Rabu

Negeri Yang Cuma (boleh) Punya Dengkul


Seratus tahun sebelum hari ini, dan selama tujuh puluh tahun sebelumnya lagi, apa yang negeri ini miliki? Rakyat yang buta huruf, tertindas, dan tiada memiliki keinginan ataupun mimpi saking miskinnya ia. Di Pulau Jawa, rata-rata dari 1000 orang hanya 15 org saja yang bisa baca tulis. Bila perempuan ikut dihitung, jumlahnya menjadi 16 saja. Di daerah Madiun, dari 1000 orang hanya 24 orang yang tidak buta huruf. Di Jakarta hanya 9 orang, di daerah sekitar Jakarta hanya 5 orang, di daerah Madura 6 orang, di daerah Tangerang, Jatinegara, dan Karawang masing-masing 1 orang. (Mahlenfeld, de Locomotief).

Tahun baru 1830, sepertinya menjadi awal dimulainya sebuah peradaban air mata di negeri ini. Dengan semangat baru setelah memenangkan Perang Jawa, kini agenda baru pemerintah kolonial adalah untuk menggenjot devisa bagi negeri tanah rendahnya. Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru, Johannes van Den Bosch tiba di Batavia pada bulan Januari 1830…dengan membawa sistem produksi massal yang juga baru: cultuurstelsel.

Van Den Bosch percaya, bahwa petani penduduk negeri kepulauan ini tidak memiliki pengetahuan dan kemauan yang cukup untuk memajukan dirinya sendiri. Mereka harus dibimbing oleh penguasa, harus diajar untuk bekerja, dan kalau perlu dipaksa untuk bekerja! Keyakinannya ini sangat bertolak belakang dengan pandangan liberal Muntinghe, “Biarkan petani Jawa bebas menangani urusannya sendiri…dan ia akan menghiasi perbukitan dengan sawah-sawahnya..”. Van Den Bosch tidak percaya itu. Rakyat malang negeri ini, yakin ia, hanya bisa bekerja jika dipaksa utk mau bekerja.

Maka sejak itu dimulailah eksploitasi kolonialis secara lebih menggila. Tujuh puluh persen keluarga petani dipaksa untuk menanami tanahnya dengan komoditi ekspor kopi, tebu dan nila. Bahkan di beberapa daerah seperti Banten, Banyumas dan Kedu, seluruh keluarga petani menjadi alat produksi bagi sistem produksi massal ini. Produksi komoditas ekspor terbukti meningkat pesat berlipat-lipat.

Apa yang diperoleh Belanda dari cultuurstelsel? Uang dalam jumlah yang besar dikirim ke negeri Belanda. Dari tahun 1831-1877, perbendaharaan negeri Belanda menerima 832 juta florins. Sebelum tahun 1850, kiriman uang tersebut mengisi sekitar 19% dari pendapatan negara Belanda. Lalu menjadi sekitar 32% pada tahun 1851-1860, dan menjadi sekitar 34% pada tahun 1860-1866. Pendapatan ini yang membuat perekonomian dalam negeri Belanda stabil: hutang-hutang dilunasi, pajak diturunkan, kanal dan terusan serta jalan kereta api negara dibangun. Semuanya dari keuntungan-keuntungan yang diperas dari desa-desa di Jawa. Pada periode “liberal” selanjutnya (1870-1900), swasta menggantikan peran pemerintah kolonial. Jumlah orang sipil Eropa di Jawa meningkat dengan pesat, dari 17.285 orang pada tahun 1852 menjadi 62.477 orang pada tahun 1900. Sejumlah bank swasta mulai berdiri, misalnya: Bank Dagang Hindia Belanda (yang paling utama), Koloniale Bank, Handelsvereeniging Amsterdam, Dorrepaal & Co, Vorstenlanden. Dan nusantara memasuki zaman puncak eksploitasi terhadap sumber-sumber pertanian Jawa maupun daerah-daerah di luar Jawa.

Apa yang diperoleh rakyat biasa pribumi nusantara? Di depan mata Wahidin Sudirohusodo dan segelintir kaum muda perhimpunan Budi Utomo, yang terhampar hanya penderitaan dan air mata. Rakyat yang tidak berani untuk memiliki cita-cita bahkan putus asa untuk berharap. Mereka hanya (boleh) punya dengkul untuk menyangga tubuhnya mencangkul di tanah-tanah penanaman. Mereka tak punya siapa-siapa untuk mengadukan duka. Saudara sebangsa yang berpangkat, para pangreh praja, tak bisa diharapkan karena telah menjadi bawahan kolonial yang taat dan turut serta melakukan penghisapan terhadap rakyat.

Itulah nasib negeri yang harus dibebaskan, yang semangat pembebasannya telah digelorakan oleh seorang pensiunan dokter Jawa Wahidin dari kota ke kota. Dan segelintir kaum muda perhimpunan Budi Utomo pada seratus tahun yang lalu…

Oktober 2008

Selasa

Ekstrakurikuler Seratus Tahun Yang Lalu


Seratus tahun menengok ke belakang, ketika benih kesadaran mulai tumbuh di hati segelintir anak negeri sekolah kedokteran Jawa di Weltevreden-Batavia. Sebutir benih yang disemaikan oleh seorang pensiunan dokter Jawa keturunan priyai yang berlisan halus, Wahidin Sudirohusodo saat mengunjungi STOVIA di penghujung tahun 1907. Ceramah inspiratifnya disampaikan dalam bahasa Belanda dengan irama yang sangat lambat, tentang betapa penderitaan berabad-abad rakyat hindia belanda hanya bisa dibebaskan dengan menumbuhkan kesadaran, dan kesadaran hanya muncul dari pengetahuan/pendidikan. Pengetahuan tentang dunia di luar batas pekarangan rumah mereka, tentang sesama anak bangsa di sana di luar batas desa dan pantai mereka, tentang saudara sesama anak negeri jajahan yang hidup sama menderitanya di pulau-pulau di balik cakrawala sana, tentang kebebasan dari penderitaan yang menjadi mimpi bersama. Maka memberi pendidikan kepada segenap hati adalah yang utama.

Malam harinya seusai ceramah, Sutomo -seorang siswa STOVIA yang pada saat itu berusia 19 tahun- menemui Wahidin untuk mengutarakan bahwa hatinya telah tergerak untuk mendukung upaya Wahidin mendirikan studiefonds bagi rakyat negeri. “Puniko setunggaling padamelan sae sarta nelakaken budi utami.”, ujar Sutomo memuji cita-cita Wahidin…yang kira-kira artinya adalah: Itu salah satu perbuatan yang baik dan menunjukkan keluhuran budi.

Demikianlah, maka hati Sutomo yang sudah dipenuhi semangat untuk membebaskan saudara-saudara setanah airnya kemudian mengumpulkan teman-temannta pada hari libur sekolah…Minggu 20 Mei 1908, di sebuah ruangan kelas. Sutomo mengutarakan ajakannya kepada yang hadir saat itu: M.Suradji, M. Mohamad Saleh, Mas Suwarno, Muhammad Sulaiman, Gunawan dan Gumberg. Suraji nanti akan ditugaskan sebagai pembawa berita ke pelosok Jawa tentang gerakan ini, dan ia adalah yang mengusulkan untuk pertamakalinya nama “Budi Utomo” untuk perhimpunan ini setelah mendengar cerita kunjungan Sutomo menemui Wahidin.

Pada hari itu, di dalam ruang kelas sebuah sekolah kedokteran bagi anak-anak priyai Jawa, tumbuh untuk pertamakalinya tekad untuk membangkitkan rakyat, mendidik saudara-saudara mereka (di pulau Jawa). Sebuah kegiatan "ekstrakurikuler" besar dalam rangka membebaskan saudara-saudara mereka setanah kelahiran dari buta huruf dan kepicikan. Sejak hari itu, semangat itu menjalar ke pelosok Jawa dan bahkan sanggup membangkitkan kesadaran anak-anak muda dari daerah-daerah lain untuk melakukan hal yang sama: membebaskan saudara-saudara mereka yang tertindas menderita. Satu persatu perhimpunan yang lahir kemudian memang sangat bernuansa kedaerahan. Tapi tidak mengapa. Awalnya rakyat memang musti disadarkan dahulu di tanah-tanah kelahiran mereka sendiri. Di Jawa, di Sumatera, di Ambon, di Selebes. Sedikit demi sedikit cakrawalanya dibuka, tentang keberadaan saudara-saudara mereka di hindia belanda…yang tersebar di pulau-pulau yang jauh…yang punya keinginan dan mimpi yang sama: untuk bebas dari derita!
Dan ketika banyak daerah telah menyatukan cita-cita,..maka ketika itulah saatnya lahir kesadaran tentang kebangsaaan. Tak lama. Sekitar dua puluh tahun lagi ke depan…

Oktober 2008
..


Jumat

Bilangan Fu


Parang Jati, lahir pada bulan Sadha bulan keduabelas dalam Pranata Mangsa –almanak Jawa kuno yang paling purba yang menghayati musim tanam-. Bayinya entah darimana asalnya, karena ia ditemukan Nyi Manyar –ibu penunggu mata air- dalam keranjang serat pandan dekat lumut pakis di mata air ketiga belas yang dinamai Sendang Hu. Ia bermata bidadari berjari dua belas, dan Ayah angkatnya berkata bahwa ada makna di balik kecacatannya. “Ketahuilah, Nak, pada mulanya ada pelbagai bilangan di dunia ini… Seluruh dunia sekarang menggunakan bilangan berbasis sepuluh….ada di dunia ini,Nak, perhitungan yang berbasis dua belas…Bilangan per-12 dirumuskan oleh mereka yang mencari tanda di alam. Bilangan per-10 dirumuskan oleh mereka yang mencari tanda di tubuh”....”Seperti Musa yang tuan memilih bersama hamba. Meskipun bagimu ada pilihan, biarlah hatimu berada bersama mereka yang lemah dan tak punya pilihan. Meskipun engkau rupawan lagi cendekia, biarlah engkau mengalami kesusahan Manusia…Biarlah kau panggul juga penderitaan mereka..”

Kupukupu, lahir tiga tahun sesudahnya. Dalam tikar serat pandan yang ditinggalkan seseorang di mata air ketiga belas yang dinamai Sendang Hu. Bayi mungil yang sempurna, tapi tak bermata bidadari. Nyi Manyar terlambat sehari menemukannya, dan mata jabang bayi nyalang penuh amarah….kesadaran pertamanya, bahwa ia dibuang ditinggalkan. “Kelak kamu akan jadi kupukupu, Nak. Tapi sebelum itu, kamu harus menjalani hidup sebagai ulat.”

Parang Jati memeluk tanah desanya dan menapaki kebijaksanaan yang rendah hati. Kupukupu berteriak-teriak penuh amarah soal kebenaran yang hitam-putih…tampil dengan dresscode sinetron hidayah, baju putih-putih Diponegoro dicampur kasut bertali-temali hingga ke lutut, rompi panjang pendekar Tartar, topi berbulu dan berbuntut hitam bersurai-surai seperti tokoh komik Jepang. Parang Jati memilih berjalan di tepian, bersama dengan rombongan sirkus orang cacat. Kupukupu penuh ambisi, meraih beasiswa BPPT dan sekolah ke luar negri untuk menjadi “pintar” secara akademik. Parang Jati meresapi tradisi dan kebijaksanaan lokal. Kupukupu menghujat dan memvonis demi “kemurnian” dan “kebenaran”. Parang Jati menghiasi hati dengan mutiara-mutiara agama bumi. Kupukupu meriasi diri dengan simbol-simbol agama langit tinggi. Kupukupu garang meneriakkan..”Satu !!”. Parang Jati lirih berbisik…”Fu….”

Bilangan Fu?.........

Bilangan Fu adalah novel terbaru Ayu Utami yang sangat layak untuk dibaca. Terutama oleh mereka yang ingin membaca dengan kritis berbagai fenomena spiritualisme-keagamaan-keimanan belakangan ini, ketika banyak klaim kebenaran diteriakkan oleh sebagian kalangan dan menistakan yang lainnya. Ketika agama tiba-tiba menjelma menjadi sesuatu yang tidak lagi menyejukkan dan memberi damai, bahkan menjadi penuh amarah dan kebencian. Ketika “kebenaran” diaku hanya dimiliki oleh agama-agama langit dan mutiara kebijaksanaan dan kebaikan dari agama-agama bumi dinafikan dan disingkirkan.

Bilangan Fu adalah novel Ayu Utami yang bernafas “spritualisme kritis”, demikian tertulis di sampul belakang buku, yang mengangkat wacana spiritual-keagamaan-kebatinan, maupun mistik- ke dalam kerangka yang menghormatinya sekaligus bersikap kritis kepadanya; yang mengangkat wacana keberimanan tanpa terjebak dalam dakwah hitam putih.

..