan dicapainya functioning. Dan keduanya, functioning DAN capability, secara tak terpisahkan harus menjadi definisi yang sesungguhnya dari kesejahteraan.

.