Jumat

Menjadilah Sekuler ! ...

Ketika pemerintah membangun jembatan, maka siapapun bisa dan boleh menggunakan jembatan itu untuk mencapai tujuan perjalanannya masing-masing. Pemerintah ndak pernah menanyakan apa pangkatnya, dari mana asal sukunya, dan bagaimana ia menghayati ketuhanannya. Semuanya boleh lewat. Tidak relevan untuk menanyakan status keagamaan seseorang yang ingin merasai nikmatnya melalui jembatan. Tidak relevan juga untuk menanyakan apakah orang proyek yang membangun jembatan itu adalah orang-orang beragama atau bahkan bertuhan atau tidak. Semuanya boleh memaknai “fenomena duniawi” tersebut (membangun jembatan, menyeberangi jembatan) dengan mekanisme ruhaniah masing-masing. Semuanya boleh dan bisa berpartisipasi dan tidak relevan membicarakan apa agamanya atau punya agama atau tidak. Dalam terminologi filsafat, pengakuan makna duniawi semacam itu (yang sehari-hari kita lakukan tanpa sadar) dikatakan secara semantik sebagai sekularisasi. Bedakan dengan “sekularisme”, yang merupakan pandangan bahwa yang mutlak itu adalah semua yang bersifat duniawi. Sekularisme menolak penghayatan secara non-duniawi karena yang mutlak adalah yang nampak di dunia ini. Bagi sekularisme, ndak udah dicari-cari makna spiritualnya. Dunia ya dunia.

Sekularisasi bukan sekularisme. Sekularisasi tidak menolak spiritualitas maupun hal-hal yang berbau religiositas. Justru sekularisasi “menghidupkan” keimanan untuk bisa dinikmati oleh banyak orang. Sekularisasi membongkar tembok-tembok keangkuhan agama yang eksklusif…dan menyambungkan antara apologia iman (sikap manusia kepada Tuhan-nya) dengan praksis humanisme (pengakuan thd nilai serta martabat manusia). Sekularisasi menjadikan nilai-nilai agama menjadi seperti garam…membuatnya meresap dalam berbagai kegiatan kehidupan, membuatnya enak, namun tidak membeda-bedakan siapa yang memasaknya….dan sajiannya bisa dinikmati oleh siapapun yang menyeruputnya.

Maka, berimanlah..dan menjadilah sekuler !....

.

Tidak ada komentar: