Sabtu

Indonesia Raya

Berdiri dan bangkitlah ! Tegapkan badan ragamu dan tegakkan jiwamu! Karena kepada hatimu sedang diperdengarkan puncak perjalanan ruh bangsa, setelah melintasi gelapnya berabad-abad kehidupannya, setelah diamnya dalam belenggu di bawah kaki bangsa lain, setelah darah dan air mata basah membanjiri setiap jengkal tanah dan airnya. Bangun dari kemalasan jiwamu, berdiri dan bangkitlah !! Karena kepada hatimu sedang dipaparkan berpuluh juta wajah, yang tlah serahkan jiwa dan raganya untuk kebebasan dan kemerdekan bangsa mu!! Kemerdekaan tanah dan airmu ! Kemerdekaan jiwa-jiwa para orangtua orangtua mu!


Jangan jadikan semuanya sia-sia dan terlupa. Ada darah di gengaman tanganmu..darah mereka yang telah basahi setiap perjalanan bangsa ini. Yang sekarang berseru kedalam jiwa hatimu..


”Dengarkan teriakan kami! Dengarkan seruan kami! Teruskan langkah perjuagan kami! Cita-cita dan mimpi ke arah mana ruh bangsa ini menuju..masihlah jauh di balik cakrawala!! Jangan berhenti, jangan tertipu! Kepalkan tanganmu, berdiri! Bangkit, wahai putera-puteri bangsa ini !!.


Indonesia tak akan pernah mati selama jiwa kalian terus diisi dengan gemuruh yang suaranya menggetarkan segala bangsa-bangsa di dunia! Indonesia tak akan pernah sirna, selama jiwa kalian terus diisi kesadaran bahwa rakyat semua harus terus dididik, diayomi, diasuh, dan dibesarkan. Sebagaimana kalian mengasuh dan menumbuhkan dengan rasa sayang tanamanbunga kalian! Demikian pulalah jiwa bangsa ini harus terus kalian jaga, pelihara, asuh, bina, didik, dan hidup-hidupkan sepanjang lintasan masa!!..”


Berdiri dan bangkitlah! Inilah suara dari leluhurmu! Puncak cita-cita bangsamu, puncak impian tanah dan airmu!!..Menangislah, wahai air mata yang digerakkan oleh jiwa-jiwa !! Dimanapun kalian berada saat ini! Menangislah!!!....


Hangatkan hati dan jiwamu

Dengan nyanyian ruh tanah dan air darimana kalian dilahirkan ini !!

Berdiri dan bangkitlah….untuk bangsa mu: Indonesia Raya !!..



Indonesia Raya 1945: http://www.youtube.com/watch?v=0ybhFIhE6fs

...


Minggu

Merah Yang Membakar

Ia baru berusia balita ketika Kartini menyeru-menyeru dari balik tembok kadipaten Jepara, dan usianya baru sebelas tahun ketika perkumpulan Budi Utomo didirikan oleh para mahasiwa sekolah dokter Jawa Stovia di Jakarta. Pada saat itu di kampung kelahirannya, Nagari Pandan Gadang di lembah Suliki di Payakumbuh Sumatera Barat, tanam paksa komoditi kopi baru saja berakhir dan diganti dengan kewajiban membayar pajak kepada kolonial Belanda. Tak banyak yang ia ketahui tentang keadaan negeri ini, dan tak terlalu tinggi cita-citanya ketika pada Oktober 1913 ia berangkat melanjutkan sekolah ke Rijks Kweekschool di Harleem-Belanda untuk menjadi guru sepulangnya nanti. Tetapi..tiga belas tahun kemudian,…dialah seorang perintis kemerdekaan yang berwawasan paling luas, seorang perancang Republik yang berfikiran paling tajam, dan seorang penuntut kemerdekaan yang paling tegas dan tak tergoyahkan.


Tan Malaka (1897-1949), terlahir bernama Ibrahim dan kemudian memangku gelar Datuk Tan Malaka di usia remajanya. Separuh hidupnya ia jelajahi jatuh-bangun di berbagai negeri dunia: sebelas negeri di dua benua. Yang menjadikannya seorang anak dari semua bangsa…dengan penguasaan tujuh bahasa (Belanda, Russia, Jerman, Inggris, Mandarin, Tagalog, dan Indonesia). Yang menyerap pengetahuan, pengalaman, semangat dan turut aktif dalam perjuangan rakyat di banyak negeri untuk membebaskan diri mereka dari himpitan penindasan kolonial-imperialis Inggris di India, Spanyol dan Amerika di Filipina…maupun penindasan kaum aristoktrat-feodalis-borjuasi di negeri-negeri Asia Timur dan Rusia. Tan Malaka menjadi tokoh paling tak disukai oleh para penjajah imperialis, dicari dan dikejar-kejar melintasi batas negara-negara oleh polisi rahasia, sehingga ia harus bergerak seperti bayangan malam dengan setidaknya 23 nama samaran (Alisio Rivera, Elias Fuentes, Ossorio, Ong Song Lee, Tan Ming Sion, Cheung Kun Tat, Howard Law, Hasan Gozali, dll..). Sebuah “gaya hidup” yang exotic sekaligus sophisticated jika kita membayangkannya seperti film-film spy James Bond jaman kini. Bedanya, Bond mengabdi kepada Sri Ratu kerajaan Inggris, sementara Tan Malaka mengabdi kepada seluruh rakyat bangsa-bangsa yang berjuang membebaskan diri dari kolonial-imperialis –termasuk Inggris- di seluruh dunia.


Pemikiran-pemikiran Tan Malaka sejak awal hari telah menjadi panduan bagi Soekarno sang proklamator dan para perintis kemerdekaan di tanah air. Dan di kemudian hari Panglima Besar Jenderal Soedirman pun mengaguminya. Dengan kedalaman pengetahuannya tentang karakter masing-masing penjajah kolonial di berbagai belahan dunia, termasuk tentang Belanda, Tan Malaka tahu bahwa kebebasan tanah airnya dan kesejahteraan rakyat negerinya tak mungkin akan diberikan cuma-cuma atas kebaikan hati Belanda..


“Tatkala Belanda mengarahkan kapal pembajaknya ke Indonesia, waktu itu negeri mereka hanyalah negeri tani dan tukang warung kopi kecil-kecil…Dengan keberanian dan kemauan seorang bajak laut serta ketamakan seorang tukang warung kopi yang kecil, habislah sekalian hasil negeri Indonesia dirampasnya…Bagaimana mungkin kita harapkan pemerintahan bijaksana dari bajak laut, tukang warung kecil ini ! (Massa Actie,Tan Malaka,1926)


Tan mengingatkan, bahwa perubahan kebijakan kolonial Belanda di awal abad keduapuluh (politik etis dan industrialisasi Jawa) sesungguhnya semata-mata untuk kepentingan monopoli para pedagang dan pengusaha swasta Belanda dan tidak menyisakan apapun bagi perekonomian bumiputera. Dan bahwa harapan bumiputera, baik mereka yang menyeru-nyeru dari dalam negeri Belanda maupun dari Hindia Belanda (termasuk Budi Utomo dan Kartini), akan kebaikan hati Belanda untuk meningkatkan taraf pendidikan bumiputera sehingga sama derajatnya antara penjajah dan anak-jajahannya….adalah harapan sia-sia!


“Masih saja ‘pemerintah tani dan tukang warung’ Belanda takut kepada universitas dan sekolah tinggi seperti kepada hantu…Tetapi, selain duit yang bagi seorang Belanda lebih berat timbangannya daripada cita-cita dan alasan politik, ada pula pandangan politik lain yang tak dapat kita harapkan dari si Belanda tani dusun yang dungu itu….’Bangsa Indonesia, harus tetap bodoh supaya ketentraman dan keamanan umum terpelihara’ “.(Massa Actie, Tan Malaka, 1926).


Bagi Tan Malaka, kebebasan harus direbut dengan paksa! Kesejahteraan dan pendidikan harus diperjuangkan dengan kekuatan sendiri. Kemerdekaan harus seratus persen dituntut dan direbut dari tangan penjajah Belanda. Kemerdekaan setengah-setengah tak bisa diterima. Tak ada kerjasama. Tak ada kompromi. Yang diperlukan adalah..revolusi !


“Kepada kaum intelek kita serukan…Tak terdengarkah olehmu, teriakan massa Indonesia untuk kemerdekaan yang senantiasa menjadi semakin keras?” (Naar de Republiek Indonesia, Menuju Republik Indonesia, Tan Malaka, 1925)


“..dengan jalan revolusi dan perang kemerdekaan nasionallah (yang dapat dimasukkan dalam revolusi sosial!), maka sekalian negeri besar dan modern tanpa kecuali, melepaskan diri dari kungkungan kelas dan penjajahan…Satu kelas dari suatu bangsa yang tidak mampu mengenyahkan peraturan-peraturan kolot serta perbudakan melalui revolusi, niscaya musnah atau terkutuk menjadi budak abadi. Revolusi adalah mencipta!(Massa Actie, Tan Malaka, 1926)


Tanggal 26-28 Oktober 1928, ketika Indonesische Studieclub menggelar Kongres Pemuda Indonesia....Wage Rudolf Soepratman, memainkan lagu ciptaannya: Indonesia Raya. Sebuah lagu yang terinspirasi dari tulisan Tan Malaka di penutup buku Massa Actie-nya:


Di sanalah tempatmu pemimpin-pemimpin revolusioner!...tegakkanlah mereka yang lemah…bangunkan yang tidur, suruh berdiri…;itulah kewajiban seorang yang tahu akan kewajiban seorang putra tumpah darahnya. Di situlah tempatmu berdiri dan berdiri…seorang putra Tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah….” ..

..

Sabtu

Uang, Lagi-Lagi Uang...


Ribuan tahun telah berlalu, dan sedemikian lamanya pula peradaban manusia telah dibangun di atas fondasi yang sangat rapuh: ego, dengan mana ia diciptakan. Peradaban demi peradaban dibangun dan runtuh silih berganti, hanya untuk menunjukkan bahwa sepanjang sejarahnya manusia tak kunjung bisa menaklukkan egonya. Setiap peradaban senantiasa diwarnai oleh perbenturan dan tarik-menarik antara berbagai ego yang masing-masing menuntut kebesaran diri, penguasaan sebesar-besarnya atas pihak lain, pemenuhan kepuasan diri sendiri, maupun ketamakan serta kerakusan (yg merupakan paradoks terhadap tujuan bersama untuk menggapai kemakmuran dan kesejahteraan).


Dan kehadiran uang, apapun nama dan bentuknya: cangkang kerang, gigi unta, gading gajah, cula badak, kulit sapi, domba, tembakau, batuan mineral semisal amber, dinar emas dan perak, kertas, kartu plastik, atau bahkan sekedar angka-angka dalam buku tabungan, menjanjikan semua yang ego butuhkan. Kepemilikan uang (apakah itu dlm wujud gigi unta, kertas, emas ataupun perak) tidak hanya menjanjikan kemampuan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan sehari-hari, tapi lebih dari itu; ia menjanjikan kemampuan untuk mewujudkan hasrat manusia untuk hidup abadi melalui penumpukan harta warisan. Ia menjanjikan kemampuan menaklukkan masa depan melalui penumpukan uang dan pemastian aliran future income.


Cangkang kerang, gigi unta ataupun secarik kertas pada hakekatnya tidaklah berharga, kecuali jika kemudian semua orang mempercayainya sebagai sesuatu yang berharga (shared & agreed values). Seorang pembeli tidak mungkin bisa menukarkan cangkang kerang dengan barang yang dibutuhkannya, apabila si penjual tidak percaya bahwa cangkang kerang itu berharga. Demikian pula, pegawai kantoran tidak akan mau bekerja kecuali jika secarik kertas yang ia terima di akhir bulan dipercayainya berharga untuk nanti ditukar dengan makanan dan pakaian. Supermarket akan memberi makanan dan pakaian dengan kepercayaan bahwa secarik kertas itu dapat ia bawa ke bank dan menambah jumlah kekayaannya. Demikianlah maka mata rantai “money illusion” ini pada akhirnya membentuk sebuah system of belief tentang berharganya secarik kertas atau cangkang kerang atau gigi unta tersebut. Manusia kemudian bersama-sama tersihir oleh ilusi yang berasal dari benda-benda, sehingga kita sangat percaya bahwa benda-benda itu memiliki nilai dan kekuatan yang jauh lebih besar daripada penampakan biasanya.


Irasional? Ya. Sama irasionalnya dengan “nilai” yang kita sematkan kepada sekeping kartu debet plastik, secarik uang kertas dollar atau rupiah (fiat/representative money), maupun dinar emas (commodity money). Tak peduli apapun bentuknya!


Dan ketika kekuatan psikologis akhirnya juga kita serahkan kepada benda-benda yang kita sebut sebagai “uang”, maka money illusion menjanjikan kekuataan yang lebih besar lagi: penguasaan atas uang (dan sumber-sumber ekonomi) menjanjikan kendali kekuasaan atas orang lain dan bahkan atas sebuah negeri. Kepemilikan uang sebanyak-banyaknya menjanjikan kemampuan untuk mewujudkan semua keinginan dan mimpi-mimpi dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup! Conspicuous consumption, reputable wastefulness and futility adalah kata lain dari konsumerisme pada abad ke-19 (Thorstein Veblen (1981), The Theory of the Leisure Class). Dan dalam jebakan ilusi, manusia menjadi semakin kerasukan mengejar materi. Sebagaimana Midas sang raja, untuk setiap benda yang disentuhnya menjadi emas maka satu kehausan muncul untuk menyentuh benda lainnya. Satu kehausan melahirkan kehausan berikutnya. Demikian seterusnya hingga puteri kesayangannya pun menjadi emas membatu.


Peradaban-peradaban awal manusia sebenarnya sangat menyadari tentang betapa dahsyatnya kekuatan ilusi yang dikandung oleh uang (apapun bentuknya) dalam merayu ego manusia. Dan mereka berusaha memberi kekuatan kepada manusia untuk tidak terjebak ke dalamnya, dengan menanamkan kesadaran bhw uang adalah sesuatu yang sakral yang harus dijaga dan dipertanggungjawabkan penggunaannya kpd para Dewa di atas mereka. Penerbitan uang pertama bangsa Romawi, misalnya, diawali dgn prosesi “pensucian” di kuil dewi Juno dan pemberian nama mata uang yang bernuansa religius: “moneta” yang juga merupakan sebutan bagi dewi Juno. Demikian pula dengan bangsa-bangsa sebelumnya (Yunani, Babilonia dan Mesir) yang juga senantiasa menyematkan nuansa religi pada mata uangnya; penggunaan emas dan perak sebagai uang diyakini merupakan simbol dari korelasi mistis antara Matahari dan Bulan.


Dan semakin “berkuasanya” uang dalam kehidupan sehari-hari serta kehancuran sosio-ekonomi yang diakibatkannya, bahkan pada abad-abad awal lahirnya, memunculkan gambaran bahwa uang tidak lain adalah perwujudan lain dari iblis dan setan. Di masa peradaban Babilonia, kehadiran emas dikatakan sebagai “the excrement of Hell” (kotoran neraka). Sepanjang sejarahnya, manusia semakin keras berteriak tentang kehadiran Iblis dan setan yang menyertai kekuatan destruktif dari uang. Namun mereka sepertinya tak pernah sadar, bahwa Iblis dan setan itu adalah makhluk yang sama yang telah mereka lepaskan dari rantai kendali dari dalam diri mereka sendiri. Dan yang selama ini bahkan telah mereka besarkan dengan asupan ego mereka sendiri yang semakin besar dan semakin besar kekuatan kendalinya…


Ego, yang telah meruntuhkan mimpi John Maynard Keynes (1932) tujuh puluh lima tahun yang lalu tentang sebuah peradaban manusia yang seharusnya :


“…when the accumulation of wealth is no longer of high social importance, there will be great changes in the code of morals. We shall be able to rid ourselves of many of the pseudo-moral principles which have hag-ridden us for two hundred years, by which we have exalted some of the most distasteful of human qualities into position of the highest virtues. We shall be able to afford to dare to assess the money-motive at its true value. The love of money as a possesion –as distinguished from the love of money as a means to the enjoyments and realities of life – will be recognized for what it is, a somewhat disgusting morbidity, one of those semi-criminal, semi-pathological propensities…” (Economic Possibilities for Our Grandchildren, Essays in Persuasion, John Maynard Keynes, 1932)


...

Seruan Dari Balik Sunyi


Betapa ia mencintai eropa, kemajuan ilmu serta peradabannya, kesamaan derajat manusianya..dan kebebasannya. Dan betapa ia selalu rindu untuk pergi ke sana mereguk semua itu. Kemudian dengan daya ruh yang baru, ia akan kembali ke tanah Hindia tuk meniupkan ruh kemajuan itu ke dalam fikiran dan jiwa rakyatnya. Rakyat yang dipujanya, yang “keindahan” mereka menghiasi relung hatinya.

“Duh, Stella..aku ingin ceritakan banyak tentang Rakyatku yang begitu lembut, tentang caranya berfikir dan memandang…betapa penuh sesak perbendaharaan yang kami dengar dari mulut Rakyat; kebijaksanaan, kebenaran, begitu jelas, dengan kata-kata yang begitu sederhana namun bernyanyi!...Kami begitu dekatnya pada alam, pada sumber mula; kebijaksanaan-kebijaksanaan kami tidak perlu sampai memaksa memecahkan kepala untuk dapat memahaminya Dengan kata-kata sederhana, namun, duh, betapa indah bunyi dan iramanya….Segala yang tinggi dan indah dalam hidup ini adalah puisi. Cinta, pengabdian diri, kesetiaan, kepercayaan, seni, segala yang meninggi, mempermulia dan memperindah adalah puisi. ..Orang Jawa yang kecil, paling kecil pun adalah puitik..” (Surat Kartini kepada Estelle Zeehandelaar sahabat penanya, 1902)

Orang Jawa yang kecil, yang hidup serba kekurangan di luar tembok kadipaten di mana Kartini dipingit sejak usia dua belas tahun (1891). Rakyat, yang kepada mereka telah ia serahkan hatinya tuk selama-lamanya meski ia tak hidup bersama-sama dengan mereka. Yang membuatnya menitikkan air mata karena ketertindasan mereka di bawah sistem budaya feodal, di dalam mana ayahandanya RMA Sosroningrat -Bupati Jepara- adalah menjadi bagian dari sistem itu, dan ibu kandungnya Ngasirah –putri seorang jelata yang dijadikan selir oleh ayahandanya- menjadi korbannya (dan dirinya sendiri yang nanti akhirnya menjalani nasib yang sama menjadi isteri dari seorang bupati Rembang yang telah beristeri tiga). Ah!..hatinya mendesak-desak untuk melakukan sesuatu bagi mereka, mengangkat derajat mereka, membebaskan mereka…

“disebut bersama dengan Rakyatku; dengannyalah dia akan berada buat selama-lamanya! Aku sangat bangga, Stella, disebut dengan satu nafas dengan Rakyatku.” (Surat kepada Estelle Zeehandelaar, 1902).

dan juga membebaskan dirinya…

“..penjaraku adalah sebuah rumah besar, dengan pekarangan luas, tapi sebuah pagar tembok tinggi mengelilinginya, dan pagar itulah yang mengurung aku…Arah manapun yang kutempuh, akhir dari perjalanan itu selalu saja tembok batu atau pintu terkunci…

..tetapi si adat itu telah letakkan dirinya dengan tanpa ampun dalam susunan orang dewasa….Sekarang harus tenang, terkendali, sebagaimana mestinya wanita-wanita muda Pribumi yang berasal dari keturunan bangsawan tinggi. Seorang gadis Jawa adalah sebutir permata, bila ia pendiam, tak bergerak-gerak seperti boneka kayu; bicara hanya bila benar-benar perlu dengan suara berbisik, sampai pun semut tak sanggup mendengarnya; berjalan setindak demi setindak seperti siput; tertawa, harus tanpa suara tanpa membuka bibir….Si anak manusia kecil itu tak juga bisa belajar tawakal! Dalam kepala dan hatinya yang gila itu berhuru-hara ratusan pikiran-pikiran yang memberontak” (surat kepada Estelle Zeehandelaar, 1899).

Dari persentuhannya dengan semangat kebebasan eropa (ia lebih menyebut eropa, yang ia pahami sangat lebih besar dari sekadar negeri belanda), semakin tumbuh kesadaran dalam jiwa Kartini muda…bahwa rakyat (dan dirinya) harus dibebaskan dari adat yang memenjarakan dan membelenggu. Hanya dengan cara itulah, mereka bisa dibawa kepada kemajuan peradaban! Sebuah kesadaran yang ironis, karena ia justru hidup dan dihidupi dalam adat yang tak disetujuinya itu. Sebuah kesadaran yang mungkin diletupkan oleh butiran darah yang ia warisi dari ibu kandungnya yang “cuma” puteri seorang mandor pabrik tebu di Majong. Sebuah kesadaran, bahwa kemajuan bisa dicapai hanya jika semua manusia bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi memiliki hak-hak yang sama, dan boleh memiliki mimpi-mimpi yang sama tinggi !!..

“…demi kepentingan mereka yang kau sayangi dan menyayangi kau; ini, perjuanganmu mempermulai wujud manusiamu…Pergi!, garap kerjamu melaksanakan cita-cita;kerja buat hari depan; kerja buat kesejahteraan ribuan, yang terbungkuk-bungkuk di bawah tindasan hukum-hukum yang tidak adil, di bawah faham palsu tentang baik dan buruk; pergi, pergi, menderitalah dan berjuanglah tapi kerjalah buat keabadian!” (surat kepada MCE Ovink-Soer, 1900)

Disarikan dan dibahasakan kembali dari buku “Panggil Aku Kartini Saja” oleh Pramoedya Ananta Toer, Hasta Mitra, April 2000.


..

Penyeru Penyeru Pertama


Mereka yang tlah melihat dunia, terbukalah wawasannya. Di hadapannya terbentang kemungkinan-kemungkinan, dan ia kini berani untuk memiliki impian. Ia kini bisa menatap gemintang di langit yang benderang, yang tak pernah bisa ia saksikan di langit negerinya yang selama ratusan tahun hanya gelungan mendung mengkungkung. Ia kini adalah anak semua bangsa, yang bisa menjadi sama majunya dan bisa sama beradabnya dengan bangsa-bangsa lain di dunia! Mereka pun menyeru kepada saudara-saudara mereka setanah air di Hindia Belanda. Untuk mengikuti jejak langkah mereka.

“Hai kalian, putra-putra Jawa, demi kalian disini aku memberanikan diri berseru. Dengarkanlah, lonceng telah berbunyi agar kalian bangun dari tidur yang membiuskan, untuk membela hak-hak kalian, yaitu hak untuk berlomba-lomba dengan mereka yang lebih beradab dan berkembang dalam ilmu, kecerdasan dan ketekunan, hingga kalian menjadi berkah bagi tanah air kalian sendiri!..kembangkan seluruh kekuatan kalian untuk membantu rakyat kita membentuk diri, dari kanak-kanak sampai dewasa.”

Demikianlah seruan Sosrokartono, salah seorang pelajar perintis di negeri Belanda dan penyeru pertama (yang juga adalah kakak kandung dari RA Kartini) pada pertengahan tahun 1899. Seruan senada disampaikan pula melalui media cetak yang dibuat dan disebarluaskan ke Hindia Belanda oleh beberapa bumiputera yang telah menetap di negeri Belanda. Abdul Rivai, seorang wartawan dan dokter asal Sumatera Barat, menerbitkan koran Pewarta Wolanda (1899) dan kemudian Bandera Wolanda (1901) bersama-sama dengan Sosrokartono dan Abdullah (putra Dr.Wahidin Soedirohoesodo). Koran Kolonial Weekblad (1901) dan Bintang Hindia (1902) kemudian menyusul dengan membawa pesan-pesan yang sama.

Memasuki tahun pertama dari abad keduapuluh, mulailah berdatangan putera-putera pribumi ke negeri Belanda menjawab seruan itu. Sejalan dengan dimulainya pula kebijakan “politik etis” oleh pemerintah kolonial terhadap negeri-negeri jajahannya, maka kesempatan untuk mempelajari bahasa dan kebudayaan negeri Belanda semakin dibuka. Sebuah kebijakan untuk mendekatkan dan mempererat hubungan persaudaraan antara negeri jajahan dengan negeri penjajahnya lewat jalan budaya dan bahasa. Maka berdatanganlah mereka ke negeri Belanda: putera-putera raja nusantara, putera Sultan Kutai, putera Sultan Asahan, putra kaum bangsawan Jawa, anak Bupati Magelang, anak Susuhunan Solo, dan orang-orang biasa.

Bahkan R.A.Kartini melihat bahwa pergi ke Belanda adalah satu-satunya jalan menuju kemajuan dan (lebih penting lagi) kebebasan dirinya, “Cakrawalaku pasti akan lebih luas, jiwaku pasti akan lebih kaya, dan semua itu tak sangsi lagi pasti akan berpengaruh baik baik bagi pelaksanaan tugasku…Negeri Belanda harus dan pasti menjadikan diriku benar-benar seorang perempuan merdeka.”

Bagi para penyeru pertama, satu-satunya jalan yang mereka lihat untuk menggapai masa depan yang lebih benderang hanyalah dengan menerima kondisi keterjajahan ini sebagai sebuah “takdir” yang tidak dapat diubah lagi. Berbagai upaya untuk merubah takdir telah pupus ditumpas, di Jawa, di Aceh, di Sumatera, di timur kepulauan nusantara. Dan kerajaan penjajah tetap berdiri tegak tak terkalahkan. Tak ada siapa yang bisa merubah kondisi ini, karena memang inilah takdir hidup kita. Dan yang bisa kita lakukan kini adalah mencoba “mengambil hikmah” dan manfaat dari keterjajahan ini. Yang bisa kita lakukan, dalam pemikiran mereka, adalah setidaknya mengharap simpati dan niat baik (dan rasa kasihan) dari Sang Ratu Belanda terhadap Hindia Belanda…untuk menjadikan kita sebagai anak-anaknya yang sesungguhnya. Yang dengannya kita diberinya kesempatan untuk mencicipi kesejahteraan dan kemajuan sebagaimana anak-anaknya di negeri Belanda. Dan sebagai imbalannya, akan kita berikan kesetiaan kita kepada Yang Mulia berupa ketaklukan di bawah satu Ratu dan satu bendera: Kemaharajaan Belanda.

Maka pada penerbitan pertama koran Bintang Hindia (1902), sang redaktur menjelaskan, bahwa “Kami ingin banyak bercerita kepada sesama warga negara Pribumi dan warga negara Timur lainnya tentang Ibu Pertiwi di Eropa, dan dengan itu membangkitkan minat mereka pada berbagai hal, yang sampai waktu itu berada di luar lingkungan pemikiran mereka…….Kami ingin memperkokoh kesetiaan kepada Bendera dan Ratu, namun kesetiaan yang tidak didasarkan pada rasa takut yang bodoh dan pengecut, melainkan didasarkan pada keyakinan yang benar, pada rasa cinta.”

Maka dituliskan pada Kop surat kabar Bandera Wolanda (1901) maupun Bintang Hindia (1902), “Kekallah karadja an Wolanda Masjhoerlah tanah Hindia” di kirinya. Dan di kanannya dituliskan “Sampai mati satya kepada Sri Baginda Maharadja”.

Disarikan dan dibahasakan kembali dari buku “Di Negeri Jajahan: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950”, Harry A.Poeze, KITLV Jakarta dan KPG, Juli 2008.
..

Minggu

Anak Semua Bangsa


Luasnya dunia tak pernah terbayangkan oleh nyaris segenap rakyat negeri kepulauan ini. Dunia, bagi mereka, hanyalah sejauh mata mereka bisa memandang. Sejauh patok-patok pembatas sawahnya atau cakrawala yang tak pernah bisa mereka capai dengan sampan dan perahu mereka. Dan ketika penderitaan serta penindasan berabad-abad tak lagi menyisakan kisah lain kecuali kisah tentang samudera air mata..maka semuanya menjadi seperti suatu kewajaran dan nasib buruk yang harus mereka terima dan jalani dalam satu-satunya dunia yang mereka ketahui ini.

Hanya segelintir anak negeri ini yang beruntung untuk menyadari, bahwa di belahan bumi yang jauh dan di balik cakrawala sana terdapat dunia yang lain. Dunia yang benderang oleh lampu-lampu yang tak perlu diisi minyak kelapa, yang jalan-jalannya lebar tertata bersih, yang kereta-keretanya tak lagi dihela oleh kuda tapi oleh mesin di atas lintasan besi, yang manusia-manusianya bisa bebas berbicara, yang bisa duduk sama rendah berdiri sama tinggi di antara sesama mereka, yang segalanya teratur tertib dan rapi.

Mereka adalah anak-anak tanah jajahan Hindia Belanda,yang di tahun-tahun 1600-an dibawa oleh tuan-tuan Belandanya ketika berlibur mudik ke negeri mereka (Den Haag adalah kota liburan paling favorit ketika itu). Sebagai budak, sebagai babu, sebagai baby sitter/ ibu susu, sebagai “perabot rumah tangga” yang tidak berharga tapi musti dibawa-bawa untuk melayani berbagai kebutuhan mereka dan menjaga life style kolonial mereka sebagaimana mereka hidup di Hindia Belanda. (Kebiasaan ini kemudian memaksa pemerintah negeri Belanda pada tahun 1636 mengeluarkan larangan untuk membawa orang kulit non-putih dari Hindia Belanda..sebuah larangan yang tak diacuhkan)

Mereka adalah pribumi tanah jajahan yang sengaja didatangkan oleh pemerintah Kolonial untuk memamerkan “eksotika” diri mereka, wajah mereka, postur tubuh mereka, pakaian mereka, kesenian dan bahasa mereka…sebagai bangsa pribumi yang terbelakang..kepada para penonton Exposition Universelle Coloniale…Pameran Dunia (tentang negeri-negeri) Kolonial. Di London (1851), Amsterdam (1883) dan Paris (1889), mereka “dipajang” untuk mengisi sebuah miniatur suasana perkampungan di Hindia Belanda, lengkap dengan gubuk-gubuk, kali kecil, jembatan bambu dan kandang kuda serta kambing. Dan panitia membekali para pengunjung dengan “buku panduan” yang bisa dibaca sambil melihat-lihat perkampungan sehingga lebih dapat merasakan suasana eksotisnya!

Mereka yang lain, adalah satu dua anak negeri yang mendapat “beasiswa” sebagai asisten pelukis, asisten guru, asisten amtenar, ataupun abdi dalem yang dikirim oleh Raja-nya atau sultan-nya untuk belajar. (Kadjo, misalnya, adalah seorang abdi dalem yg pada tahun 1856 dikirim oleh Sunan Surakarta ke Brussel utk belajar memperbaiki arloji !..)

Di waktu-waktu senggang mereka sebagai pelajar, budak, babu, baby sitter, ataupun “asesoris” pameran, tentu saja mereka terus merasa takjub menyaksikan sebuah dunia dengan berbagai keajaiban yang tak pernah mereka bayangkan seumur hidupnya. Ketakjuban yang menyadarkan mereka, bahwa ada dunia yang jauh lebih maju daripada dunia mereka di Hindia Belanda sana. Mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa ada dunia lain yang ternyata bisa seindah dan semegah ini.

Bagi sebagian mereka yang berfikir mendalam, penyaksian ini menyulut kesadaran, bahwa ia bukan lagi manusia yang kesepian…yang tak bisa memiliki keinginan…yang hidup di sebuah dunia terpencil yang bernama Hindia Belanda. Ia kini telah menjadi bagian dari fenomena dunia yang lebih luas dan ramai dengan segala kemungkinan. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa-bangsa lain, yang juga berhak untuk memiliki keinginan untuk maju dan menjadi setara.

Ia kini terlahir sebagai anak semua bangsa, yang berhak memiliki mimpi yang setara dengan semua bangsa maju di dunia. Untuk memiliki kehidupan yang sama indah dan sama benderangnya !!..


Disarikan dan dibahasakan kembali dari: “Di Negeri Jajahan: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950”, Harry A.Poeze, KITLV Jakarta dan KPG, Juli 2008.
..