Senin

Pedih Yang Tak Bisa Dilupakan



Note: Maaf jika ada kata dan tulisan yang dianggap tidak sopan. Sama sekali tidak bermaksud untuk melanggar batas etika, namun biarlah semua tahu bahwa kenyataan kekejaman yang mereka alami memang sangat jauh melebihi batas-batas kemanusiaan...


Ibu Rusminah, 68 tahun, sekarang usaha warung sembako diGurah-Kediri


Nduk, biarlah Ibu hidup di sini di desa Gurah yang kecil ini. Beristirahat dalam kedamaian, yang akhirnya Ibu temukan disini, di tanah kelahiran Ibumu ini. Hingga akhir waktu nanti. Terlalu banyak letih dan telah kering airmata untuk menangisi kisah gelap kehidupan Ibu. Dan biarlah itu menjadi milik Ibu sendiri. Sementara kamu, Nduk..hiduplah dengan bahagia. Duniamu masih luas terbentang..sementara dunia Ibu..ah Ibu ndak pingin kamu tahu…


“Iki kabeh kanggo mulyake uripmu, Nduk..”, begitu simbah puterimu waktu itu menasehati Ibu untuk pasrah nrimo perjodohan dengan Bapakmu. Ibumu cuma guru sekolah rakyat, ndak tau apa-apa soal peristiwa-peristiwa besar kecuali hanya ingin ikut mendidik dan menjadikan anak-anak desa menjadi lebih pintar. Bapakmu memang aktif dalam organisasi untuk membela rakyat kecil. Ia pergi kesana-kemari entah kemana, karena ia memang ndak mau melibatkan Ibu dalam urusan pekerjaan laki-laki.


Tiba-tiba dunia Ibu berubah gelap pada suatu hari itu, satu oktober tahun enam puluh lima. Banyak tentara dan gerombolan orang tiba-tiba mengobrak-abrik rumah, menyergap, menarik-narik dan menyobek paksa pakaian Ibu. Mereka berteriak-teriak seram mencari-cari Bapak, “Mana Sutarto?!...Bakar!..Bakar semua!..”. Dan Ibu yang ndak tau apa-apa soal peristiwa-peristiwa besar di Jakarta itu, diangkut mobil tentara ke pos polisi dan tentara. Lima bulan di tahanan Kodim Kediri dan kemudian dipindah ke Pare. Duh, Nduk…hanya airmata dan darah yang Ibumu tau disana. Setiap malam setan-setan berbaju seragam itu menodai dan merusak kesucian Ibu. Setiap malam, Nduk!!..Setiap malam berganti-ganti, sendiri-sendiri maupun beramai-ramai mereka berpesta di atas tubuh Ibumu ini..yang bagi mereka seperti boleh diapakan saja karena Ibumu ini adalah seorang isteri anggota PKI ! Dan artinya Ibumu ini bukan lagi manusia di mata mereka. Cuma alat pemuas nafsu kebinatangan yang mereka sembunyikan di balik kedok “kebenaran”.


Dan ketika seorang Perwira dari mereka datang kepada Ibu, mengeluarkan Ibu dari neraka itu, sejenak Ibu memiliki harapan akan kehidupan. Ibu dbawanya ke rumah dinasnya, diberi baju dan diberi makan. Tapi, Nduk…sama saja ia! Ibu bukanlah manusia bebas, tapi tahanan rumah dengan status pembantu rumah tangga sekaligus pemuas nafsu perwira itu bertahun-tahun lamanya! Ibu ndak boleh keluar rumah..atau akan dikembalikan ke neraka. Ibu ndak pernah dikawin, meskipun kamu terlahir di rumah itu. Baginya, Ibu cuma perabot rumah tangga yang digunakan jika perlu, untuk kemudian dibuang setelah bosan. Ia begitu saja pergi ke Makassar, meninggalkan Ibu dan kamu bernasib tak tentu.


Saat itulah Ibu kembali ke sini, ke desa kecil tanah kelahiran ini, menitipkanmu ke simbah kakung dan putri dan kemudian diangkat anak oleh Ibu Lasmi, pemilik Konveksi tempat Ibu bekerja. Dan Ibu bersyukur, karena kamu akhirnya bisa jalani hidupmu dengan lebih baik…lulus SMA..lulus jadi sarjana..kerja di bank…dan berkeluarga sekarang. Hidupmu terbentang, Nduk. Raihlah itu. Biarlah Ibu di sini saja, di kota kecil sini…



Ibu Yanti, 57 tahun, sekarang berjualan sayur dan buah di Jakarta


Anak-anakku, Ibu hanya mempunyai satu keinginan sebelum Ibu mati. Yaitu..bertemu keluarga almarhum jenderal-jenderal itu. Ibu mau menceritakan kepada mereka, bahwa Ibu bukan pembunuh jenderal apalagi penyayat-nyayat penis mereka..


Ibu baru berumur 14 tahun, sekolah SMP, waktu tentara-tentara itu menangkap Ibu. Saat itu jiwa muda Ibu sedang bersemangat karena terbakar api “Ganyang Malaysia” yang dikobarkan oleh Presiden Sukarno, dan menjalani latihan sukarelawan di kampung Lubang Buaya. Entah bagaimana, tiba-tiba di pagi buta..tentara-tentara itu merangsek barak Ibu, berteriak-teriak da menembak-nembak ke atas, “Setan! Perempuan-perempuan biadab!..Kamu ya? Yang membunuh dan menyayat-nyayat jenderal-jenderal kami!?”. Dan Ibu hanya diam karena memang tidak tau apa yang mereka teriakkan itu?


Ibu dan semua perempuan hari itu dikumpulkan di lapangan, disuruh telanjang tanpa sehelai pakaianpun bahkan tanpa celana dalam. Melawan berarti pukulan popor senapan dan siksaan. Dari pagi sampai petang Ibu berdiri di lapangan, telanjang..tanpa diberi minum apalagi makan..dan terus begitu selama dua hari dua malam. Tentara-tentara itu terus berteriak-teriak, “Ini wajah telanjang perempuan-perempuan komunis! Dasar sundal! Kamu dilatih PKI disini untuk membunuh dan menyayat-nyayat tubuh kan?!”..


Disela-sela teriakan mereka, setan-setan berseragam itu megucap-usapkan ujung senjata mereka ke payudara kami, atau merudnuk dan meremas-remaskan tangan mereka, atau menusuk-nusukkan ujung aras senjata ke kemaluan kami. Bagi mereka, kami hanyalah tontonan dan obyek tertawaan menarik yang bisa menaikkan hasrat binatang mereka. Pada hari ketiga, dunia Ibu semakin gelap anakku…kami semua digiring ke barak kosong. Katanya untuk diinterogasi,tapi yang terjadi adalah penganiayaan fisik secara lebih biadab lagi. Siapa sebenarnya mereka?! Manusia atau bukan?! Mereka menyundutkan api rokok ke payudara-payudara kami, membakar rambut kemaluan, memperkosa kami secara beramai-ramai dan merusak organ seksual kami dengan benda-benda..leher botol, tongkat pemukul, kemoceng, laras senjata dan banyak lagi benda yang menumpahkan darah kami. Seperti kesetanan, mereka menyetrum jari-jari, puting-puting payudara dan klitoris kami. Terus dan terus, hingga Ibu berulangkali pingsan. “Habisi saja! Habisi!”, teriak mereka. Dan Ibu sudah hancur. Ibu menyerah.


Hanya “ya” yang boleh Ibu jawab ketika beberapa wartawan dipertemukan dengan kami. Mereka bertanya macam-macam seputar sebuah peristiwa besar tewasnya jenderal-jenderal. Dan Ibu hanya boleh menjawab “ya”…atau tiga orang algojo yang sudah berkali-kali memeriksa dan memerkosa Ibu akan menyiksa Ibu lebih kejam lagi katanya. Ramai-ramai wartawan bertanya: apakah benar Ibu ikut menyiksa jenderak-jenderal? Apakah Ibu ikut menari-narkan tarian “Harum Bunga” sambil telanjang di depan para jenderal? Apa benar Ibu dan kawan-kawan ini sukwati yang berpesta seks di depan para jenderal? Dan untuk semua hal yang Ibu tidak pernah lakukan…tapi Ibu hanya bleh manjwab “ya” dan “ya” dan “ya” saja…. Dan hadiah dari kepatuhan Ibu adalah…Ibu diperkosa berkali-kali lagi oleh seorang interogator! Mereka manusia atau bukan, Nak ?!!.Siapa mereka?!..


Ibu Darmi, 78 tahun, membuka warung di Surabaya


Anak,..jangan suruh Ibumu ini menari lagi. Jangan minta Ibumu tuk mendengarkan lagi gamelan. Karena batin ini menjadi menjerit sekeras-kerasnya. Karena pada setiap dentingnya membawa kembali kisah gelap. Dan pada setiap lekuk geraknya dibasahi air mata dan darah.


Seandainya anak tahu, sesungguhnya darah Ibumu adalah darah seorang penari. Dan ruh jiwa Ibu adalah ruhnya penari. Ibumu ini sampai menari di istana di hadapan Presiden Sukarno. Yang Ibu tahu, bahwa Tuhan menganugerahkan keindahan gerak untuk Ibumu ini, yang melaluinya Ibu temukan bahagia. Ibu tahu, bahwa Bapakmu sangat aktif dalam berbagai kegiatan organisasi. Tapi Ibu tak pernah punya ketertarikan untuk itu, dan Bapakmu memang tak membolehkan Ibu untuk ikut berorganisasi. Ibu hanya boleh menari, karena disitulah bahagianya Ibu…


Tapi jiwa dan daya hidup Ibu kemudian direnggut paksa pada suatu hari di penghujung bulan oktober tahun enam puluh lima. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja orang banyak menyerbu dan membakar rumah kami. Mereka berteria-teriak, membawa keris, kelewang, tombak, dan kayu-kayu pemukul..menebas Bapamu dan Kakiangmu hinga mereka tewas. Ibu dan kamu tak bergerak bersembunyi di balik rumpun bambu, tapi ahirnya mereka tahu, “Ini dia! Di sini! Istri dan anaknya!..Bunuh! Bunuh! Bakar! Bakar!..” teriak mereka..


Anak, wajah-wajah mereka menjelma siluman dan leak. Pakaian Ibumu mereka renggut dan sobek dan Ibu diarak berjalan kaki keliling desa. Di leher Ibu, mereka gantungkan tulisan besar “Aku Lonte PKI” dan di punggung “Aku Dajal! Pembunuh Jenderal!”. Ibu tidak tahu apa maksud mereka? Siapa itu jenderal-jenderal yang mereka maksudkan? Yang Ibu tahu cuma menari…


Tapi mereka sudah menjelma buta. Ibu diikat di depan balai desa, dan bayak laki-laki menggerayangi seluruh lekuk dan lindap-lindap tubuh Ibu. Sehari semala penuh, tanpa minum dan tanpa makan. Telanjang. Hari berikutnya Ibu digiring ke pos tentara. Disana tak berbeda yang Ibu jumpai. Ibu diinterogasi tanpa henti selama dua hari, dan selama itu juga Ibumu disuruh menari di atas meja interogasi dengan telanjang bulat. Dan siluman leak berseragam itu menggerayangi bagian –bagian tubuh Ibu dengan semau-mau mereka. Duh Anak,…perlakuan mereka sangat durjana! Untunglah kemudian Ibu dibebaskan karena mereka tidak bisa membuktikan keterlibatan Ibu dengan PKI maupun ormas2nya. Ibumu cuma penari. Tapi Ibu tetap wajib lapor setiap bulannya.


Duh Anak,..derita belum sirna ternyata! Setiap kali lapor ke kantor tentara, terus saja Ibu dipaksa untuk melayani nafsu binatang para pembesar tentara di kantor mereka. Terkadang Ibu dibawa ke tempat-tempat dan diperkosa, terkadang mereka datang bergiliran ke rumah Ibu untuk menagih setoran buat nafsu leaknya. Mereka datang dan pergi. Tidak peduli siang atau malam hari. Kalo Ibu menolak, mereka mengancam akan menuduh Ibu sebagai eks-Tapol yang melarikan diri.


Anak, Ibu tak boleh lagi masuk ke Pura. Karena bagi mereka Ibu adalah seorang pelacur dan eks-tapol komunis. Ndak ada seorangpun yang mau membela Ibumu ini. Ibu terasing, terkucil, dijauhi dan dibenci, Duh, Anak..betapa manusia itu sangat mudah menjadi siluman pembenci dan perusak yang berkedok “kebenaran” dan “kesucian”. Bahkan keluarga Ibu sendiri sudah menghapus nama Ibu dari silsilah keluarga. Alangkah dahsyatnya peristiwa besar di akhir september enam puluh lima itu! Ibu yang hanya tahu mencintai suami, dan kami sama-sama mencintai seni tari..sekarang sudah dianggap mati oleh sanak keluarga sendiri!!...


Sejak saat itu, Ibumu tak pernah lagi menari. Meski bagi Ibu menari adalah gerakan jiwa dan daya hidup..namun sejak peristiwa itu menari telah menjadi mimpi terburuk dalam kehidupan Ibu. Tak bisa lagi Ibu mendengar gamelan. Tak sanggup lagi Ibu menari. Anak, Ibumu sekarang ini tinggal sebatang jasad. Tanpa jiwa-raga, tubuh dan ruh yang penari. Inilah beban yang harus Ibu pikul, mungkin sampai nafas ini berhenti…


Dedicated to mothers who've been living in the darkside of this life. May God bless you all, Ibu...

Disarikan dibahasakan kembali dari tuturan lisan langsung para korban yang dirangkum dalam buku “Suara Perempuan Korban Tragedi ‘65” by Ita F.Nadia, Galang Press, 2008.


..


Minggu

Maing, Dari Betawi Menggubah Jiwa Negeri

Maing, demikian si bocah betawi Kwitang Lebak itu dipanggil sehari-harinya. Ia terlahir pada tanggal 11 Mei 1914 dan diberi nama Ismail Marzuki oleh ayahandanya, Haji Marzuki Saeran yang seorang guru ngaji di kampung, dan juga kasir bengkel mobil Ford Reparatie di daerah Senen Raya. Selain kesukaan Maing mandi dan bermain di Kali Ciliwung tak jauh dari rumahnya, Maing kecil bak burung kutilang yang setiap waktu bersiul-siul mulutnya. Sampai-sampai babe-nya sering menegurnya, “Eh! Il (Ismail)!..Kalau maghrib jangan bersuit. Ngga bae. Ntar ditabok setan!”..


Tapi apa mau dikata, jika seni adalah warna jiwanya. Sebagai anak yang paling disayang, Maing kecil sudah punya koleksi alat musik lengkap di kamarnya: rebana, gitar, biola, ukulele, kecapi, mandolin, akordeon, harmonika, saksofon sampai piano! Cita-citanya untuk menjadi pemusik terbukti bukanlah main-main, ketika ia memutuskan untuk memilih menekuni dunia musik daripada melanjutkan sekolah ke SMA (jaman itu Algemeene Middlebare School, AMS). “Ude gue aje jadi tukang musik, jangan elu lagi ikut-ikutan!”, kata Maing kepada Naroth adik tirinya. Ia sadar akan konsekuensi “jalan susah” yang akan dijalaninya. Apalagi pada waktu itu musisi memiliki citra yang “miring” di mata masyarakat, dipandang rendah, pemalas, kaum maksiat, pemburu perempuan dan hidup tanpa guna (citra yang nanti akan ia buktikan bahwa ia bisa menjadi musisi yang tidak seperti itu).


Jiwa seni menjadikan Maing peka terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya. Pada usia 17 tahun ia mencipta lagu pertamanya “Oh Sarinah” (1931)..yang merupakan perlambang dari sebuah bangsa yang tertindas oleh kolonial Belanda. Dan kemudian seperti mata air yang deras memancar, dari benaknya seakan tak terbendung..mengalirlah dua ratus lima puluh lagu dicipta dalam dua puluh tahun perjalanan hidupnya!!…termasuk lagu Als de Orchideen Bloeien (1939) yg menjadi sangat populer di radio-radio di negeri Belanda, dan kemudian diIndonesiakan menjadi “Bila Anggrek Mulai Berkembang” yang dinyanyikan oleh biduanita Netty.


Sebagai anak betawi di zaman kolonial, Maing juga tak ketinggalan dalam pergerakan memajukan kaumnya melalui Perkoempoelan Kaoem Betawi yang dipimpin oleh Muhammad Hoesni Thamrin. Ia bertugas sebagai kurir organisasi, dan kemudian ditunjuk menjadi Ketua “Tjabang Muziek” organisasi tersebut, yaitu Modern Gamboes & Harmonium Orkest Combinatie. “…lagoe-lagoenja jang asjik dan merdoe menambahkan rasa gembira dan bersemangat di tengah hawa jang sedjoek pada malam itoe” (Berita Kaoem Betawi, November 1939).


Dan sebagai anak negeri, Maing juga bergabung di orkes studio radio PPRK (Perserikatan Perkoempoelan-Perkoempoelan Radio Ketimoeran) yang didirikan pada tahun 1937 untuk memajukan kepentingan-kepentingan kaum bumiputera, yang kemudian ia menjadi pemimpinnya pada tahun 1940…hingga masuknya balatentara Nippon ke Indonesia.


Pemerintahan militer Dai-Nippon segera saja mengambilalih dan menjadikan semua media komunikasi dan kebudayaan sebagai corong untuk menyebarluaskan propaganda “Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya dan Perdamaian Dunia”. Sebuah justifikasi bagi agresivitas invasi imperialisnya ke negeri-negeri Asia Pasifik. Koran, televisi dan radio dimaksimalkan untuk “merebut hati rakyat” (minshin ha’aku) dan “mengindoktrinasi serta menjinakkan” (senbu kosaku). Sebagai bagian dari program propaganda itu, sebuah Badan Poesat Keboedajaan (Keimin Bunka Shidoso) dibentuk..dan Seksi Musik adalah dimana Maing ditempatkan…bersama-sama dengan musikus Indonesia lainnya seperti Cornel Simanjuntak, Utojo Ramelan dan R.Koesbini. Tugas utama dari Seksi Musik itu adalah menciptakan lagu-lagu yang berisi semangat berjuang,terutama kesadaran patriotis sebagai anggota Asia Timur Raya (dengan Jepang sebagai pusat tentunya): Kampoeng Halaman, Tanah Toempah Darahkoe, Selaloe Sedia, Membela Pabrik, Hidoep Baroe, Memoeji Amat, dll….. Asia Timur Raya! Asia Timur Raya! Tenno Heika! Saudara Tua penyelamat Indonesia!..


Ahh, bukankah Indonesia memang adalah negeri yang terbesar di Asia dulu? Bahkan ia besar dengan kekuatannya sendiri. Bukankah Indonesia adalah negeri terindah bak mutu manikam di khatulistiwa sejak dulu? Bahkan ia adalah terindah pada dirinya sendiri. Demikianlah berontak jiwa Maing muda. Hatinya tak menerima, bahwa untuk menjadi besar dan indah Indonesia harus tunduk dan menempel kepada negeri asing. Negeriku indah pada dirinya..negeriku besar karena dirinya !...maka memberontaklah ia! Melalui karya-karya lagunya ia titipkan pesan-pesan tersembunyi…. tentang keindahan dan kebesaran negeri…tentang cintanya kepada tanah airnya…tentang ikrar ketundukhatiannya untuk mengabdi kepada kemuliaannya:…Kesuma Melati (dengan pesan tersembunyi: Indonesia juga punya bunga yang seindah dan seelok bunga Sakura)…Indonesia Tanah PoesakaBisikan Tanah Air….Rayuan Kelapa….


Indonesia Tanah Pusaka


Indonesia Tanah Air hamba

Poesaka abadi nan djaya

Indonesia sedjak doeloe kala

Tetap dipoedja-poedja bangsa


Di sana, tempat lahir hamba

Diboeai dibesarkan boenda

Tempat berlindoeng di hari toea

Tempat akhir menoetoep mata


Indonesia tanah air hamba

Tiada bandingannja di doenia

Karya indah Toehan Maha Esa

Bagi bangsa yang memoeja-Nya


Indonesia Iboe Pertiwi

Kaoe koepoedja kaoe koekasihi

Tenagakoe bahkan poen djiwakoe

Kepadamoe rela koeberi


http://www.youtube.com/watch?v=Knn2UhNLTWE

...


Jumat

Darah Muda, Yang Dibutuhkan Oleh Revolusi !

Dua puluh tahun merayap perlahan dan api pertama yang dinyalakan Budi Utomo terasa semakin memadam. Tak banyak perubahan yang diberikan, dan hari demi hari penindasan kolonial seakan tak akan pernah berakhir. Terlalu banyak generasi tua dalam kepengurusan perkumpulan penyeru pertama itu, terlalu banyak pangreh praja –amtenaar- yang menggelayuti peran geraknya untuk membebaskan rakyat bumiputera. Terlalu banyak pertimbangan, terlalu banyak kekhawatiran, terlalu takut berlebihan…sehingga Budi Utomo malah lebih sibuk membikin kumpulan-kumpulan diskusi “aman” dengan topik-topik kebesaran budaya Jawa daripada aksi-aksi menuntut pembebasan rakyat !..

Tapi api yang tlah dinyalakan terlanjur menyambar ke banyak jiwa! Anak-anak bumiputera yang sedang menjadi pelajar dan mahasiswa di negeri penjajah telah terlanjur terbakar jiwanya. Bahkan mereka, yang terlahir sebagai anak-anak kaum priyai dan bangsawan pribumi, terbakar pula jiwanya tuk mulai bergerak membebaskan saudara-saudara di Hindia Belanda. Mereka pun menjelma menjadi aktivis kemerdekaan yang bergerak dalam kegelapan, apinya menyambar-menyambar menyibak bayang-bayang sang raksasa penjajah!!..

“Yang terjadi dengan para pemuda ini adalah pembodohan yang menyedihkan. Mereka datang ke negeri Belanda agar mampu memainkan peranannya di tengah masyarakat, agar dapat menduduki jabatan memimpin di tanah tempat kelahirannya, tapi mereka habiskan waktunya yang mungkin merupakan bagian terindah dalam hidupnya itu untuk saling memanaskan kepala dan menggetirkan perasaannya dengan berfikir, berbicara, dan menulis tentang cara tercepat melepaskan bangsanya dari pengaruh negeri ini, negeri di mana mereka datang guna mencari pencerahan jiwa dan penambahan ilmu..” (J.E. Bijlo, Kolonial Tijdschrift, 1925)

Mohammad Hatta, berusia sembilan belas tahun ketika tiba di negeri Belanda untuk belajar di Rotterdamse Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Perdagangan di Rotterdam). Tak lama kemudian ia segera termasuk salah seorang dari kelompok mahasiswa “badung” (dari kacamata pemerintah Belanda tentunya), yang mondar-mandir melintasi negeri-negeri Eropa untuk berpolitik memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya. Menjadi ketua Perhimpunan Indonesia (Indonesische Vereeniging) yang berpanjikan bendera merah putih bergambar kepala banteng, menulis dan menyebarkan brosur “subversif” tentang pemikiran-pemikiran kemerdekaan Indonesia, ditangkap pemerintah kolonial pada 23 September 1927 dengan tuduhan penghasutan, dan berdiri di depan majelis sidang pengadilan untuk membacakan pledoinya –yang dikemudian hari disebarluaskan sebagai brosur delapan puluh halaman dan diberi judul “Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka):

“..mengapa pemuda-pemuda Indonesia itu membuat hidup mereka begitu sukar, dan memusingkan kepala dengan bermacam-macam masalah politik dan kolonial? Megapa tidak memuaskan dahaga remaja dan menikmati keindahan masa mudanya? Mengapa mereka begitu rewel dan tidak pernah puas?..."

“Mengapa demikian?...bahwa pemuda-pemuda tidak mendidik dirinya sendiri. Melainkan dididik dalam kondisi dan situasi dimana ia tumbuh berkembang, dan dalam masyarakat dimana ia berada. Dalam masyarakat kolonial, pemuda itu cepat sekali mengalami kenyataan yang keras dan pahit. Ia melihat dengan mata kepala sendiri kesengsaraan yang diderita oleh massa rakyat yang tertindas. Ia melihat bagaimana massa rakyat itu bermula menerima saja nasibnya yang nestapa itu, bagaimana selama berpuluh-puluh tahun ia menyerah saja pada siksaan-siksaan dari suatu sistem yang pada suatu waktu pasti akan tenggelam. Pemuda itu merasakan dan mengerti duka dan sengsara rakyat…Itu sebabnya putera-putera bangsa yang tidak merdeka itu, sejak usia mudanya, telah bergumul dengan pikiran-pikiran yang tidak dialami oleh pemuda-pemuda Barat yang sebaya mereka.”

“Disinilah mereka merasakan artinya Merdeka..dari kungkungan suasana yang sempit dan menyesakkan dari masyarakat kolonial. Hal ini memperkuat dalam diri mereka suatu kesadaran akan panggilan untuk menjadi pemimpin rakyat kelak….Benar, kami telah bebas dari hypnose kolonial, dan karena itu menjadi sadar akan diri sendiri. Dari sini kami dapat melihat kenyataan kolonial dengan jelas. Dan aksi kami didasarkan atas penglihatan itu…. …”

“maka, berada di negeri ini atau pusat ilmiah lain di Eropa, tidak semata-mata berarti belajar dan menambah pengetahuan yang menjamin kepada mereka suatu posisi yang baik dalam masyarakat Indonesia,- akan tetapi ia juga berarti melatih diri secara politis, mempersiapkan diri untuk tugas mulia di hari depan.”

“Sebagai putera Tanah Air, pemuda-pemuda Indonesia yang belajar di sini merasa diri sebagai pengemban tugas yang mulia. Rakyat Indonesia akan meletakkan kepercayaannya pada mereka dan akan mencari perlindungan pada mereka… “

“Pemuda Indonesia adalah hati nurani bangsa yang berbicara, jiwa bangsa yang menyala, yang akan mewarnai masa depan….Mereka adalah mahasiswa, tapi lebih dari itu, lebih dari segala-galanya, mereka adalah putera Indonesia. Kepentingan Tanah Air mencekam dalam hati mereka…memberikan reaksinya atas gejala-gejala politik dan ekonomis….memerankan apa yang secara jasmani dan rohani diemban oleh berjuta-juta kawan seperjuangan di Indonesia, yakni cinta Tanah Air.."

“Tugas kita bukanlah mengumpulkan kaum tua yang sudah berkarat dalam pengertian dan keyakinan mereka. Pekerjaan kita hanyalah meliputi kaum muda saja, sebab masa depan Indonesia ada di tangan mereka…Angkatan tua yang berkarat dalam tradisi dan merasa bahwa akhir hidupnya telah mendekat, condong untuk mempertahankan apa yang ada dan berharap-harap….pihak muda yang mengazankan merahnya fajar, yang jiwanya diberi semangat oleh keadaan yang baru. Pada hati kaum muda itu terdapat keyakinan yang terlampau kuat, kepercayaan yang terlalu hidup sehingga tidak dapat dicekik.”



Referensi: “Indonesia Merdeka” (Indonesia Vrij), Mohammad Hatta, Den Haag 9 Maret 1928 dan “Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950”, Harry A.Poeze,KITLV-Jakarta & KPG Jakarta 2008.


..

Senin

Melecut Guntur di Angkasa Wolanda

Usianya dua puluh enam tahun mahasiswa fakultas ekonomi Universitas Rotterdam, ketika Mohammad Hatta berdiri di depan majelis sidang pengadilan di Den Haag dan membacakan pidato pembelaanya. Lima bulan sudah ia dan ketiga kawannya (Ali Sastroamidjojo, Abdoelmajid Djojoadhiningrat dan Nazir Pamoentjak) ditahan oleh pemerintah negeri Belanda. Lima bulan sudah pemerintah Belanda mencoba mencari-cari pasal-pasal penghasutan yang tepat, yang akan dituduhkan kepadanya…sejak “kenekatan” mereka menghadiri Ligue Internationale des Femmes pour la Paix et la Liberte (Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kemerdekaan) di Gland-Swiss pada 1927 dan membacakan “pidato politik”-nya yang berjudul “L'Indonesie et son Probleme de I' Independence” (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).


Bahkan sejak “kenekatan” koran Indonesia Merdeka yang dipimpinnya menuliskan artikel-artikel “subversif” karya anak negeri jajahan, yang kejutannya mengagetkan pemerintah kolonial bak mendengar guntur di siang hari bolong (1924):


Cepat atau lambat, setiap bangsa yang ditindas akan merebut kembali kemerdekaannya; itu adalah hukum besi daripada sejarah dunia…apa kelahiran kemerdekaan itu akan bersamaan dengan darah dan air mata, atau proses itu berlangsung secara damai…Lebih-lebih daripada di masa lampau, maka kini kita melihat jalan satu-satunya menuju kemerdekaan. Itu adalah jalan perjuangan, pengorbanan penderitaan. Dewasa ini tak ada jalan lain, tak tampak oleh kami adanya jalan lain yang menuju ke cita-cita itu..”


Dan sekarang Mohammad Hatta, sekali lagi melecutkan guntur yang dilahirkan dari dada-dada anak bangsa bernama Indonesia ..ke cakrawala negeri belanda. Guntur yang selama ratusan tahun dibungkam kolonial belanda, sekarang melecut-lecut mengejutkan pada setiap kata selama tiga setengah jam lamanya…..


“Tuan Ketua! Angkatan muda Indonesia tumbuh dan berkembang dalam masyarakat jajahan ini..dan dalam suasana penuh pembencian ras dan penghinaan….Dengan pengalaman kolonial dan kepahitan dalam hati, mereka datang kemari, ke negeri penjajah…maka kini terbukalah mata dan hati mereka melihat masyarakat baru..Seolah langit lain mengembang di atas kepala mereka.”


“Disinilah mereka merasakan artinya Merdeka..dari kungkungan suasana yang sempit dan menyesakkan dari masyarakat kolonial. Hal ini memperkuat dalam diri mereka suatu kesadaran akan panggilan untuk menjadi pemimpin rakyat kelak….Benar, kami telah bebas dari hypnose kolonial, dan karena itu menjadi sadar akan diri sendiri. Dari sini kami dapat melihat kenyataan kolonial dengan jelas. Dan aksi kami didasarkan atas penglihatan itu.”


“Panggilan pertama adalah haruslah menyadarkan bangsa tentang betapa nistanya hidup terjajah; mereka harus mencetuskan dorongan untuk kemerdekaan dalam jiwa rakyat dan dengan demikian benar-benar mengajarkan rakyat untuk menghargai milik kemanusiaan yang terbesar: kemerdekaan nasional.”


“..ia berhenti memohon belas kasihan dari bangsa Belanda. Ia tak lagi menadahkan tangan, suatu sifat yang jelek, untuk memohon kebaikan hati bangsa lain..Karena bagi suatu bangsa yang kenal harga diri, terdapatlah titik terang…Bangsa kita harus tahu, bahwa ia sanggup membuat sesuatu yang besar. Tenaga-tenaga latentnya yang tersimpan harus dapat dikerahkannya. Ia harus diingatkan kembali akan masa lampaunya yang cemerlang;tapi yang terpenting adalah merangsang gairahnya untuk bergerak.”


“Faktor yang menentukan dalam perjuangan kemerdekaan nasional bukanlah terletak pada kelompok kecil kaum intelek Jantung bangsa berdenyut dalam lapisan-lapisan luas. Intelek hanya perlu menemukan kekuatan rakyat yang meluap-luap segar itu dan menjadi juru bahasanya. Jantung itu terbuka untuk menangkap suara zaman.”


“Untuk sampai ke situ maka pertama-tama perlu adanya massa aksi, jadi membentuk kekuatan yang berturut-turut harus dicapai dengan propaganda untuk kesatuan Indonesia, solidaritas Indonesia, untuk kepercayaan dan kesadaran diri pribadi…Tujuan bersama-yakni membebaskan Indonesia-menuntut terwujudnya massa aksi kebangsaan yang sadar akan diri sendiri dan tegak atas kekuatan sendiri.


“Tuan Ketua! Saya tidak menyembunyikan bahwa aksinya (Perhimpunan Indonesia red.) untuk sebagian besar adalah bertujuan merongrong dan meruntuhkan secara sistematis, sokoguru-sokoguru psikologis, yaitu tempat bertopangnya kekuasaan dan gengsi penjajah….Sejarah dunia telah mengajarkan bahwa terhadap suatu gerakan massa yang terorganisir dari rakyat, angkatan bersenjata dari pemerintah terpaksa berpangku tangan. ”


“Susah rasanya untuk menuntut daripada kami, kaum nasionalis Indonesia, untuk melepaskan cita-cita kami akan suatu Tanah Air yang merdeka..Lebih suka kami melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan, daripada melihatnya sebagai embel-embel daripada suatu negara asing.”


“Bersama rakyat, kami akan dihukum, atau kami akan dibebaskan. Karena bersama dengan rakyat itu kami akan mendapat kehormatan, dan bersama rakyat itu kami akan tenggelam. Pemuda Indonesia adalah hati nurani bangsa yang berbicara, jiwa bangsa yang menyala, yang akan mewarnai masa depan…Tugasnya adalah mempercepat datangnya hari yang baru….”


“Hanya satu negeri yang menjadi negeriku. Ia tumbuh dari perbuatan, dan perbuatan itu adalah usahaku.”


Den Haag, 9 Maret 1928

..