Sabtu

Ekonomi Rakyat siapa yang punya?...

Harus diakui pertanyaan yang bertubi-tubi tentang ekonomi rakyat seperti ini bersumber pada salah mengerti bahwa seakan-akan konsep ekonomi rakyat ini ditemukan dan diperkenalkan oleh Adi Sasono atau Mubyarto atau Sajogyo, dan alasan pengenalannyapun tidak ilmiah tetapi hanya untuk tujuan politik yang ”populis”, yaitu untuk ”memenangkan pemilu”.

Mudah-mudahan akan jelas bagi kita semua bahwa istilah ekonomi rakyat adalah istilah ekonomi sosial (social economics) dan istilah ekonomi moral (moral economy), yang sejak zaman penjajahan dimengerti mencakup kehidupan rakyat miskin yang terjajah. Bung Karno menyebutnya sebagai kaum marhaen.

Jadi ekonomi rakyat bukan istilah politik ”populis” yang dipakai untuk mencatut atau mengatas namakan rakyat kecil untuk mengambil hati rakyat dalam Pemilu.

Ekonomi Rakyat adalah kegiatan atau mereka yang berkecimpung dalam kegiatan produksi untuk memperoleh pendapatan bagi kehidupannya. Mereka itu adalah petani kecil, nelayan, peternak, pekebun, pengrajin, pedagang kecil dll, yang modal usahanya merupakan modal keluarga (yang kecil), dan pada umumnya tidak menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga. Tekanan dalam hal ini adalah pada kegiatan produksi, bukan konsumsi, sehingga buruh pabrik tidak masuk dalam profesi atau kegiatan ekonomi rakyat, karena buruh adalah bagian dari unit produksi yang lebih luas yaitu pabrik atau perusahaan. Demikian meskipun sebagian yang dikenal sebagai UKM (Usaha Kecil-Menengah) dapat dimasukkan ekonomi rakyat, namun sebagian besar kegiatan ekonomi rakyat tidak dapat disebut sebagai ”usaha” atau ”perusahaan” (firm) seperti yang dikenal dalam ilmu ekonomi perusahaan.

Jika disadari bahwa buku Smith tahun 1759 berjudul The Theory of Moral Statements, padahal kita hanya mengajarkan ke pada mahasiswa kita buku ke duanya yaitu The Weath of Nations (1776), kiranya kita para dosen ilmu ekonomi harus mengaku ”berdosa” atau paling sedikit mengakui kekeliruan kita.

Mengapa mahasiswa ekonomi hanya memahami manusia sebagai ”homo ekonomikus”, dan bukan sebagai ”homo moralis” atau ”homo socius” ? Itulah, karena ilmu ekonomi kita ajarkan sebagai ilmu yang super spesialistik, yang matematik, sehingga sifatnya sebagai ilmu sosial menjadi hilang. Memang Kenneth Boulding telah berjasa mengingatkan bahwa ilmu ekonomi dapat dipelajari sebagai : (1) ilmu ekologi; (2) ilmu perilaku; (3) ilmu politik; (4) ilmu matematik; (5) ilmu moral.

Tetapi berapa banyak di antara kita yang membahasnya atau menyinggung di ruang kuliah sebagai ilmu moral? Sangat sedikit, karena kita lebih suka menganggap ilmu ekonomi sebagai ilmu positif (positive science), dan cenderung mengejek ekonom lain yang mengajarkannya sebagai ilmu yang normatif (normative science). Terhadap konsep Ekonomi Pancasila yang pernah mencuat di wacana nasional, ada Ekonom Senior kita yang mengejek bahwa “tidak ada gunanya mengajarkan ilmu surga di dunia”

Karena tidak banyak manfaatnya lagi mengingatkan kritik-kritik radikal terhadap ilmu ekonomi seperti Paul Ormerod dalam The Death of Economics (1994), (karena buku seperti ini pasti sudah ”disingkirkan” sejak awal), maka buku klasik Kenneth Boulding diatas kiranya lebih tepat untuk dikutip.

Our graduate schools may easily be producing a good deal of the ”trained incapacity”, which Veblen saw being produced in his day, and this is a negative commodity unfortunately with a very high price.(Boulding, Kenneth, E. Economics as a Science, Tata McGraw-Hill, Bombay 1970, op. cit.hal 156)

Kami sangat khawatir kita tidak terlalu peduli apakah sarjana-sarjana ekonomi yang kita hasilkan akan merupakan ”trained incapacity” atau bukan? Mudah-mudahan melalui diskusi-diskusi ini makin banyak dosen di fakultas-fakultas ekonomi yang tersadar, berpikir, dan menjadi peduli pada misi pendidikan kita sekarang dan di masa depan. Jika tidak kita patut bertanya, Quo Vadis Fakultas Ekonomi Kita?

Prof. Dr. Mubyarto : Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM dan Ketua Yayasan Agro Ekonomika http://www.ekonomirakyat.org/edisi_1/artikel_2.htm

.

Tidak ada komentar: