Sabtu

Seruan Dari Balik Sunyi


Betapa ia mencintai eropa, kemajuan ilmu serta peradabannya, kesamaan derajat manusianya..dan kebebasannya. Dan betapa ia selalu rindu untuk pergi ke sana mereguk semua itu. Kemudian dengan daya ruh yang baru, ia akan kembali ke tanah Hindia tuk meniupkan ruh kemajuan itu ke dalam fikiran dan jiwa rakyatnya. Rakyat yang dipujanya, yang “keindahan” mereka menghiasi relung hatinya.

“Duh, Stella..aku ingin ceritakan banyak tentang Rakyatku yang begitu lembut, tentang caranya berfikir dan memandang…betapa penuh sesak perbendaharaan yang kami dengar dari mulut Rakyat; kebijaksanaan, kebenaran, begitu jelas, dengan kata-kata yang begitu sederhana namun bernyanyi!...Kami begitu dekatnya pada alam, pada sumber mula; kebijaksanaan-kebijaksanaan kami tidak perlu sampai memaksa memecahkan kepala untuk dapat memahaminya Dengan kata-kata sederhana, namun, duh, betapa indah bunyi dan iramanya….Segala yang tinggi dan indah dalam hidup ini adalah puisi. Cinta, pengabdian diri, kesetiaan, kepercayaan, seni, segala yang meninggi, mempermulia dan memperindah adalah puisi. ..Orang Jawa yang kecil, paling kecil pun adalah puitik..” (Surat Kartini kepada Estelle Zeehandelaar sahabat penanya, 1902)

Orang Jawa yang kecil, yang hidup serba kekurangan di luar tembok kadipaten di mana Kartini dipingit sejak usia dua belas tahun (1891). Rakyat, yang kepada mereka telah ia serahkan hatinya tuk selama-lamanya meski ia tak hidup bersama-sama dengan mereka. Yang membuatnya menitikkan air mata karena ketertindasan mereka di bawah sistem budaya feodal, di dalam mana ayahandanya RMA Sosroningrat -Bupati Jepara- adalah menjadi bagian dari sistem itu, dan ibu kandungnya Ngasirah –putri seorang jelata yang dijadikan selir oleh ayahandanya- menjadi korbannya (dan dirinya sendiri yang nanti akhirnya menjalani nasib yang sama menjadi isteri dari seorang bupati Rembang yang telah beristeri tiga). Ah!..hatinya mendesak-desak untuk melakukan sesuatu bagi mereka, mengangkat derajat mereka, membebaskan mereka…

“disebut bersama dengan Rakyatku; dengannyalah dia akan berada buat selama-lamanya! Aku sangat bangga, Stella, disebut dengan satu nafas dengan Rakyatku.” (Surat kepada Estelle Zeehandelaar, 1902).

dan juga membebaskan dirinya…

“..penjaraku adalah sebuah rumah besar, dengan pekarangan luas, tapi sebuah pagar tembok tinggi mengelilinginya, dan pagar itulah yang mengurung aku…Arah manapun yang kutempuh, akhir dari perjalanan itu selalu saja tembok batu atau pintu terkunci…

..tetapi si adat itu telah letakkan dirinya dengan tanpa ampun dalam susunan orang dewasa….Sekarang harus tenang, terkendali, sebagaimana mestinya wanita-wanita muda Pribumi yang berasal dari keturunan bangsawan tinggi. Seorang gadis Jawa adalah sebutir permata, bila ia pendiam, tak bergerak-gerak seperti boneka kayu; bicara hanya bila benar-benar perlu dengan suara berbisik, sampai pun semut tak sanggup mendengarnya; berjalan setindak demi setindak seperti siput; tertawa, harus tanpa suara tanpa membuka bibir….Si anak manusia kecil itu tak juga bisa belajar tawakal! Dalam kepala dan hatinya yang gila itu berhuru-hara ratusan pikiran-pikiran yang memberontak” (surat kepada Estelle Zeehandelaar, 1899).

Dari persentuhannya dengan semangat kebebasan eropa (ia lebih menyebut eropa, yang ia pahami sangat lebih besar dari sekadar negeri belanda), semakin tumbuh kesadaran dalam jiwa Kartini muda…bahwa rakyat (dan dirinya) harus dibebaskan dari adat yang memenjarakan dan membelenggu. Hanya dengan cara itulah, mereka bisa dibawa kepada kemajuan peradaban! Sebuah kesadaran yang ironis, karena ia justru hidup dan dihidupi dalam adat yang tak disetujuinya itu. Sebuah kesadaran yang mungkin diletupkan oleh butiran darah yang ia warisi dari ibu kandungnya yang “cuma” puteri seorang mandor pabrik tebu di Majong. Sebuah kesadaran, bahwa kemajuan bisa dicapai hanya jika semua manusia bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi memiliki hak-hak yang sama, dan boleh memiliki mimpi-mimpi yang sama tinggi !!..

“…demi kepentingan mereka yang kau sayangi dan menyayangi kau; ini, perjuanganmu mempermulai wujud manusiamu…Pergi!, garap kerjamu melaksanakan cita-cita;kerja buat hari depan; kerja buat kesejahteraan ribuan, yang terbungkuk-bungkuk di bawah tindasan hukum-hukum yang tidak adil, di bawah faham palsu tentang baik dan buruk; pergi, pergi, menderitalah dan berjuanglah tapi kerjalah buat keabadian!” (surat kepada MCE Ovink-Soer, 1900)

Disarikan dan dibahasakan kembali dari buku “Panggil Aku Kartini Saja” oleh Pramoedya Ananta Toer, Hasta Mitra, April 2000.


..

Tidak ada komentar: