Kamis

Eropa yang tidak ndeso...


Selamat datang di Eropa, benua tempat terbitnya matahari pencerahan akal budi dan renaissans. Negeri di mana untuk pertama kali terlahir manusia yang mengenal eksistensi dirinya, yang membebaskan dirinya dari belenggu dogma, yang menyadari kemampuan rasio dan akal budinya dalam menentukan dirinya sendiri. Inilah negeri di mana para filsuf raksasa tumbuh dan pemikirannya turut membentuk karakter dunia: Francis Bacon (1561-1626), Descartes (1596-1650), Thomas Hobbes (1588-1679), David Hume (1711-1776), Immanuel Kant (1724-1804), Hegel (1770-1831), Auguste Comte (1798-1857), Engels (1820-1895), Karl Marx (1818-1883)….

Selamat datang di Eropa, benua di mana lahir penemuan-penemuan terbesar umat manusia, sains dan teknologi tingkat tinggi bahkan hingga kini. Dan pada saat yang sama, nyaris separuh manusia penghuninya “tidak beragama” dalam arti tidak beriman secara “tradisionil”..tidak memeluk sesuatu agama: 27% dari total manusia eropa mempercayai adanya sesuatu kekuatan penggerak hidup yang ghaib…dan 18% dari total manusia eropa malah tidak mempercayai sama sekali adanya kekuatan adikodrati (survei thd 32 negara Eropa, ^ "Eurobarometer on Social Values, Science and technology 2005 - page 11" (PDF). Retrieved on Sept 18 2008). Di Negeri kincir yang berpenduduk 16 juta manusia, hanya 39% yang “beragama” dalam arti keimanan tradisional, sementara 40% lainnya percaya kepada sesuatu kekuatan adikodrati yang ghaib meski tak memeluk sesuatu agama. (Becker, Jos and Joep de Hart, 2006. Godsdienstige veranderingen in Nederland).

Adalah agnotisisme, di dalam mana Eropa berenang dan hidup di dalamnya sekarang dan (sepertinya) semakin dalam ke masa depan. Sebuah paham yang berpendapat, bahwa adanya Tuhan tidak dapat diketahui melalui jalan rasionalitas dan tidak mungkin dipastikan secara teoritis obyektif. Benih telah ditanamkan, ketika Descartes (1596-1650) –sang Bapak Filsafat Modern- menyatakan bahwa hanya kesadaran dirilah (cogito) sumber pengetahuan yang benar, bahkan menggeser semua dogma ajaran … Cogito, ergo sum!. Lebih jauh Immanuel Kant (1724-1804) menyatakan bahwa karena pengetahuan kita sangat terbatas hanya pada dunia inderawi, maka adanya Tuhan yang terletak di luar pengalaman manusia (sehingga Tuhan bukan obyek inderawi) tidak mungkin ditentukan secara teoritis. Bagi Kant, jalan menuju pembuktian adanya Tuhan melalui pengetahuan obyektif adalah tidak mungkin.

Agnotisisme tidak menolak adanya Tuhan. Bagi agnotisisme, bahkan sikap ateisme yang tidak mempercayai eksistensi Tuhan adalah ketinggalan zaman dan tidak rasional. Namun agnotisisme menolak kemungkinan segala pengetahuan tentang Tuhan, misalnya yang dicoba dinalar dan kemudian dibakukan dalam bentuk ajaran-ajaran agama. Bagi agnotisisme, tidak mungkin kita bicara tentang Tuhan karena Tuhan tidak mampu kita jangkau dengan rasio. Tuhan hanya dapat dirasakan pada pertemuan-pertemuan di dalam nurani. Kepercayaan religius merupakan unsur dalam estetika jiwa, dan oleh karenanya agama merupakan urusan pribadi sesuai keyakinan serta selera masing-masing. Tidak ada satupun agama yang berhak mengklaim sebagai pemilik kebenaran obyektif yang mutlak. Terserah kecenderungan pribadi masing-masing untuk menghayati rasa berketuhanannya. Persaingan atau bahkan pertumpahan darah antar agama demi menunjukkan agama mana yang paling benar, adalah ndeso. Sama ndeso-nya dengan memaksa orang lain untuk lebih menyukai french-fries daripada oseng tempe.

Selamat datang di Eropa...

..

Senin

The God Particle...


Rabu sepuluh september dua ribu delapan. Dua partikel proton mulai ditembakkan ke dalam lintasan akselerator partikel terbesar di dunia, the Large Hadron Collider (LHC) di markas besar the European Organization for Nuclear Research (CERN) di perbatasan Swiss-Perancis dekat Geneva. Umat manusia menyaksikan satu lagi momen bersejarahnya, dalam memacu kemampuan rasio dan akalnya untuk menapaktilasi eksistensinya di alam semesta ini. Dari mana ia berasal? Ada apa sebelum semua ada? Bagaimana semua meng-ada?

Satu bulan ke depan, dua proton tersebut akan bertubrukan satu sama lain pada kecepatan 99,999999% kecepatan cahaya...mencapai kondisi sebagaimana momen pada seper-10-pangkat-36 detik paska Ledakan Besar semesta (the Big Bang)....dan (diharapkan) akan terciptalah dari tumbukan tersebut partikel azali pembuka semua materi: Higgs Boson. Yang dengannya segala potensi materi diberinya dimensi keluasan (massa, mass) sebagai salah satu unsur eksistensi. Yang hanya dengannya, segala potensi wujud yang selama ini tersembunyi...tiba-tiba menjadi memateri.

Berdasarkan teori asal-usul temporal, alam semesta ini lahir 13 miliar tahun yang lalu diawali dengan sebuah Ledakan Besar semesta (Cat: teori lain yang lebih spekulatif tentang penciptaan semesta adalah Quantum Cosmology by Stephen Hawking..sebuah teori yang tidak membutuhkan sebuah ledakan sbg syarat penciptaan). Sepermiliar-miliar detik kemudian, Higgs Boson yang terlahir dari Ledakan Besar akan memberikan massa untuk pertamakalinya kepada partikel-partikel fundamental penyusun materi, yaitu quarks, protons dan neutrons pada momen satu detik paska Big Bang setelahnya. Proses pembentukan materi apapun juga...atom, unsur-unsur dasar, anti materi, bintang, black holes, galaksi....mengikuti dan akan berlangsung selama jutaan dan miliaran tahun. Delapan miliar tahun kemudian, tata surya kita barulah terbentuk.

Bagi para ilmuwan, kehadiran Higgss Boson akan menjadi bukti tentang kemampuan sains dalam menjawab berbagai pertanyaan tingkat tinggi tentang fundamen alam semesta di mana kita –manusia- menjadi bagian di dalamnya. Asumsi dasar dari sains adalah, bahwa the world is both rational and intelligible (dunia adalah sekaligus rasional dan inteligibel), sbgmn diungkapkan oleh P.Davies (born 1946) –seorang physist kelahiran Inggris – dalam bukunya The Mind of God (1992). Alam semesta bukanlah sebuah semesta chaotic. Alam semesta tersusun dari banyak tingkat dan lapisan, yang keseluruhannya saling mendukung saling terkait melalui ikatan hukum-hukum yang bisa dipahami oleh rasio. Termasuk juga proses penciptaan semesta, yang dimulai dari sebuah Ledakan Besar dan bagaimana materi-materi mewujud dan terbentuk, pembentukan galaksi-galaksi, bintang-bintang, tata surya dan manusia….semuanya bisa dilacak oleh sains utk menjawab pertanyaan “bagaimana semua itu bisa terjadi ?”…

Bagi para ilmuwan yang beriman, kehebatan sains justru menjadi jembatan penghubung antara rasionalitas manusia dengan keimanan akan kehadiran Tuhan. Jembatan ini adalah rasionalitas alam semesta…..terungkapnya hukum-hukum alam yang mengatur semesta kecil (mikrokosmos) maupun semesta besar (makrokosmos). Dan dalam ketakjuban terhadap kesempurnaan “jaring-jaring matematis semesta”, seseorang kemudian mampu melompat dari tepian terjauh rasionya, mencapai tataran keimanan.

Dalam penemuan partikel Higgs Boson nanti, merekalah yang pertamakali akan berseru bahwa inilah partikel azali…yang dengannya untuk pertamakali Tuhan memperlihatkan diriNya...dalam penampakan alam semesta. Yang dengan tampaknya alam semesta, Tuhan ingin "ditemukan" oleh kita. Sebagaimana harta karun yang selama ini tersembunyi dalam misteri "ketidakhadiran"Nya, yang kini jejak-petunjukNya bertaburan di setiap butir materi semesta! Higgs Boson....The God Particle !..

Bagi ilmuwan lainnya, ini hanya sebuah bukti lain tentang kemandirian dan inteligensi alam semesta dalam menciptakan dirinya sendiri. Tak lebih dari itu.

..

Rabu

the Die Harder(s)


Bagi mereka yang kini tengah asik merasakan kenikmatan dari rangkaian ritual keagamaan, pertanyaan tentang keimanan kepada Tuhan tentu saja adalah sesuatu yang tak relevan lagi. Penyerahan diri kepada keimanan, dan kenyamanan, kenikmatan, serta kebahagiaan yang mereka rasakan tak dirasa perlu untuk digugat atau dipertanyakan. Namun tak dapat pula kita pungkiri, bahwa ada dari antara kita yang masih tak mau menyerahkan rasio-nalar dan akalnya kepada keimanan. Mereka terus berpegang kepada kekuatan rasio dan nalar. Terus menggedor2 pintu iman dan mempertanyakan. Bertahan pada keyakinan pemikiran. Mempertaruhkan kehidupan. Bahkan sampai akhir hidup mereka..

Bagi Ludwig Feurbach (1804-died 1872), seorang filsuf Jerman dan juga anthropologist, agama hanyalah merupakan proyeksi manusia. Allah, malaikat, surga, neraka sejatinya hanyalah produk-produk pikiran spekulatif...berupa gambar-gambar yang dibentuk manusia tentang dirinya sendiri. Manusia menginginkan kebaikan, maka ia kemudian membayangkan adanya Yang Maha Baik. Mendambakan pengetahuan, maka ia membayangkan adanya Yang Maha Mengetahui. Dengan demikian, bukanlah Allah yang menciptakan manusia, melainkan sebaliknya Allah adalah ciptaan angan-angan manusia. Bagi Feurbach, seharusnya kita harus bertolak dari satu-satunya realitas yang tidak dapat dibantah, yaitu kepastian inderawi. Maka hanya ada satu titik tolak yang sah bagi filsafat, yaitu manusia inderawi. Yang di luar inderawi adalah tidak sah maka tidak boleh dianggap ada. Bagi Feurbach, agama tidak lebih daripada proyeksi hakekat manusia, tetapi kemudian manusia melumpuhkan dirinya sendiri di hadapan bayangan-bayangan itu, yang diciptakannya sendiri, yang kemudian disegani dan lantas disembah2nya sendiri.

Bagi Sigmund Freud (1856-died 1939), seorang psikiatris asal Austria, agama hanyalah sebuah Ilusi Infantil. Karena menurutnya agama membuat manusia berperilaku seperti anak kecil (infant). Manusia menghadapi masalah-masalah kehidupannya dengan menyandarkan diri kepada sebuah ilusi: agama, yang diyakininya akan melindungi dan membebaskannya dari penderitaan, kemalangan dan kesusahan. Namun keyakinan itu menurut Freud sebenarnya hanyalah sebuah harapan terhadap sesuatu yang tidak mungkin terpenuhi (ilusi). Dan sikap mengharapkan agar apa yang diinginkan itu sungguh-sungguh akan terpenuhi adalah ciri khas anak kecil. Jadi, menurut Freud, agama justru melumpuhkan manusia dengan cara menjadikannya tak kunjung dewasa dan tak bisa mandiri mengembangkan kekuatan-kekuatannya sendiri.

Bagi Jean-Paul Satre (1905-died 1980), manusia adalah satu-satunya makhluk yang eksistensinya mendahului esensinya. Manusia sama sekali bebas, sama sekali tidak terdeterminasi. Ia harus memproyeksikan diri, menciptakan diri, melalui kebebasannya. Melalui tindakan bebas ia menjadi. Dan manusia bertanggungjawab atas dirinya sendiri, menciptakan kodratnya, dan ia sendirilah yang membentuk dirinya sendiri. Namun dengan menghadirkan Allah, maka manusia kemudian kehilangan kebebasannya. Menurut Satre, Allah yang menciptakan manusia, yang memelihara manusia, dan bertanggungjawab bagaimana manusia berkembang dan oleh karena itu juga bagaimana ia bertindak. Semua sudah ditentukan. Maka dengan percaya kepada Allah manusia tak pernah bisa menjadi dirinya sendiri, ia tidak menjadi otentik. Apabila Allah ada, maka manusia itu sejatinya merupakan ketiadaan.

..

Selasa

Pahlawan...atau Jahanam?


Siapakah pahlawan? Siapakah jahanam? Adalah Jan Pieterszoon Coen (1587-1629), yang dinobatkan sebagai "pahlawan" kerajaan oranye oleh Sri Ratu dan de Javasche Bank mengabadikan "kehormatannya"-nya pada uang kertas Nederland Indische pecahan seratus gulden tahun 1902. Seakan berjuta pribumi di nusantara yang ditindas dan ratusan ribu jiwa yang dilenyapkannya, selama ia menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1619-1623) dan lagi (1627-1629), tak memiliki hak apa-apa tuk menggugat "kemuliaan"nya (catat: segenap pribumi pewaris resmi Pulau Banda diusirnya, diasingkan dan dibiarkan mati kelaparan, atau diperbudak pada perkebunan rempah-rempah milik VOC).Seakan prinsip penindasannya yang tanpa ampun direstui sebagai sebuah kebijaksanaan suci, "Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want God is met ons! "...Despair not, spare your enemies not, for God is with us! (sic).

Siapakah pahlawan? Siapakah mulia? Adalah Aristoteles (384-322 SM) yang mengungkapkan, bahwa seorang warga negara yang dinilai terhormat oleh negara...belum tentu adalah seorang manusia yang dipandang mulia oleh sesama manusia. Seorang pahlawan di mata negara, bisa jadi adalah seorang jahanam penindas kemanusiaan di mata manusia lainnya. Seorang yang dimuliakan oleh raja, bisa jadi dihinakan dan dinistakan oleh rakyat kebanyakan.

"Warga negara teladan", menurut Aristoteles, adalah warga negara yang sukses berpartisipasi dalam menduung tercapainya tujuan negara. Dan karena bentuk konstitusi negara berbeda-beda, maka tuntutan akan peran serta partisipasi juga berbeda-beda. Pada konstitusi monarki atau oligarkhi, keutamaan warga negara dinilai dari bagaimana kontribusi mereka dalam mendukung dan melanggengkan kekuasaan Raja/Ratu ataupun segolongan orang (bangsawan, elite) demi keuntungan Raja dan segolongan kaya. Pada konstitusi demokrasi, keutamaan warga negara dinilai dari bagaimana kontribusi mereka dalam membela orang miskin kebanyakan. Alhasil, nilai keutamaan warga negara sangatlah tergantung dari konstitusi di dalam mana ia berperan. Apa yang dinilai sebagai tindakan mulia dan adil sebagai warga negara, bisa jadi hanya berlaku dalam satu konstitusi tertentu namun menjadi tidak mulia dan tidak adil jika dilakukan dalam konstitusi lain.

Dengan demikian, nilai keutamaan warga negara harus dibedakan dari nilai keutamaan manusia. Keduanya bisa saja sama, tapi bisa pula berbeda. Keutamaan manusia berlaku dimanapun kapanpun dan dalam kondisi apapun. Ia dibangun dari nilai-nilai utama kemanusiaan (virtues, areste) yang merupakan nilai keutamaan yang sempurna dalam rangka mencapai tujuan puncak keluhuran (eudaimonia). Dengan kacamata nilai keutamaan manusia inilah seharusnya kita memandang setiap tindakan warga negara (yang berpartisipasi aktif dalam proses perumusan kebijakan dan sistem peradilan).....untuk menilainya apakah ia seseorang yang mulia, terhormat dan pahlawan...terlepas dari tingginya gelar dan taburan bintang jasa disematkan.....atau justru hanya seorang penindas jahanam berkedok ”demi kemuliaan kekuasaan” dan bersembunyi di balik "atas nama Tuhan".

Jan Pieterszoon Coen kini dikubur di dalam tanah, di bawah salahsatu anak tangga kompleks pemakaman Imogiri Yogyakarta (sanskrit: Himagiri....gunung bersalju). Dan rakyat manusia kebanyakan melangkahinya, menistakannya....

..

Kamis

The Quest of Humanity

Darwinian Worms and Aristotelian Entelechia

Pada tahun 1859, melalui bukunya The Origin of Species, Charles Darwin (1809-1882) mengemukakan bahwa segala bentuk kehidupan yang ada di dunia sesungguhnya merupakan hasil dari suatu proses evolusi biologis yang telah berjalan sejak bermiliar tahun yang lalu. Semua mahluk hidup, tak terkecuali manusia, sesungguhnya berasal dari sumber keturunan yang satu (common descent) yang telah mengalami diferensiasi dan seleksi alami (natural selection).

Dalam teori evolusi, kedudukan manusia tak lebih mulia dari makhluk hidup lainnya semisal cacing dan bakteria. Yang membedakan manusia dengan bakteria hanyalah bentuk anggota tubuh dan fungsi-fungsi biologis yang semata merupakan alat untuk bertahan hidup di masing-masing lingkungan hidupnya. Dengan kata lain, jika manusia ditempatkan dalam alam bakteri maka ia pun akan beradaptasi dengan mengembangkan anggota tubuh dan berperilaku sama dengan bakteri di sekitarnya.

Dengan demikian, teori evolusi menyimpulkan bahwa terjadinya proses evolusi bukanlah dalam rangka menjadi makhluk yang lebih maju, lebih cerdas ataupun menjadi makhluk paripurna. Bahwa tujuan akhir dari keberadaan semua mahluk hidup, tak terkecuali manusia, hanyalah untuk bertahan hidup dalam dunianya yang terus berkembang (survival of the fittest).

Dari sudut pandang teori evolusi ini, secara seketika manusia kehilangan kepercayaan dirinya sebagai makhluk tertinggi di antara makhluk hidup lainnya. Ia hanyalah bagian dari arus evolusi dan tak ada yang istimewa dari keberadaannya. Tujuan hidupnya menjadi tak lebih bermakna dari sekedar bertahan hidup semata. Dan dalam alam kompetisi tersebut, virtues dan pertimbangan moral menjadi sangat mungkin untuk kehilangan peran dalam membimbing berbagai tindakan. Hanya mereka yang kuat yang layak hidup dan meneruskan keturunan. Yang lemah sudah seharusnya sirna binasa.

Tentu saja cara pandang teori evolusi biologis yang demikian itu bersifat sangat parsial dalam memandang kemanusiaan dan alam semesta, yang sesungguhnya memiliki dimensi yang sangat luas dan kompleks. Ketidakmampuan sains untuk menangkap seluruh dimensi tersebut secara epistemologi memang merupakan kelemahan intrinsik dari sains, yang sangat menyandarkan dirinya kepada empirism dan materialism sehingga tak mampu menjangkau dimensi-dimensi dibalik fenomena yang bersifat fisik/kasat mata. Berbagai bukti dan argumentasi tandingan yang masih terus diungkapkan oleh para pengkritik teori evolusi, juga menunjukkan bahwa teori evolusi belumlah bebas dari tantangan skeptisism dan fallibilism (bahwa semua klaim ilmu pengetahuan tidak mungkin bersifat mutlak benar, atau setidaknya bisa salah).

Dengan segala keterbatasannya sebagai sebuah ilmu pengetahuan, maka teori evolusi Darwin dapatlah dikatakan sebagai sebuah upaya penjelasan yang belum lengkap (dan bisa salah) tentang persoalan penciptaan terutama penciptaan manusia. Jawaban yang lebih sempurna haruslah dicari melalui cara pandang lain yang bisa menjangkau aspek dan dimensi yang lebih luas, sehingga kita tidak terjebak ke dalam rumusan yang bersifat mekanistik-materialistik.

Sesungguhnya cara pandang yang lebih luas tersebut telah ada jauh sebelum Charles Darwin mengembangkan teori evolusinya. Aristoteles (382-324 SM) menyatakan bahwa dalam setiap segala sesuatu telah terkandung penyebab final (causa finalis) yang menjadi tujuan akhir ke arah mana seluruh kejadian bergerak. Dan pada seluruh proses perkembangannya, segala sesuatu memiliki entelechia sebagai daya penggerak internal menuju pencapaian tujuan akhir atau pemenuhannya. Selanjutnya teleologi yang dikembangkan dari ajaran Aristotelian tersebut lebih jauh menyimpulkan, bahwa terdapat disain yang teratur dalam penciptaan manusia dan alam semesta, yang mengarahkan perkembangan segala sesuatu ke suatu tujuan akhirnya (purpose, finality).

Di sisi lain, agama-agama sejak awal memandang manusia sebagai makhluk paling sempurna (dan langsung sempurna) yang diciptakan oleh Tuhan di antara semua ciptaanNya, yang memiliki kedudukan tertinggi di alam semesta dengan membawa sifat-sifatNya yang agung dan mulia. Dan bagi manusia Tuhan mempersiapkan bumi serta alam semesta untuk didiami dan dikelola, yang dalam proses perkembangannya selalu dalam keteraturan dan pemeliharaanNya yang maha sempurna.


Manusia Sebagai Lompatan Hakikat

Pierre Teilhard de Chardin (1881-1955), seorang agamawan, filosof dan juga ilmuwan di bidang paleontologi, selanjutnya mencoba menempatkan teori evolusi biologis pada posisi yang lebih pas di dalam kerangka berfikir teleologis dan agama. Dalam bukunya The Phenomenon of Man (1955), Chardin berpendapat bahwa proses evolusi biologis hanyalah satu tahap dari proses evolusi kosmik yang jauh lebih besar.

Sesungguhnya evolusi terjadi mulai dari tataran sel, mikro organisme hingga planet, tata surya dan akhirnya seluruh kosmos. Seluruh alam semesta bergerak dalam sebuah proses “menjadi” (becoming), mengarah kepada sintesis material yang semakin kompleks (increasing complexity) dan kepada peningkatan kesadaran (ascending consciousness). Dan sebagai puncaknya adalah munculnya manusia dengan kesadaran reflektifnya dan kebebasannya! Manusia menjadi puncak evolusi kosmos di dalam sebuah sfera baru yang disebut noosfer, di dalam mana terjadi lompatan/diskontinuitas hakikat dari semesta psikis hewan dan benda melompat menjadi kesadaran reflektif manusia. Dengan hadirnya manusia, dan hanya di dalam manusia, maka kini alam semesta menjadi sadar akan dirinya. Dalam konteks inilah, sebenarnya secara elegan Chardin menyangkal argumentasi tentang evolusi manusia dari bentuk-bentuk yang kurang berkesadaran/ kurang reflektif pada tataran hewani (kera), namun di sisi lain ia melakukan kompromi dengan menerima proses evolusi bagi hewan dan makhluk hidup lainnya.

Lebih jauh lagi, sebagai salah seorang pendukung aliran orthogenesis, Chardin mengatakan bahwa seluruh proses evolusi kosmik tersebut digerakkan oleh suatu penggerak intrinsik (intrinsic driver, the mysterious inner force, èlan vital) yang ia sebut sebagai Titik Omega (Omega Point). Pada saat yang sama, Titik Omega ini -- yang selalu hadir, abadi, transenden, Divine Personal, autonomus, attainable-- juga sekaligus menjadi tujuan tertinggi dari seluruh gerak evolusi semesta….yaitu Tuhan. Dengan demikian seluruh gerak evolusi kosmos termasuk di dalamnya proses evolusi biologis sejatinya digerakkan oleh Tuhan dan pada akhirnya menuju kesatuan dengan Tuhan. Dan dalam cara pandang seperti ini, maka diharapkan sebagian konflik antara teori evolusi dengan agama dapat lebih didamaikan.

..