Rabu

Timur dan Barat

Di Timur maupun Barat, upaya untuk menjawab berbagai persoalan baik-buruk, benar-salah, dan etika seringkali terjebak dalam dilema yang tak terpecahkan akibat banyaknya interpretasi atas ukuran “kebenaran”, atas ukuran “baik” dan “buruk”. Bahkan klaim sebagai pemilik kebenaran dengan membawa-bawa kalimat wahyu Tuhan tak pula luput dari tuntutan untuk mempertanggungjawabkan, apakah ia benar “kalimat Tuhan” (yang mewakili kehendak Tuhan) atau hanya sekedar interpretasi miring dan subyektif dari si pembawa berita demi mengukuhkan “kebenaran subyektif”-nya semata (yang mewakili kehendaknya sebagai pribadi/kelompok/golongan)?

Disinilah kita diajak untuk membuka diri terhadap berbagai interpretasi “yang lain”, bukan cuma interpretasi kita sendiri. Berfikir secara terbuka, kritis dan menyeluruh, dan bukan cuma parsial. Kita diajak untuk membuka kesempatan bagi siapa saja untuk melakukan diskursus (dialog), menjelajahi ragam interpretasi, perspektif, point-of-view, pemikiran-pemikiran tentang apa yang baik-buruk, apa yang benar-salah. Studi Metaethics dari filsafat, misalnya, mengajak kita untuk bertanya secara kritis tentang “apa sebenarnya baik dan buruk itu?”, “dari mana ukuran baik dan buruk itu?”, “bagaimana kebenaran didefinisikan?” dan “kepada siapa nilai baik-buruk itu diterapkan?”. Sebuah suku di satu sudut belahan dunia, meletakkan orangtuanya yang sudah sangat sepuh di luar rumah dalam kondisi kedinginan yang ekstrim. Sbg tanda rasa penghormatan yg sangat tinggi kepada orangtua, maka orangtua yang sudah sangat sepuh “dihantarkan” kepada kematiannya yang dingin dan tenang…. Salahkah? Benarkah? Baikkah? Burukkah?

Kita diajak untuk membuka mata kita, dan menyaksikan bahwa di barat maupun di timur,…dengan ataupun tanpa kitab suci, di atas daun lontar maupun tulisan dalam penjelajahan logika dan pemikiran…terhampar beragam pemikiran (yang seringkali bertolak-belakang satu sama lain) yang ditawarkan sebagai jawabannya:

ada yang bilang bahwa benar-salah, baik-buruk adalah masalah perasaan orang perorang semata (ethical subjectivism), bahwa benar-salah baik-buruk adalah semata ekspresi perasaan (emotivism), bahwa kebaikan adalah suatu perilaku yang tidak mungkin diharapkan dari individu yang sejatinya hanya mementingkan dirinya sendiri (psychological egoism dan ethical egoism), bahwa apa yg “baik” dan apa yg “benar” adalah sebuah keniscayaan dari rasionalitas (Kantianism), bahwa apa yg “baik” adalah perilaku dalam rangka memaksimalkan kebahagiaan (utilitarianism), bahwa kebaikan dan kebenaran adalah karakteristik-karakteristik utama yang azali pada setiap manusia (virtue ethics).

Mereka yang kental beragama mengatakan, bahwa yang benar dan yang baik adalah apa yang dikatakan oleh Tuhan sebagai yang benar dan baik. Tetapi sekali lagi,..apa yang sebenarnya dikatakan oleh Tuhan? Siapa yang bisa mengklaim bhw dirinya menyuarakan kata-kata Tuhan?

Di antara belantara pemikiran seluas itu, kemudian dapatkah kita secara mudah mengatakan apa yg baik dan apa yg buruk? Dan kemudian dengan penuh keyakinan menyajikan kesimpulan tersebut kepada peradaban manusia sebagai basis tindakan, landasan kebijakan dan sumber tatanan nilai? Sepertinya dengan rendah hati kita harus mengakui, bahwa tak semudah itu bukan?....

.

Tidak ada komentar: