Sabtu

iB..mengapa huruf i-nya kecil?....

Mungkin ini pertanyaan keseribu sekian tentang “misteri” di balik mengapa huruf i pada logo iB (ai-Bi) huruf kecil? Kenapa bukan dua-duanya huruf besar..jadi IB? Atau I-nya yang besar..jadi ditulis Ib ?

Alkisah di bulan ketiga dua tahun silam, bergulirlah gagasan untuk membuat sebuah logo yang akan menjadi ciri penanda khas bank syariah di Indonesia. Sebuah logo yg akan menjadi identitas pemersatu dari bank-bank syariah yang semakin banyak bermunculan, termasuk juga BPRS yang tumbuh bermekaran. Sehingga tercipta kesatuan citra bank syariah sebagai sebuah industri yang besar, solid dan mapan. Ibaratnya toko di ujung pulau, meski jauh terpencil tapi kalau ada logo “Visa” atau “Master Card”nya…maka toko itu tidak lagi dipandang sbg toko pinggiran…karena terhubung dgn brand global, shg orang jadi yakin untuk bertransaksi. Bank syariah di Indonesia memerlukan logo yang kredibel seperti itu…

Pada bulan kelima di tahun yg sama, proses perumusan logo industri perbankan syariah dimulai. Dan karena logo ini akan menjadi logo dari sebuah industri keuangan yang serius –sangat sangat serius-, maka amat tidak pantas untuk sekedar mencoret-coret sendiri disainnya di atas kertas..seperti mau bikin logo perkumpulan karang taruna atau vokal group sekolahan. Semuanya harus memiliki makna, bahkan untuk setiap tarikan garis, bentuk, warna dan pemilihan huruf ! Logo harus dilahirkan dari rahim perenungan yang mendalam tentang filosofi dasar dan virtues dari sistem perbankan syariah (islamic bank). Setiap pilihan bentuk dan tarikan garisnya adalah perwujudan lahir dari idea-idea bathiniah.

Adalah Irvan A. Noe’man, seorang pakar dan tokoh disain grafis terkemuka negeri ini yang kemudian membantu mengendapkan idea batiniah itu, yang dikandung oleh sistem bank syariah..dan kemudian mewujudkannya ke dalam garis, bentuk dan warna. Sebagai salah satu tokoh pendiri Indonesia Design Professionals Association (ADGI), dan juga putera dari A. Noe’man sang arsitek Masjid Salman ITB, Irvan tak diragukan lagi memiliki kepakaran disain grafis sekaligus kepekaan religius…dua kualitas yang dibutuhkan untuk melahirkan logo sekaliber industri islamic banking di Indonesia ini.

Tanggal 2 Juli 2007, logo iB dicanangkan sebagai logo resmi bagi industri perbankan syariah di Indonesia. Bertepatan dengan peringatan hari ulang tahun Bank Indonesia. Dan untuk keseratus sekian kalinya, pertanyaan dari yang hadir adalah..”kenapa huruf i-nya kecil yaa?..” Apakah cuma untuk pemanis-manis disain dan komposisi?

Lebih dalam dari itu! Penjelasan Irvan A. Noe’man terhadap “misteri” itu sangat memukau dan mencerahkan: “iB adalah islamic banking….dan huruf i kecil mensiratkan bahwa islam harus tampil secara humble…rendah hati..”.

Islam dalam islamic banking, ditampilkan secara lembut, halus dan rendah hati. Ia menyejukkan, bukan menakut-nakuti. Ia mendamaikan, bukan membuat gelisah. Ia halus dan lembut, bukan bengok-bengok (teriak-teriak, bhs Jawa) memekakkan telinga. Ia rendah hati, bukan membusungkan kesombongan. Ia bisa menghargai, bukan memurkai atau memaki-maki. Itulah mengapa i-nya iB pake huruf kecil….

Tulisan ini diposting juga di: iB Blogger Competition.

..

Selasa

Bank Syariah...dipiiliih...diipiliiih.....

Dagangan apa yang sekarang ini paling laku dijual? Ekonomi syariah dan perbankan syariah! Apakah karena momennya memang pas, dimana banyak orang sedang mencari-cari sistem perbankan alternatif yang lebih tahan banting dalam hempasan badai krisis keuangan global? Atau semata karena rasa emosional/sentimen keagamaan dari masyarakat negeri ini, saat ini sedang disentil dan dielus-elus oleh orang-orang yang pingin memperoleh simpati. Entah demi tujuan-tujuan ekonomi, uang…ataupun untuk tujuan kampanye politik, kekuasaan.

Tapi sebenernya apa sih yang mereka jual? Apakah cuma sekedar jualan jargon dan simbol-simbol hanya untuk membeli hati? Sebenernya apa sih kelebihan dari bank syariah? Sehingga ia pantas dijadikan sebuah “isu strategis” yang harus dibicarakan di antara isu-isu strategis lainnya. Jangan-jangan, yang teriak-teriak jualan bank syariah di berbagai forum dan media itu malah ga ngeh tentang…apa sih bagusnya barang yang ia jual?....

Pertama: Dengan sistem bagi hasilnya, bank syariah sejatinya mengangkat kembali keluhuran kultur anak negeri ini. Re-inventing the heritage. Sistem bagi hasil sudah dikenal di nusantara bahkan sejak pra kedatangan Islam. Istilah maro, mertelu, belah pinang, bakongsi, mencerminkan kultur luhur kebersamaan, welas asih dan keadilan. Semakin banyak masyarakat menggunakan bank syariah, maka nilai-nilai luhur bangsa ini semakin dihidupkan kembali. Lihat tulisan saya sebelumnya: “Bank Syariah Bukan Barang Impor”.

Kedua: Bank syariah merekatkan kembali aktivitas pasar keuangan dengan kegiatan ekonomi riil, sehingga mengobati masalah de-coupling economy. Setiap uang yang dikeluarkan oleh bank syariah harus digunakan untuk membiayai sektor riil produktif. Tidak boleh diputar-putar saja di sektor finansial. Dengan demikian, maka membesarnya pasar keuangan selalu merupakan cermin sempurna dari membesarnya kegiatan produksi di sektor riil. Tidak terjadi ekonomi gelembung (bubble economy) yang sewaktu-waktu bisa pecah menggoncang perekonomian.

Ketiga: Harmonisasi antara kedua pasar tersebut (sektor keuangan dan sektor riil) akan mencegah terjadinya ekses likuiditas, karena likuiditas yang mengalir dalam perekonomian adalah sesuai dengan kebutuhan transaksi yang benar-benar riil. Tidak ada penumpukan likuiditas secara permanen yang hanya berputar-putar di instrumen keuangan, sementara sektor riil lebih membutuhkannya.

Keempat: Bank syariah tidak boleh membiayai bisnis spekulatif, misalnya untuk kegiatan spekulasi valas. Dengan membesarnya share bank syariah dalam perekonomian, maka pergerakan harga benar-benar akan merupakan cermin sempurna dari interaksi supply-demand barang yang benar-benar riil. Dalam lanskap ini tidak diperbolehkan pembiayaan bagi aktivitas-aktivitas spekulatif maupun penumpukan (hoarding), sehingga meningkatkan prediktibilitas pergerakan inflasi.

Ahh..seandainya mereka tahu bagusnya dagangan yang sedang mereka jual ini…mereka pasti akan berteriak-teriak lebih lantang lagi. Bukan hanya supaya pingin dapet suara, tetapi karena bank syariah memang bagus punyya!.. ayoo..dipiliih…dipiliiih !!....:)

..

Sabtu

Ketika Bule Jatuh Cinta

Mengapa banyak negara asing berpenduduk tidak mayoritas muslim semakin menggebu ikut-ikutan mengembangkan bank syariah? Dimulai dari Inggris dan merambat ke Amerika Serikat, Australia, Singapura, Jepang, Rusia, Hongkong, Korea (sedang serius mempelajari bank syariah dan rajin bikin workshop dengan IFSB)...Koq bisa? Apa sih yang menyebabkan mereka jatuh cinta sama ekonomi syariah dan bank syariah??

Hampir pasti bukan karena alasan-alasan keagamaan. Urusan Hongkong dan Singapura, misalnya, bisa jadi cuma soal ngumpulin duit sebanyak2nya. Urusan negara-negara Barat lain, barangkali lebih sophisticated dan "mature": ethical economics!

Ketika bule Eropa dan Amerika taraf ekonominya sudah mapan, maka meningkatlah kesadarannya beyond urusan sembako dan duit. Sekarang mereka mikir soal-soal yang lebih "soft": bagaimana mengurangi efek global warming? bagaimana mengurangi kerusakan alam lingkungan? bagaimana menciptakan kehidupan sosial yang berkeadilan dan sejahtera? (welfare) Bagaimana manusia bisa hidup secara berkualitas? (freedom, education) bagaimana membangun semangat sosial dalam komunitas-komunitas? ...termasuk di dalamnya bagaimana berbisnis secara lebih etis? bisnis di berbagai sektor: etis dalam berbanking..etis dalam berinvestasi.

Bule sedang jatuh cinta sama Ethical banking dan ethical investment. Mereka rajin berkampanye utk hanya menggunakan bank-bank yang mendukung investasi yang etis yang mendukung kelestarian alam lingkungan. Bank yang ngasih kredit ke bisnis penebangan hutan..nggak laku. Bank yang ketauan ngasih kredit ke pabrik2 peghasil limbah..nggak laku. Bank yang ngasih kredit ke bisnis eksploitasi alam dan merusak alam..nggak laku.

Bule sedang jatuh cinta sama bank yang peduli dengan small enterpreneurs alias pengusaha kecil alias UMKM. Grameen bank-nya Muhammad Yunus di Bangladesh dipuja-puja dan dikasih hadiah nobel. Bule terpesona dan jatuh cinta sama yang kayak beginian sekarang..

Bule sedang jatuh cinta sama bank syariah. Betapa tidak? Coba lihat apa yang ditawarkan oleh sistem bank syariah:

"Kebersamaan dan kemitraan adalah nilai-nilai yang dikedepankan oleh sistem perbankan syariah, yang menjadi prinsip dan semangat dari setiap produk bank syariah yang ditawarkan kepada masyarakat. Sistem perbankan syariah dalam menjalankan aktivitas bisnisnya tetap menjaga visi kemanusiaan yang memandang “yang lain” (nasabah, mitra kerja, manusia lain dan lingkungan) sebagai yang setara, yang harus diperlakukan dengan rasa cinta kasih, berkeadilan dan empati.

Manusia lain adalah juga wajah-wajah yang memiliki mimpi-mimpi yang sama. Kebutuhan dan ketidakberdayaan seseorang tidak boleh dipandang sebagai kesempatan untuk menguasai, tetapi harus dilihat dengan rasa compassion, empati dan kebaikan hati untuk menghilangkan ketidakberdayaan itu. Prinsip kemitraan yang memanusiakan manusia lain, dan kebersamaan dalam kesetaraan inilah yang kemudian menjadikan sistem perbankan syariah lebih dari sekedar bank."

Mana ada di mainstream economics kita temukan "compassions"..."empati"..."kebaikan hati"...."kemitraan yang setara"..."keadilan"...."memandang alam lingkungan dengan rasa cinta kasih"....?? Bank syariah ga akan ngasih kredit ke bisnis yang membabati hutan krn itu mengancam kelestarian alam. Bank syariah ga boleh ngasih kredit ke bisnis yang menghasilkan pencemaran lingkungan. Bahkan bank syariah ga boleh ngasih kredit ke bisnis rokok atau minuman keras. Hmm…ga aneh kalau bule jadi jatuh cinta….pada waktunya mereka akan kasih hadiah Nobel juga ke bank syariah hahahaha… :p

Ingin ikutan bisa jatuh cinta? Tutup telinga anda dari hiruk-pikuk jargon-jargon, dan lihatlah iB (ai-Bi) bank syariah secara lebih mendalam. Di sana akan anda temukan ethical banking...ethical investment...ethical bankers....

Ingin membuat masyarakat jatuh cinta kepada iB (ai-Bi)? Stop preaching..and start SELLING your products and virtues !!..

Kamis

Islam Yes, Bank Islam..Itung-Itung Dulu aah..

Padahal sudah tujuh belas tahun bank syariah hadir di Indonesia, tapi mengapa share bank syariah masih ga bergerak dari angka dua koma sekian persen? Hiruk-pikuk seminar, diskusi,iklan tivi, eksibisi dan promosi, tapi mengapa jumlah nasabah bank syariah -saya adalah satu di antaranya- baru 5 juta saja? Padahal kalau mau melihat secara mendalam, produk bank syariah tidak kalah banyak dan tidak kalah bagusnya dengan produk bank konvensional.

Padahal di setiap seminar atau di media selalu ditulis,."sebagai negara yang penduduknya mayoritas muslim adalah potensi yang dahsyat bagi bank syariah"...atau.."seratus sekian juta rakyat Indonesia adalah muslim dan potensial sebagai nasabah bank syariah"...atau "indonesia adalah raksasa yang sedang tidur, kita akan menjadi pusat keuangan islam dunia !"..

Padahal sudah tujuh belas tahun omongan itu mengudara bergelembung dan berbusa-busa...dan kenyataannya? Tidak terjadi tuh. Bank syariah tetep kecil. Raksasanya tetep bobo.. Seakan-akan semua angka-angka statistik-demografis kemayoritasan muslim itu tidak memberikan arti apa-apa bagi kemajuan bank syariah. Ada apa ini??...

Barulah saya sedikit mendapat pencerahan, setelah membaca bahan bacaan yang disediakan oleh panitia lomba ini. Ternyata orang islam ga otomatis mau make bank islam (bank syariah), karena ternyata ada alasan2 lain untuk memutuskan apakah mau ke bank syariah atau ke bank konvensional? Pertimbangan-pertimbangan lain. Itung-itungan lain.

Kata bacaan itu, sebenernya ada 5 jenis orang dengan profil yg berbeda-beda dalam ber-banking: orang yang ”pokoknya syariah”, orang yang ikut-ikutan, orang yang ngitung-ngitung mana yang paling menguntungkan buat mereka, orang yang terpaksa, dan orang yang udah terbiasa make bank konvensional. Ndilalah jenis orang yang "itungan" dalam ber-banking katanya paling banyak: kalau ngambil pinjeman di bank konvensional lebih murah daripada di bank syariah, ya dia akan ambil produk bank konvensional. Kalau nabung di bank syariah return-nya lebih tinggi, ya dia akan pergi ke bank syariah. Pokoknya yang paling menguntungkan lah. Jenis org kayak begini ni yang paling banyak....

Nahh..ternyata pembagiaannya ndak bisa dikotomi muslim-non muslim. Sehingga klaim bahwa orang islam pasti mau make bank islam sangat bisa dipertanyaan secara serius. Dan mendasarkan diri kepada pendekatan demografis untuk jualan bank syariah akan menyebabkan industri bank syariah "terjebak" ke dalam strategi promosi yang sebenernya cuma didenger oleh sedikit orang yang "pokoknya syariah". Target market yang lain, yang justru lebih besar jumlahnya, malah ndak peduli. Atau setidaknya cuma mendengar, adem sejenak, tapi ujung-ujungnya ya itung-itungan lagi.

Jika bank syariah tidak pintar-pintar membaca profil target market ini, dan merumuskan strategi promosi yang pas, jelas tidak akan pernah bisa membesarkan pangsa pasarnya. Karena fakta di lapangan berbicara. Penduduk muslim Indonesia sangat unik: Islam Yes, Bank Islam..itung-itung dulu aah...

Selasa

Paradoks Ber-bank Syariah

Karena boleh ngirim artikel untuk Lomba Blogger iB lebih dari satu, ini adalah tulisan saya yang kedua. Kali ini tentang paradoks yang saya temukan di banyak kesempatan, sebuah kenyataan betulan dan bukan rekaan, yang pada setiap kalinya saya jadi bergumam.."oo..begini tho? makanya bank syariah di Indonesia ga gede-gede..."

Dalam sebuah acara forum diskusi ilmiah tingkat nasional, dengan topik tentang perbankan syariah. Sebagai pembicara adalah wakil dari sebuah bank syariah terkemuka, otoritas pengawas bank, dan wakil dari pimpinan sebuah perguruan tinggi negeri ngetop yang punya jurusan ekonomi syariah. Sang akademisi dengan sangat bersemangat berbicara panjang lebar, mencoba meyakinkan para peserta seminar tentang keunggulan dan kehebatan ekonomi syariah dan perbankan syariah. Bla..bla..bla..(sepeti kata Eko Patrio seperti di acara tivi lomba nyanyi itu). Dan bahwa membesarnya bank syariah akan mendukung stabilitas ekonomi nasional...sistem bank syariah yang berbagi hasil lebih adil... bla..bla..bla. Bersemangat sekali. Di tengah suasana bersemangat itu, tiba2 seorang teman yang duduk di sebelah saya, yang kebetulan bekerja di sebuah bank syariah berbisik.."sstt..perguruan tinggi-nya aja sampe sekrang ga punya rekening bank syariah tu...".

Pada kesempatan lain, saya kebetulan diundang ke sebuah acara yang lebih berkobar-kobar lagi semangatnya. Kali ini seminar mahasiswa yang dimotori oleh sebuah forum studi mahasiswa, topiknya: kehancuran sistem kapitalisme global dan kebangkita sistem ekonomi syariah. Waah hebat banget!! Seminar dibuka oleh sang "presiden" dari organisasi mahasiswa tsb..dan dibuka dengan bersama-sama meneriakkan takbir beberapa kali. Sangat menggugah semangat dan rasa bangga, bahwa kaum muda sudah sangat serius memikirkan soal ekonomi bangsa. Seminar berlangsung meriah. Tanya jawab berlangsung seru, dari yang menggugat sistem ekonomi mainstream saat ini yang dinilai telah gagal...yang menggugat sistem perbankan berbasis bunga...yang menggugat sikap pemerintah yang kurang suportif thd pengembangan ekonomi syariah dan bank syariah..dll..dll. Meriah, bersemangat dan bergelora!..Yang menarik, adalah...ketika salah satu pembicara, dari otoritas pengawas bank, di tengah presentasinya bertanya kepada para hadirin.."Hayo siapa yang sudah punya rekening di bank syariah ??..acungkan tangan.."
.....satu....dua.....tiga....dan tidak lebih dari lima orang yang mengacungkan jari..dari sekian ratus mahasiswa yang hadir...hmmm.....

Dalam sebuah forum diskusi pertemuan antar pakar ekonomi syariah dan perbankan syariah di Jakarta, yang membahas berbagai isu strategis seputar perbankan syariah. Hadir juga seorang narasumber yang sudah sangat terkenal puluhan tahun akan kepakarannya di bidang ekonomi syariah dan perbankan syariah, dan sering menjadi narasumber dalam berbagai events nasional maupun internasional tentang topik tersebut. Diskusi berlangsung sangat menarik, informatif, berkelas, dan mencerahkan.
Lebih menarik adalah ketika honorarium kepada para narasumber akan disampaikan. Teknisnya oleh panitia akan ditransfer ke rekening masing-masing. Dan seorang teman, yang juga panitia acara tersebut, datang ke saya sambil geleng-geleng kepala..."ternyata...si-Bapak itu ga punya rekening bank syariah !!..omg.." ..

Di acara televisi, banyak tokoh besar berteriak-teriak soal ekonomi syariah dan perbankan syariah. Di koran dan media cetak, banyak tokoh menulis tentang perbankan syariah. Di kampanye-kampanye, banyak tokoh dan kandidat bicara soal membesarkan ekonomi syariah dan perbankan syariah....

Tapi apakah kenyataannya seindah lisan dan kata-kata yang dihambur-hamburkan?
Sepertinya soal mengumbar kata-kata tentang hebatnya bank syariah adalah satu soal, sementara untuk menggunakan bank syariah dalam kehidupan sehari-hari..ternyata adalah soal yang lain lagi..yang membutuhkan lebih banyak pertimbangan lain lagi...driving force lain lagi..yang nampaknya lebih dalam dari sekedar jargon dan kata-kata. Sekian.

tulisan ini juga dipost di: http://sketsajanoe.blogspot.com/

Minggu

Lenong iB @ PRJ 2009....:))





Lenong iB (ai-Bi) Perbankan Syariah di PRJ 2009, a cultural approach...

Saturday, 16.00-18.00...Yadi Sembako & Mama Suhana
Sunday, 11.00-13.00.....Edrik & Maya Ekstravaganza

Bank Syariah Bukan Barang Impor


Siapa bilang perbankan syariah itu barang import dari negeri seberang? Siapa bilang bank syariah itu sesuatu yang asing yang pada suatu masa mendarat di negeri ini? Coba perhatikan lebih seksama dengan membuka mata hati dan fikiran anda. Dan cermati values proposition dari iB Perbanka Syariah ini..

Bukankah konsep "bagi hasil" sudah dikenal di nusantara ini sejak dahulu kala? Bahkan di masa-masa sebelum masuknya Islam ke negeri ini, semangat berbagi hasil ini sudah ada dan dilaksanakan sebagai sesuatu yang biasa sehari-hari. Nenek moyang kita di pulau Jawa sudah mengenal yang namanya "maro". Para pemilik tanah "berbagi hasil" dengan para saudara dan tetangganya yang mengerjakan tanah. Pemilik tanah punya bentangan tanah kosong yang bisa digarap. Ada tetangga dan saudaranya yang bersedia memberikan tenaga dan keahlian tani untuk mengolah tanah subur itu jadi padi, jagung dan palawija. Hasil panen dijual, dan hasilnya dibagi di antara mereka berdua: 50 prosen untuk pemilik tanah dan 50 prosen untuk petani penggarap. Mereka berbagi hasil...

Nelayan nusantara di sepanjang pantai negeri ini, juga tidak asing dengan istilah "bagi hasil" ini. Sehari-hari dan sudah sangat biasa, juragan yang memiliki banyak perahu meminjamkan perahunya kepada sana saudara atau tetangga untuk melaut mencari ikan. Hasil tangkapannya kemudian dibagi-hasilkan secara adil. Mereka mungkin tidak bisa baca dan tulis (pada saat itu), tapi naluri mereka mengatakan bahwa berbagi hasil adalah wujud rasa empati dan welas asih di antara mereka. Yang punya alat produksi memberi kesempatan kepada yang memiliki skill untuk menggunakan alat produksi itu, dan dua-duanga mendapat manfaat dan untung. Bagi hasil adalah warisan leluhur yang berempati dan welas asih kepada sesama...

Di daerah-daerah lain di nusantara, istilah bagi hasil itu sangat beragam tetapi memiliki semangat yang sama. Maro, mertelu (bagi hasil bertiga), belah pinang, bakongsi, dan lain lain. Semuanya sudah ada di nusantara sejak dahulu kala . Sudah sehari-hari. Sudah biasa. Bagi hasil bukan sesuatu yang alien (asing) bagi penduduk negeri ini.

Jadi, janganlah terlalu silau dan terpukau oleh istilah-istilah yang kedengaran asing dan cangih tentang bagi hasil ini. Jika bank syariah menjual produk-produknya dengan skema bagi hasil tapi dibungkus dengan istilah seperti mudharobah..atau musyarokah..atau ijaroh..yang berbau-bau timur tengah...seharusnya masyarakat jangan kagok atau minder. Itu kan cuma bungkusnya. Tapi isinya dan esensinya mah sudah PUNYA KITA sejak dahulu kala ! :) Sudah ada dan dipakai oleh anak negeri ini sejak zaman kerajaan-kerajaan besar nusantara dan pengaruh asing (termasuk timur tengah) belum mendarat di pantai-pantai negeri ini.

Bagi bank syariah, seyogianya dalam berkomunikasi bisa sadar akan hal ini. Bahwa apa yang mereka jual sekarang ini, sejatinya hanyalah "mengingatkan kembali" bahwa dulu di negeri ini ada konsep kemitraan yang sangat indah yang namanya bagi hasil, maro, mertelu, belah pinang, dan masih banyak istilah lainnya lagi. Dengan kesadaran itu, bank syariah akan bisa berkomunikasi atau berpromosi dengan lebih luwes dan lebih membumi. Musti diingat, bahwa mereka "hanya" ikutan menerapkan konsep kemitraan warisan budaya ke dalam produk-produk iB perbankan syariah. Sehingga konsep komunikasi dan promosi perlu dirancang dengan lebih "berbesar hati" dan "rendah hati" sebagai bentuk "pengakuan" terhadap warisan indah dari leluhur negeri ini..Indonesia!

Jika masyarakat menjadi paham, bahwa apa yang ditawarkan oleh iB perbankan syariah sejatinya adalah sesuatu yang sangat dekat dengan jiwa mereka, bahkan sudah mengalir di dalam darah mereka dan leluhur mereka. Jika masyarakat menjadi paham, bahwa "bagi hasil" bukanlah sesuatu yang asing (alien), bukan barang impor made in timur tengah,...maka akhirnya akan lahir kesadaran bahwa iB perbankan syariah bukan sesuatu yang asing dan bukan impor dari negeri padang pasir. Tetapi adalah bagian dari sejarah kita sendiri...disemangati oleh nilai-nilai luhur empati dan welas asih dari leluhur bangsa ini....dan oleh karena itu iB adalah juga milik ASLI negeri ini!!..

Mau Sejahtera?: a Marxist View


Karl Marx (1818-1883) mengajukan solusi bagi penderitaan dan keterasingan manusia. Dalam bukunya ini, The Economic and Philosophical Manuscripts of 1844, Karl Marx untuk pertama kalinya menorehkan pisau bedah analisisnya terhadap fenomena political economy pada tahun 1844 di Paris, yang dituangkannya ke dalam naskah Okononisch-philosophisce Manuskripte yang kemudian juga dikenal sebagai Naskah-Naskah Paris. Inilah pemikiran pertama Karl Marx tentang fenomena ekonomi dari sudut pandang dialektika-materialis, yang nanti akan menjadi landasan berfikirnya dalam menghasilkan buku-buku lainnya seperti The German Ideology (1846), A Contribution of the Critique of Political Economics (1859) dan akhirnya karya utamanya yang sangat terkenal Das Capital (1867).

Dalam buku ini, ia membongkar betapa kepemilikan pribadi (private property) adalah sebagai penyebab segala penderitaan manusia terutama buruh dan pekerja. Untuk kemudian menyimpulkan, bahwa penghapusan hak kepemilikan pribadi tersebut dan meleburnya ke dalam semangat komunal adalah satu-satunya jalan menuju pembebasan manusia.

“The abolition of private property is therefore the complete emancipation of all human senses and qualities..”

Melalui naskah Paris 1884 ini, yang terbagi ke dalam tiga manuskrip, Karl Marx menyampaikan analisisnya tentang penderitaan manusia berupa keterasingan (estrangement) dalam sistem ekonomi kapitalis, dan bahwa kepemilikan pribadi (private property) merupakan sumber penyebab keterasingan tersebut sehingga harus dihapus dalam rangka menghilangkan penderitaan manusia. Hanya di bawah sistem komunis, manusia akan menemukan kembali kemanusiaannya secara sempurna dan kekuasaan uang atas kemanusiaan akan dapat dilenyapkan.

Dalam manuskrip pertama, Karl Marx menganalisis secara sangat mendalam dan filosofis tentang hakikat manusia dan bagaimana manusia seharusnya diperlakukan dalam sebuah sistem ekonomi dan produksi. Dengan sangat tajam Karl Marx menunjukkan, bahwa di bawah sistem ekonomi kapitalis manusia mengalami empat jenis keterasingan yaitu: keterasingan manusia dari pekerjaanya, keterasingan manusia dari produk hasil pekerjaannya, keterasingan manusia dari identitas kemanusiaannya (species-being), dan keterasingan manusia dari manusia lainnya. Lebih jauh lagi, Marx bahkan menyimpulkan bahwa tujuan akhir dari sistem ekonomi kapitalis pada akhirnya adalah penderitaan manusia.

“Since, however, according to Smith, a society is not happy, of which the greater part suffers –yet even the wealthiest state of society leads to this suffering of the majority- and since the economic system (and in general a society based on private interest) leads to this wealthiest condition, it follows that the goal of the economic system is the unhappiness of society.”

Bagi mereka yang sedang gandrung (bahasa Jawa: jatuh cinta) dengan segala hal yang bernuansa ekonomi kerakyatan atau ekonomi wong-cilik atau perjuangan kelas buruh dan pekerja atau marhaen atau proletariat, maka buku ini menjanjikan pengobatan bagi hati yang sedang menderu-deru. Memang diperlukan keseriusan dalam membacanya, karena tulisan Karl Marx ini sangat mendalam secara filosofikal terutama saat ia membedah persoalan tentang siapa manusia dan hubungannya dengan pekerjaan, kepemilikan tanah serta modal. Bagi mereka yang tidak terbiasa membaca literatur-literatur falsafi, maupun mereka yang sekedar mencari bacaan ringan, tentu akan merasa sedang mengarungi samudera dengan gelombang demi gelombang yang sangat sukar untuk dilewati saat membaca buku ini.

Namun kesulitan perjalanan itu akan menjadi pengalaman yang sangat berharga, karena di akhirnya ketika menyelesaikan membaca buku ini –meski dengan sangat perlahan- dan memahami bagian demi bagiannya, akan memberi anda pemahaman yang sangat mendasar tentang inti pemikiran Karl Marx. Pemikiran Marx yang nantinya akan menjadi benih bagi banyak perjuangan kelas buruh dan pekerja di seluruh dunia, serta cikal-bakal bagi lahirnya salah satu ideologi paling berpengaruh di berbagai belahan dunia: komunisme.

.

Mau Sejahtera?: a Liberal-Sosialist View




Bagaimanakah tata pemerintahan yang adil itu? Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi? Dan prinsip-prinsip apa yang harus ia tegakkan? Sehingga pemerintahan itu mampu mengayomi rakyat yang dipimpinnya secara adil dan menjadi lebih sejahtera?

Dalam merumuskan teori keadilannya (theory of justice), John Rawls (1921-2002) berangkat dari pengandaian tentang adanya suatu posisi awal (original position) dari masyarakat. Di mana dalam posisi tersebut, manusia berada pada kondisi yang paling murni dan tulus serta tidak sadar akan berbagai perbedaan di antara mereka satu sama lain. Di balik “cadar ketidaktahuan” (veil of ignorance) tersebut, dan hanya dengan sedikit pengetahuan dasar tentang sarana primer yang ia butuhkan (a thin theory of the good, primary goods), manusia kemudian diminta untuk merumuskan dan menyepakati prinsip-prinsip keadilan.

Sebagai hasil dari proses prumusan yang –dipercaya- tidak bias itulah, maka Rawls memperoleh dua prinsip dasar sebagai landasan bagi perumusan sistem tata negara dan pemerintahan yang menjamin terbentuknya masyarakat yang bekeadilan. Dua prinsip dasar itu adalah:

(1) Setiap orang memiliki hak yang sama untuk menikmati seluas-luasnya sistem menyeluruh dari kebebasan dasar yang sama, yang sesuai dengan sistem kebebasan bagi semua. Prinsip ini disebut juga sebagai “the principle of greatest equal liberty” atau prinsip kebebasan (liberty principle).
(2) Kesenjangan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga:
a. Menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi orang yang paling kurang beruntung. Disebut juga prinsip perbedaan (difference principle)
b. Melekat pada jabatan dan posisi pemerintahan yang terbuka bagi semua orang berdasarkan prinsip kesempatan yang sama dan adil. Disebut juga prinsip kesamaan kesempatan (fair opportunity principle)

Menurut Rawls, prinsip kebebasan adalah yang paling utama. Prinsip kesamaan kesempatan merupakan perpanjangan dari prinsip kebebasan ini, misalnya kesamaan kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai proses politik dan tata pemerintahan.

Kesejahteraan harus dirasakan oleh seluruh masyarakat secara merata. Kesenjangan sosial dan ekonomi hanya diperbolehkan terjadi apabila kesenjangan tersebut berpihak kepada kelompok masyarakat yang paling lemah (the least advantaged). Dalam konteks inilah, maka intervensi negara diperlukan untuk menjamin bahwa dinamika masyarakat selalu berjalan dalam koridor prinsip kedua tersebut. Keputusan politik harus dirumuskan untuk “mengawal” masyarakat, dan keputusan tersebut harus dirumuskan atas dasar prinsip maximin (maximize the minimum)…dengan sangat berhati-hati dan sangat konservatif. Kebijakan politik tidak boleh menempatkan kesejahteraan rakyat pada posisi beresiko tinggi, maka yang lebih utama adalah progress secara sedang-sedang saja bagi rakyat seluruhnya (average utilitarian theory of justice).

Fakta di depan mata: Konsentrasi kekayaan dunia saat ini berada di tangan segelintir warga dunia di negara-negara besar, sementara itu sebagian besar warga dunia masih terjebak dalam kemiskinan. Kesenjangan terus berlangsung selama dua dekade terakhir, dan tetap mewarnai ekonomi global dengan gambaran suram dan memprihatinkan. Dalam perekonomian domestik sendiri, kesenjangan sosial dan ekonomi di antara warga negara terus terjadi dan terlihat semakin parah. Jurang antara “the have” dan “the have not” semakin dalam dan melebar.

Nampaknya tindakan bebas (free action) dari manusia-manusia -individu pelaku ekonomi, spekulan finansial, raja-raja korporasi, pemilik Multi National Companies /MNCs, rent seekers- yang mengejar kesejahteraannya secara sendiri-sendiri, semakin tenggelam dalam ketamakan dan kerakusan. Dihadapkan kepada kenyataan demikian, maka prinsip keadilan Nozicks –bahwa masyarakat yang berkeadilan dapat diciptakan oleh pasar bebas (free market) dan perbedaan kesejahteraan adalah wajar- menjadi terlihat semakin terlalu optimistik dan naif.

Dalam dominasi tindakan bebas individu yang egoistis seperti ini, semakin besar kelompok masyarakat yang termarginalkan (least advantaged) dan semakin hilang suara mereka merintihkan penderitaannya yang seakan tak kunjung berakhir. Dalam kondisi demikian, menurut hemat penulis penerapan prinsip keadilan John Rawls yang mendasarkan diri kepada prinsip kebebasan yang berdimensi sosial (liberalis-sosialis) nampak lebih menjanjikan. Negara menghargai kebebasan individu dalam kepemilikan sumber daya, namun pada saat yang sama negara melakukan intervensi yang perlu untuk menjamin kemanfataan yang seluasnya dari pengelolaan sumber daya tersebut bagi masyarakat seluruhnya (terutama masyarakat yang paling lemah), serta menjamin kesempatan yang setara bagi seluruh masyarakat dalam berbagai kegiatan perekonomian

..

Mau Sejahtera? : a Liberalist View




Bagi Robert Nozick (1938-2002), yang seorang libertarian/liberalis-ekstrim, masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera adalah masyarakat yang justru terbentuk dari peran minimal intervensi negara di dalamnya (minimal state). Tugas negara cukuplah sebagai penjamin sistem hak milik pribadi, dan menarik pajak secukupnya. Sementara itu, distribusi sumber daya harus diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar bebas (free market), dan kepada masyarakat sendiri melalui mekanisme donasi maupun hadiah secara sukarela di antara mereka sendiri. Upaya untuk mengutamakan prinsip kebebasan, pada saat yang sama akan menggugurkan prinsip perbedaan, karena prinsip kebebasan mengisyaratkan tidak adanya pembatasan bagi hak kepemilikan individu. Kebijakan intervensi negara dalam rangka “fine tuning” distribusi/alokasi sumber daya/hak milik/kesejahteraan individu, yang berarti adanya pembatasan bagi transaksi-transaksi tertentu, adalah justru bertentangan dengan prinsip kebebasan yang dikemukakan Rawls.

Lebih jauh lagi Nozicks berpendapat, bahwa perbedaan kesejahteraan yang terjadi tidak boleh dipandang sebagai ketidakadilan namun mesti dilihat dari bagaimana proses terjadinya (historical theory of justice). Perbedaan kesejahteraan yang terjadi merupakan hasil dari perbedaan kemampuan individu (ability) dalam mengolah sumberdaya yang ia miliki. Bisa jadi, dua orang diberikan sumber daya yang sama, namun berakhir dengan tingkat kesejahteraan ekonomi yang berbeda karena perbedaan kemampuan dan keahlian. Dan bagi Nozicks fenomena itu adalah wajar-wajar saja dan tidak boleh dinilai sebagai ketidakadilan. Dengan demikian tidak ada “pola” keadilan yang bisa dijadikan pedoman oleh negara yang berniat ikut campur, misalnya apakah “bagi tiap orang menurut kebutuhannya, atau statusnya, dll”.

Dan oleh karena itu negara tidak memiliki kemampuan untuk melakukan “fine-tuning” distribusi/alokasi kesejahteraan yang diimpikannya. Tindakan bebas (free action) manusia-manusialah dalam pasar bebas (free market) yang akhirnya menentukan kesejahteraan manusia .