Jumat

the Body is vanishing, but the Self is not

Bagi manusia, kematian adalah suatu momen yang bersifat pasti dan tak terelakkan. Pada saat itu segala apa yang telah diusahakan, yang sedang dilakukan dan yang direncanakan, seketika dihentikan secara paksa oleh kematian yang datang dengan tiba-tiba. Dalam kata-kata Martin Heidegger (1889-1976), seorang filsuf Jerman, kematian adalah “berakhirnya kemungkinan” atau “ketidakmungkinan dari kemungkinan”. Dan baginya kematian merupakan bagian tak terpisahkan dari struktur ontologis eksistensi manusia, sehingga dapatlah dikatakan bahwa eksistensi manusia adalah “ada-menuju-kematian” (Sein-zum-Tode).

Dihadapkan pada kenyataan pasti datangnya kematian tersebut, seseorang bisa memilih bagaimana mensikapinya. Ia bisa meratapi hidupnya yang menjadi terbatas dan menjalaninya dalam kecemasan, ketakutan dan frustasi. Sebagian orang mencoba menggugat kenyataan dengan mengatakan bahwa kematian menyebabkan kebebasan manusia menjadi absurd, sebagaimana diungkapkan oleh A. Camus (1913-1960), yang kemudian melahirkan rasa ketidakberartian dalam hidup. Atau ia bisa menerimanya dengan sadar, untuk kemudian menjalani “jatah” umurnya dengan menghayati hidupnya dan mencoba memberinya makna, baik bagi dirinya maupun bagi yang lain di sekitarnya sebagaimana ditawarkan oleh T.G. Dobzhansky (1900-1975). Yang manapun yang ia pilih, yang pasti kematian akan tetap menjemputnya.

Lantas apakah sesudah mati manusia akan lenyap? Berbagai pemikiran filsafat telah menunjukkan bahwa manusia terdiri dari tubuh dan jiwa, bahwa manusia adalah “roh-yang-bertubuh”. Manusia tidak dibangun hanya dari tubuh fisiologis, sehingga manusia bukanlah proses alamiah semata. Manusia adalah puncak dari seluruh proses evolusi kosmos, sebagaimana diuraikan oleh Teilhard de Chardin (1881-1955), dimana pada manusia tercapai titik tertinggi dari ekspresi energi positif dan kesadaran semesta.

Seluruh pengalaman refleksi, pengalaman antar subyektif, pengalaman akan nilai-nilai kebenaran, pengalaman kebebasan, pengalaman transendensi dalam berbagai aspek kehidupan, terakumulasi sepanjang proses “menjadi”-nya dan terekam dalam dimensi kesadaran manusia yang metahistoris dan abadi. Dengan ciri temporalitasnya, manusia pun memiliki kemampuan untuk “melepaskan diri” dari penjara waktu dan “hidup abadi” dengan cara mentransendir kekiniannya menjadi sebuah eksistensi yang otentik. Meninggalkan legacy, menjadi tokoh dan menyejarah. Sejatinya, manusia memiliki dimensi kesadaran yang akan terus ada bahkan setelah kematian tubuh kasarnya. The body is vanishing, but” the Self” is not.


In memoriam of my father, MDP, a truly fighter
31 July 1942~ 13 July 2008

..

Tidak ada komentar: