Senin

Melecut Guntur di Angkasa Wolanda

Usianya dua puluh enam tahun mahasiswa fakultas ekonomi Universitas Rotterdam, ketika Mohammad Hatta berdiri di depan majelis sidang pengadilan di Den Haag dan membacakan pidato pembelaanya. Lima bulan sudah ia dan ketiga kawannya (Ali Sastroamidjojo, Abdoelmajid Djojoadhiningrat dan Nazir Pamoentjak) ditahan oleh pemerintah negeri Belanda. Lima bulan sudah pemerintah Belanda mencoba mencari-cari pasal-pasal penghasutan yang tepat, yang akan dituduhkan kepadanya…sejak “kenekatan” mereka menghadiri Ligue Internationale des Femmes pour la Paix et la Liberte (Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kemerdekaan) di Gland-Swiss pada 1927 dan membacakan “pidato politik”-nya yang berjudul “L'Indonesie et son Probleme de I' Independence” (Indonesia dan Persoalan Kemerdekaan).


Bahkan sejak “kenekatan” koran Indonesia Merdeka yang dipimpinnya menuliskan artikel-artikel “subversif” karya anak negeri jajahan, yang kejutannya mengagetkan pemerintah kolonial bak mendengar guntur di siang hari bolong (1924):


Cepat atau lambat, setiap bangsa yang ditindas akan merebut kembali kemerdekaannya; itu adalah hukum besi daripada sejarah dunia…apa kelahiran kemerdekaan itu akan bersamaan dengan darah dan air mata, atau proses itu berlangsung secara damai…Lebih-lebih daripada di masa lampau, maka kini kita melihat jalan satu-satunya menuju kemerdekaan. Itu adalah jalan perjuangan, pengorbanan penderitaan. Dewasa ini tak ada jalan lain, tak tampak oleh kami adanya jalan lain yang menuju ke cita-cita itu..”


Dan sekarang Mohammad Hatta, sekali lagi melecutkan guntur yang dilahirkan dari dada-dada anak bangsa bernama Indonesia ..ke cakrawala negeri belanda. Guntur yang selama ratusan tahun dibungkam kolonial belanda, sekarang melecut-lecut mengejutkan pada setiap kata selama tiga setengah jam lamanya…..


“Tuan Ketua! Angkatan muda Indonesia tumbuh dan berkembang dalam masyarakat jajahan ini..dan dalam suasana penuh pembencian ras dan penghinaan….Dengan pengalaman kolonial dan kepahitan dalam hati, mereka datang kemari, ke negeri penjajah…maka kini terbukalah mata dan hati mereka melihat masyarakat baru..Seolah langit lain mengembang di atas kepala mereka.”


“Disinilah mereka merasakan artinya Merdeka..dari kungkungan suasana yang sempit dan menyesakkan dari masyarakat kolonial. Hal ini memperkuat dalam diri mereka suatu kesadaran akan panggilan untuk menjadi pemimpin rakyat kelak….Benar, kami telah bebas dari hypnose kolonial, dan karena itu menjadi sadar akan diri sendiri. Dari sini kami dapat melihat kenyataan kolonial dengan jelas. Dan aksi kami didasarkan atas penglihatan itu.”


“Panggilan pertama adalah haruslah menyadarkan bangsa tentang betapa nistanya hidup terjajah; mereka harus mencetuskan dorongan untuk kemerdekaan dalam jiwa rakyat dan dengan demikian benar-benar mengajarkan rakyat untuk menghargai milik kemanusiaan yang terbesar: kemerdekaan nasional.”


“..ia berhenti memohon belas kasihan dari bangsa Belanda. Ia tak lagi menadahkan tangan, suatu sifat yang jelek, untuk memohon kebaikan hati bangsa lain..Karena bagi suatu bangsa yang kenal harga diri, terdapatlah titik terang…Bangsa kita harus tahu, bahwa ia sanggup membuat sesuatu yang besar. Tenaga-tenaga latentnya yang tersimpan harus dapat dikerahkannya. Ia harus diingatkan kembali akan masa lampaunya yang cemerlang;tapi yang terpenting adalah merangsang gairahnya untuk bergerak.”


“Faktor yang menentukan dalam perjuangan kemerdekaan nasional bukanlah terletak pada kelompok kecil kaum intelek Jantung bangsa berdenyut dalam lapisan-lapisan luas. Intelek hanya perlu menemukan kekuatan rakyat yang meluap-luap segar itu dan menjadi juru bahasanya. Jantung itu terbuka untuk menangkap suara zaman.”


“Untuk sampai ke situ maka pertama-tama perlu adanya massa aksi, jadi membentuk kekuatan yang berturut-turut harus dicapai dengan propaganda untuk kesatuan Indonesia, solidaritas Indonesia, untuk kepercayaan dan kesadaran diri pribadi…Tujuan bersama-yakni membebaskan Indonesia-menuntut terwujudnya massa aksi kebangsaan yang sadar akan diri sendiri dan tegak atas kekuatan sendiri.


“Tuan Ketua! Saya tidak menyembunyikan bahwa aksinya (Perhimpunan Indonesia red.) untuk sebagian besar adalah bertujuan merongrong dan meruntuhkan secara sistematis, sokoguru-sokoguru psikologis, yaitu tempat bertopangnya kekuasaan dan gengsi penjajah….Sejarah dunia telah mengajarkan bahwa terhadap suatu gerakan massa yang terorganisir dari rakyat, angkatan bersenjata dari pemerintah terpaksa berpangku tangan. ”


“Susah rasanya untuk menuntut daripada kami, kaum nasionalis Indonesia, untuk melepaskan cita-cita kami akan suatu Tanah Air yang merdeka..Lebih suka kami melihat Indonesia tenggelam ke dasar lautan, daripada melihatnya sebagai embel-embel daripada suatu negara asing.”


“Bersama rakyat, kami akan dihukum, atau kami akan dibebaskan. Karena bersama dengan rakyat itu kami akan mendapat kehormatan, dan bersama rakyat itu kami akan tenggelam. Pemuda Indonesia adalah hati nurani bangsa yang berbicara, jiwa bangsa yang menyala, yang akan mewarnai masa depan…Tugasnya adalah mempercepat datangnya hari yang baru….”


“Hanya satu negeri yang menjadi negeriku. Ia tumbuh dari perbuatan, dan perbuatan itu adalah usahaku.”


Den Haag, 9 Maret 1928

..

Tidak ada komentar: