Selasa

Ekstrakurikuler Seratus Tahun Yang Lalu


Seratus tahun menengok ke belakang, ketika benih kesadaran mulai tumbuh di hati segelintir anak negeri sekolah kedokteran Jawa di Weltevreden-Batavia. Sebutir benih yang disemaikan oleh seorang pensiunan dokter Jawa keturunan priyai yang berlisan halus, Wahidin Sudirohusodo saat mengunjungi STOVIA di penghujung tahun 1907. Ceramah inspiratifnya disampaikan dalam bahasa Belanda dengan irama yang sangat lambat, tentang betapa penderitaan berabad-abad rakyat hindia belanda hanya bisa dibebaskan dengan menumbuhkan kesadaran, dan kesadaran hanya muncul dari pengetahuan/pendidikan. Pengetahuan tentang dunia di luar batas pekarangan rumah mereka, tentang sesama anak bangsa di sana di luar batas desa dan pantai mereka, tentang saudara sesama anak negeri jajahan yang hidup sama menderitanya di pulau-pulau di balik cakrawala sana, tentang kebebasan dari penderitaan yang menjadi mimpi bersama. Maka memberi pendidikan kepada segenap hati adalah yang utama.

Malam harinya seusai ceramah, Sutomo -seorang siswa STOVIA yang pada saat itu berusia 19 tahun- menemui Wahidin untuk mengutarakan bahwa hatinya telah tergerak untuk mendukung upaya Wahidin mendirikan studiefonds bagi rakyat negeri. “Puniko setunggaling padamelan sae sarta nelakaken budi utami.”, ujar Sutomo memuji cita-cita Wahidin…yang kira-kira artinya adalah: Itu salah satu perbuatan yang baik dan menunjukkan keluhuran budi.

Demikianlah, maka hati Sutomo yang sudah dipenuhi semangat untuk membebaskan saudara-saudara setanah airnya kemudian mengumpulkan teman-temannta pada hari libur sekolah…Minggu 20 Mei 1908, di sebuah ruangan kelas. Sutomo mengutarakan ajakannya kepada yang hadir saat itu: M.Suradji, M. Mohamad Saleh, Mas Suwarno, Muhammad Sulaiman, Gunawan dan Gumberg. Suraji nanti akan ditugaskan sebagai pembawa berita ke pelosok Jawa tentang gerakan ini, dan ia adalah yang mengusulkan untuk pertamakalinya nama “Budi Utomo” untuk perhimpunan ini setelah mendengar cerita kunjungan Sutomo menemui Wahidin.

Pada hari itu, di dalam ruang kelas sebuah sekolah kedokteran bagi anak-anak priyai Jawa, tumbuh untuk pertamakalinya tekad untuk membangkitkan rakyat, mendidik saudara-saudara mereka (di pulau Jawa). Sebuah kegiatan "ekstrakurikuler" besar dalam rangka membebaskan saudara-saudara mereka setanah kelahiran dari buta huruf dan kepicikan. Sejak hari itu, semangat itu menjalar ke pelosok Jawa dan bahkan sanggup membangkitkan kesadaran anak-anak muda dari daerah-daerah lain untuk melakukan hal yang sama: membebaskan saudara-saudara mereka yang tertindas menderita. Satu persatu perhimpunan yang lahir kemudian memang sangat bernuansa kedaerahan. Tapi tidak mengapa. Awalnya rakyat memang musti disadarkan dahulu di tanah-tanah kelahiran mereka sendiri. Di Jawa, di Sumatera, di Ambon, di Selebes. Sedikit demi sedikit cakrawalanya dibuka, tentang keberadaan saudara-saudara mereka di hindia belanda…yang tersebar di pulau-pulau yang jauh…yang punya keinginan dan mimpi yang sama: untuk bebas dari derita!
Dan ketika banyak daerah telah menyatukan cita-cita,..maka ketika itulah saatnya lahir kesadaran tentang kebangsaaan. Tak lama. Sekitar dua puluh tahun lagi ke depan…

Oktober 2008
..


Tidak ada komentar: