Jumat

Tuhan Yang Terasing dan Agama Manusia-Manusia

Tak perlu malu untuk mengakui bahwa dihadapkan pada perubahan layar peradaban, agama-agama menjadi tergagap akan peran seperti apa yang harus dimainkannya? Ketika layar semakin diwarnai oleh pertautan warna-warna budaya yang lebih beragam, yang masing-masingnya memberi keindahan...tak lagi mudah untuk menyebut satu warna saja sebagai warna yang paling betul. Semuanya berkelindan satu sama lain, apakah pada persentuhan, persilangan maupun dalam percampuran. Ketika langgam globalisasi yang dimainkan menjadi lebih menyeragam di penjuru bentangan layar, maka penghayatan kehidupan dan penghayatan ketuhanan justru menjadi semakin individualis -atau bahkan narsistis-. Dalam interaksi yang semakin tak berbatas di antara mereka, manusia-manusia semakin sadar akan segenap potensi dirinya dan kemampuan eksplorasi nalarnya. Dalam kondisi seperti itu, maka setiap upaya penyeragaman nilai-nilai moral (sebagai hasil rumusan interpretasi subyektif dari sebagian mereka yang merasa memiliki otoritas moral) senantiasa dihadapkan kepada interpretasi-interpretasi subyektif lain yang berbeda (bahkan bertentangan). Pemaksaan interpretasi tunggal sebagai sebuah kebenaran mutlak menjadi semakin sulit dilakukan akhir-akhir ini :)..

Dan ketika para penafsir kata-kata Tuhan kemudian mengambil sikap apriori terhadap arus perubahan ini, dengan justru semakin membangun tembok-tembok tinggi -demi membela kemuliaan Tuhan-, maka agama-agama semakin kehilangan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari manusia. Di waktu-waktu ritual, agama seakan menguasai para penganutnya. Mendera mereka dengan hujatan-hujatan terhadap arus modernitas dan keberagaman. Mengingatkan akan ketidakmampuan nalar manusia berhadapan dengan keMaha Sempurnaan dan ke Mahapengetahuan Tuhan. Tak ada lagi yang perlu diperdebatkan ataupun diperbaiki dari ajaran-ajaranNya! Di waktu-waktu hari raya keagamaan, agama seakan meraja. Namun di waktu-waktu lainnya, agama tak pernah diinginkan hadir karena tak terlihat memberikan apa-apa yang bermanfaat bagi kemajuan. Di ruang-ruang peribadatan, semua kepala tunduk mendengarkan "kebenaran" ini dan "kebenaran" itu, "itu tidak benar", "ini paling benar". Namun segala hukum dan fatwa semakin tak pernah masuk lebih jauh dari gendang telinga. Meminjam terminologi ilmu ekonomi, terjadi fenomena decoupling antara ajaran dan realita.

Ajaran semakin (dirasa) tak relevan diterapkan dalam realita. Tuhan seakan tak lagi hadir memberi jalan keluar bagi kemiskinan, penderitaan, perang dan genocide. Fatwa, yang mengklaim dirinya sebagai "kata-kata Tuhan" semakin menjauh dari kenyataan hidup yang dihadapi oleh manusia modern, sehingga kehilangan wibawanya. Atau malah semakin diabaikan dengan diam-diam, tanpa harus merasa bersalah dan berdosa.

Ketika fatwa dirumuskan secara "gampangan" dan soo far away dari kenyataan kehidupan yang dihadapi sehari-hari....ketika agama menjadi semata lembaga kumpulan "koleksi kebenaran" yang beku, tak mau mendengarkan dan tak mau tahu....maka semakin hari agama akan semakin kehilangan relevansinya sebagai sebuah pedoman apalagi penuntun hidup manusia modern. Agama yang tak bersedia berubah...cuma akan menjadi "agama-nya Tuhan", tetapi ia berhenti menjadi agama-nya manusia-manusia.

Tak heran jika kegemasan akan irelevansi "agama Tuhan" dengan permasalahan kompleks yang dihadapi oleh manusia modern tersebut sempat memuncak di tahun 60-an, dengan lahirnya sebuah gerakan pemikiran berlabel "God is dead theology"! Bahkan majalah terkemuka dunia, TIME, pada saat itu (edisi 22 Oktober 1965) menampilkan sebagai sampul mukanya secara sangat mencolok dalam huruf kapital..."Is God Dead?".... ( http://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,941410-1,00.html )

Tentu saja, statement itu tidak boleh dimaknai secara harfiah begitu saja. Gerakan tersebut sama sekali tidak bertujuan untuk menolak Tuhan (ataupun "mematikan" Tuhan secara fisikal) dan menggantinya dengan manusia sebagai Ilah baru. Bukan. Yang mereka perjuangkan, adalah mengembangkan paham ketuhanan dalam tataran dunia manusia.

"Tuhan yang asing" dari permasalahan manusia "dimatikan", dan digantikan dengan "Tuhan yang hidup bersama manusia" dan secara bersama-sama merasakan segala penderitaan manusia dan ikut berpartisipasi menyembuhkannya.

..

Tidak ada komentar: