Minggu

Merah Yang Membakar

Ia baru berusia balita ketika Kartini menyeru-menyeru dari balik tembok kadipaten Jepara, dan usianya baru sebelas tahun ketika perkumpulan Budi Utomo didirikan oleh para mahasiwa sekolah dokter Jawa Stovia di Jakarta. Pada saat itu di kampung kelahirannya, Nagari Pandan Gadang di lembah Suliki di Payakumbuh Sumatera Barat, tanam paksa komoditi kopi baru saja berakhir dan diganti dengan kewajiban membayar pajak kepada kolonial Belanda. Tak banyak yang ia ketahui tentang keadaan negeri ini, dan tak terlalu tinggi cita-citanya ketika pada Oktober 1913 ia berangkat melanjutkan sekolah ke Rijks Kweekschool di Harleem-Belanda untuk menjadi guru sepulangnya nanti. Tetapi..tiga belas tahun kemudian,…dialah seorang perintis kemerdekaan yang berwawasan paling luas, seorang perancang Republik yang berfikiran paling tajam, dan seorang penuntut kemerdekaan yang paling tegas dan tak tergoyahkan.


Tan Malaka (1897-1949), terlahir bernama Ibrahim dan kemudian memangku gelar Datuk Tan Malaka di usia remajanya. Separuh hidupnya ia jelajahi jatuh-bangun di berbagai negeri dunia: sebelas negeri di dua benua. Yang menjadikannya seorang anak dari semua bangsa…dengan penguasaan tujuh bahasa (Belanda, Russia, Jerman, Inggris, Mandarin, Tagalog, dan Indonesia). Yang menyerap pengetahuan, pengalaman, semangat dan turut aktif dalam perjuangan rakyat di banyak negeri untuk membebaskan diri mereka dari himpitan penindasan kolonial-imperialis Inggris di India, Spanyol dan Amerika di Filipina…maupun penindasan kaum aristoktrat-feodalis-borjuasi di negeri-negeri Asia Timur dan Rusia. Tan Malaka menjadi tokoh paling tak disukai oleh para penjajah imperialis, dicari dan dikejar-kejar melintasi batas negara-negara oleh polisi rahasia, sehingga ia harus bergerak seperti bayangan malam dengan setidaknya 23 nama samaran (Alisio Rivera, Elias Fuentes, Ossorio, Ong Song Lee, Tan Ming Sion, Cheung Kun Tat, Howard Law, Hasan Gozali, dll..). Sebuah “gaya hidup” yang exotic sekaligus sophisticated jika kita membayangkannya seperti film-film spy James Bond jaman kini. Bedanya, Bond mengabdi kepada Sri Ratu kerajaan Inggris, sementara Tan Malaka mengabdi kepada seluruh rakyat bangsa-bangsa yang berjuang membebaskan diri dari kolonial-imperialis –termasuk Inggris- di seluruh dunia.


Pemikiran-pemikiran Tan Malaka sejak awal hari telah menjadi panduan bagi Soekarno sang proklamator dan para perintis kemerdekaan di tanah air. Dan di kemudian hari Panglima Besar Jenderal Soedirman pun mengaguminya. Dengan kedalaman pengetahuannya tentang karakter masing-masing penjajah kolonial di berbagai belahan dunia, termasuk tentang Belanda, Tan Malaka tahu bahwa kebebasan tanah airnya dan kesejahteraan rakyat negerinya tak mungkin akan diberikan cuma-cuma atas kebaikan hati Belanda..


“Tatkala Belanda mengarahkan kapal pembajaknya ke Indonesia, waktu itu negeri mereka hanyalah negeri tani dan tukang warung kopi kecil-kecil…Dengan keberanian dan kemauan seorang bajak laut serta ketamakan seorang tukang warung kopi yang kecil, habislah sekalian hasil negeri Indonesia dirampasnya…Bagaimana mungkin kita harapkan pemerintahan bijaksana dari bajak laut, tukang warung kecil ini ! (Massa Actie,Tan Malaka,1926)


Tan mengingatkan, bahwa perubahan kebijakan kolonial Belanda di awal abad keduapuluh (politik etis dan industrialisasi Jawa) sesungguhnya semata-mata untuk kepentingan monopoli para pedagang dan pengusaha swasta Belanda dan tidak menyisakan apapun bagi perekonomian bumiputera. Dan bahwa harapan bumiputera, baik mereka yang menyeru-nyeru dari dalam negeri Belanda maupun dari Hindia Belanda (termasuk Budi Utomo dan Kartini), akan kebaikan hati Belanda untuk meningkatkan taraf pendidikan bumiputera sehingga sama derajatnya antara penjajah dan anak-jajahannya….adalah harapan sia-sia!


“Masih saja ‘pemerintah tani dan tukang warung’ Belanda takut kepada universitas dan sekolah tinggi seperti kepada hantu…Tetapi, selain duit yang bagi seorang Belanda lebih berat timbangannya daripada cita-cita dan alasan politik, ada pula pandangan politik lain yang tak dapat kita harapkan dari si Belanda tani dusun yang dungu itu….’Bangsa Indonesia, harus tetap bodoh supaya ketentraman dan keamanan umum terpelihara’ “.(Massa Actie, Tan Malaka, 1926).


Bagi Tan Malaka, kebebasan harus direbut dengan paksa! Kesejahteraan dan pendidikan harus diperjuangkan dengan kekuatan sendiri. Kemerdekaan harus seratus persen dituntut dan direbut dari tangan penjajah Belanda. Kemerdekaan setengah-setengah tak bisa diterima. Tak ada kerjasama. Tak ada kompromi. Yang diperlukan adalah..revolusi !


“Kepada kaum intelek kita serukan…Tak terdengarkah olehmu, teriakan massa Indonesia untuk kemerdekaan yang senantiasa menjadi semakin keras?” (Naar de Republiek Indonesia, Menuju Republik Indonesia, Tan Malaka, 1925)


“..dengan jalan revolusi dan perang kemerdekaan nasionallah (yang dapat dimasukkan dalam revolusi sosial!), maka sekalian negeri besar dan modern tanpa kecuali, melepaskan diri dari kungkungan kelas dan penjajahan…Satu kelas dari suatu bangsa yang tidak mampu mengenyahkan peraturan-peraturan kolot serta perbudakan melalui revolusi, niscaya musnah atau terkutuk menjadi budak abadi. Revolusi adalah mencipta!(Massa Actie, Tan Malaka, 1926)


Tanggal 26-28 Oktober 1928, ketika Indonesische Studieclub menggelar Kongres Pemuda Indonesia....Wage Rudolf Soepratman, memainkan lagu ciptaannya: Indonesia Raya. Sebuah lagu yang terinspirasi dari tulisan Tan Malaka di penutup buku Massa Actie-nya:


Di sanalah tempatmu pemimpin-pemimpin revolusioner!...tegakkanlah mereka yang lemah…bangunkan yang tidur, suruh berdiri…;itulah kewajiban seorang yang tahu akan kewajiban seorang putra tumpah darahnya. Di situlah tempatmu berdiri dan berdiri…seorang putra Tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah….” ..

..

Tidak ada komentar: