Rabu

the Die Harder(s)


Bagi mereka yang kini tengah asik merasakan kenikmatan dari rangkaian ritual keagamaan, pertanyaan tentang keimanan kepada Tuhan tentu saja adalah sesuatu yang tak relevan lagi. Penyerahan diri kepada keimanan, dan kenyamanan, kenikmatan, serta kebahagiaan yang mereka rasakan tak dirasa perlu untuk digugat atau dipertanyakan. Namun tak dapat pula kita pungkiri, bahwa ada dari antara kita yang masih tak mau menyerahkan rasio-nalar dan akalnya kepada keimanan. Mereka terus berpegang kepada kekuatan rasio dan nalar. Terus menggedor2 pintu iman dan mempertanyakan. Bertahan pada keyakinan pemikiran. Mempertaruhkan kehidupan. Bahkan sampai akhir hidup mereka..

Bagi Ludwig Feurbach (1804-died 1872), seorang filsuf Jerman dan juga anthropologist, agama hanyalah merupakan proyeksi manusia. Allah, malaikat, surga, neraka sejatinya hanyalah produk-produk pikiran spekulatif...berupa gambar-gambar yang dibentuk manusia tentang dirinya sendiri. Manusia menginginkan kebaikan, maka ia kemudian membayangkan adanya Yang Maha Baik. Mendambakan pengetahuan, maka ia membayangkan adanya Yang Maha Mengetahui. Dengan demikian, bukanlah Allah yang menciptakan manusia, melainkan sebaliknya Allah adalah ciptaan angan-angan manusia. Bagi Feurbach, seharusnya kita harus bertolak dari satu-satunya realitas yang tidak dapat dibantah, yaitu kepastian inderawi. Maka hanya ada satu titik tolak yang sah bagi filsafat, yaitu manusia inderawi. Yang di luar inderawi adalah tidak sah maka tidak boleh dianggap ada. Bagi Feurbach, agama tidak lebih daripada proyeksi hakekat manusia, tetapi kemudian manusia melumpuhkan dirinya sendiri di hadapan bayangan-bayangan itu, yang diciptakannya sendiri, yang kemudian disegani dan lantas disembah2nya sendiri.

Bagi Sigmund Freud (1856-died 1939), seorang psikiatris asal Austria, agama hanyalah sebuah Ilusi Infantil. Karena menurutnya agama membuat manusia berperilaku seperti anak kecil (infant). Manusia menghadapi masalah-masalah kehidupannya dengan menyandarkan diri kepada sebuah ilusi: agama, yang diyakininya akan melindungi dan membebaskannya dari penderitaan, kemalangan dan kesusahan. Namun keyakinan itu menurut Freud sebenarnya hanyalah sebuah harapan terhadap sesuatu yang tidak mungkin terpenuhi (ilusi). Dan sikap mengharapkan agar apa yang diinginkan itu sungguh-sungguh akan terpenuhi adalah ciri khas anak kecil. Jadi, menurut Freud, agama justru melumpuhkan manusia dengan cara menjadikannya tak kunjung dewasa dan tak bisa mandiri mengembangkan kekuatan-kekuatannya sendiri.

Bagi Jean-Paul Satre (1905-died 1980), manusia adalah satu-satunya makhluk yang eksistensinya mendahului esensinya. Manusia sama sekali bebas, sama sekali tidak terdeterminasi. Ia harus memproyeksikan diri, menciptakan diri, melalui kebebasannya. Melalui tindakan bebas ia menjadi. Dan manusia bertanggungjawab atas dirinya sendiri, menciptakan kodratnya, dan ia sendirilah yang membentuk dirinya sendiri. Namun dengan menghadirkan Allah, maka manusia kemudian kehilangan kebebasannya. Menurut Satre, Allah yang menciptakan manusia, yang memelihara manusia, dan bertanggungjawab bagaimana manusia berkembang dan oleh karena itu juga bagaimana ia bertindak. Semua sudah ditentukan. Maka dengan percaya kepada Allah manusia tak pernah bisa menjadi dirinya sendiri, ia tidak menjadi otentik. Apabila Allah ada, maka manusia itu sejatinya merupakan ketiadaan.

..

Tidak ada komentar: