Jumat

Darah Muda, Yang Dibutuhkan Oleh Revolusi !

Dua puluh tahun merayap perlahan dan api pertama yang dinyalakan Budi Utomo terasa semakin memadam. Tak banyak perubahan yang diberikan, dan hari demi hari penindasan kolonial seakan tak akan pernah berakhir. Terlalu banyak generasi tua dalam kepengurusan perkumpulan penyeru pertama itu, terlalu banyak pangreh praja –amtenaar- yang menggelayuti peran geraknya untuk membebaskan rakyat bumiputera. Terlalu banyak pertimbangan, terlalu banyak kekhawatiran, terlalu takut berlebihan…sehingga Budi Utomo malah lebih sibuk membikin kumpulan-kumpulan diskusi “aman” dengan topik-topik kebesaran budaya Jawa daripada aksi-aksi menuntut pembebasan rakyat !..

Tapi api yang tlah dinyalakan terlanjur menyambar ke banyak jiwa! Anak-anak bumiputera yang sedang menjadi pelajar dan mahasiswa di negeri penjajah telah terlanjur terbakar jiwanya. Bahkan mereka, yang terlahir sebagai anak-anak kaum priyai dan bangsawan pribumi, terbakar pula jiwanya tuk mulai bergerak membebaskan saudara-saudara di Hindia Belanda. Mereka pun menjelma menjadi aktivis kemerdekaan yang bergerak dalam kegelapan, apinya menyambar-menyambar menyibak bayang-bayang sang raksasa penjajah!!..

“Yang terjadi dengan para pemuda ini adalah pembodohan yang menyedihkan. Mereka datang ke negeri Belanda agar mampu memainkan peranannya di tengah masyarakat, agar dapat menduduki jabatan memimpin di tanah tempat kelahirannya, tapi mereka habiskan waktunya yang mungkin merupakan bagian terindah dalam hidupnya itu untuk saling memanaskan kepala dan menggetirkan perasaannya dengan berfikir, berbicara, dan menulis tentang cara tercepat melepaskan bangsanya dari pengaruh negeri ini, negeri di mana mereka datang guna mencari pencerahan jiwa dan penambahan ilmu..” (J.E. Bijlo, Kolonial Tijdschrift, 1925)

Mohammad Hatta, berusia sembilan belas tahun ketika tiba di negeri Belanda untuk belajar di Rotterdamse Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Perdagangan di Rotterdam). Tak lama kemudian ia segera termasuk salah seorang dari kelompok mahasiswa “badung” (dari kacamata pemerintah Belanda tentunya), yang mondar-mandir melintasi negeri-negeri Eropa untuk berpolitik memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya. Menjadi ketua Perhimpunan Indonesia (Indonesische Vereeniging) yang berpanjikan bendera merah putih bergambar kepala banteng, menulis dan menyebarkan brosur “subversif” tentang pemikiran-pemikiran kemerdekaan Indonesia, ditangkap pemerintah kolonial pada 23 September 1927 dengan tuduhan penghasutan, dan berdiri di depan majelis sidang pengadilan untuk membacakan pledoinya –yang dikemudian hari disebarluaskan sebagai brosur delapan puluh halaman dan diberi judul “Indonesia Vrij” (Indonesia Merdeka):

“..mengapa pemuda-pemuda Indonesia itu membuat hidup mereka begitu sukar, dan memusingkan kepala dengan bermacam-macam masalah politik dan kolonial? Megapa tidak memuaskan dahaga remaja dan menikmati keindahan masa mudanya? Mengapa mereka begitu rewel dan tidak pernah puas?..."

“Mengapa demikian?...bahwa pemuda-pemuda tidak mendidik dirinya sendiri. Melainkan dididik dalam kondisi dan situasi dimana ia tumbuh berkembang, dan dalam masyarakat dimana ia berada. Dalam masyarakat kolonial, pemuda itu cepat sekali mengalami kenyataan yang keras dan pahit. Ia melihat dengan mata kepala sendiri kesengsaraan yang diderita oleh massa rakyat yang tertindas. Ia melihat bagaimana massa rakyat itu bermula menerima saja nasibnya yang nestapa itu, bagaimana selama berpuluh-puluh tahun ia menyerah saja pada siksaan-siksaan dari suatu sistem yang pada suatu waktu pasti akan tenggelam. Pemuda itu merasakan dan mengerti duka dan sengsara rakyat…Itu sebabnya putera-putera bangsa yang tidak merdeka itu, sejak usia mudanya, telah bergumul dengan pikiran-pikiran yang tidak dialami oleh pemuda-pemuda Barat yang sebaya mereka.”

“Disinilah mereka merasakan artinya Merdeka..dari kungkungan suasana yang sempit dan menyesakkan dari masyarakat kolonial. Hal ini memperkuat dalam diri mereka suatu kesadaran akan panggilan untuk menjadi pemimpin rakyat kelak….Benar, kami telah bebas dari hypnose kolonial, dan karena itu menjadi sadar akan diri sendiri. Dari sini kami dapat melihat kenyataan kolonial dengan jelas. Dan aksi kami didasarkan atas penglihatan itu…. …”

“maka, berada di negeri ini atau pusat ilmiah lain di Eropa, tidak semata-mata berarti belajar dan menambah pengetahuan yang menjamin kepada mereka suatu posisi yang baik dalam masyarakat Indonesia,- akan tetapi ia juga berarti melatih diri secara politis, mempersiapkan diri untuk tugas mulia di hari depan.”

“Sebagai putera Tanah Air, pemuda-pemuda Indonesia yang belajar di sini merasa diri sebagai pengemban tugas yang mulia. Rakyat Indonesia akan meletakkan kepercayaannya pada mereka dan akan mencari perlindungan pada mereka… “

“Pemuda Indonesia adalah hati nurani bangsa yang berbicara, jiwa bangsa yang menyala, yang akan mewarnai masa depan….Mereka adalah mahasiswa, tapi lebih dari itu, lebih dari segala-galanya, mereka adalah putera Indonesia. Kepentingan Tanah Air mencekam dalam hati mereka…memberikan reaksinya atas gejala-gejala politik dan ekonomis….memerankan apa yang secara jasmani dan rohani diemban oleh berjuta-juta kawan seperjuangan di Indonesia, yakni cinta Tanah Air.."

“Tugas kita bukanlah mengumpulkan kaum tua yang sudah berkarat dalam pengertian dan keyakinan mereka. Pekerjaan kita hanyalah meliputi kaum muda saja, sebab masa depan Indonesia ada di tangan mereka…Angkatan tua yang berkarat dalam tradisi dan merasa bahwa akhir hidupnya telah mendekat, condong untuk mempertahankan apa yang ada dan berharap-harap….pihak muda yang mengazankan merahnya fajar, yang jiwanya diberi semangat oleh keadaan yang baru. Pada hati kaum muda itu terdapat keyakinan yang terlampau kuat, kepercayaan yang terlalu hidup sehingga tidak dapat dicekik.”



Referensi: “Indonesia Merdeka” (Indonesia Vrij), Mohammad Hatta, Den Haag 9 Maret 1928 dan “Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950”, Harry A.Poeze,KITLV-Jakarta & KPG Jakarta 2008.


..

Tidak ada komentar: