Minggu

Bank Syariah Tidak Menggandakan Uang?...Ah Masaa ?!..

Pernyataan itu mengusik nalar saya, ketika pada sebuah forum diskusi keilmuan seorang narasumber yang terpelajar dengan menggebu-gebu menyatakan bahwa kelebihan bank syariah dalam konteks makro-moneter adalah “tidak ada multiplier effect dari bank syariah!”. Bahwa, katanya, “tidak terjadi penggandaan uang oleh bank syariah”…dan “bank syariah tidak menciptakan uang”..”tidak ada money creation” sebagaimana yang dilakukan oleh sistem perbankan yang lain. Hmm….benarkah?..

Kenapa kita membutuhkan uang? Berbagai ragam motivasi kita. Uang yang ada di dalam dompet kita, kita perlukan untuk membayar karcis busway misalnya. Atau untuk mbayar jasa ojek motor atau bertransaksi membeli sesuatu Uang yang kita selipkan di bawah bantal atau di dalam koper, misalnya untuk berjaga-jaga (precaution) jika ada sesuatu yang darurat, sehingga kita punya uang cash sebagai pegangan. Uang di celengan ayam kita, uang yang ada di rekening tabungan kita, bisa jadi dalam rangka kita menumpuk uang (hoarding dan spekulasi) supaya kelak bisa beli motor baru atau rumah.

Di bank sentral sbg otoritas moneter, setidaknya dicatat tiga motivasi besar kenapa masyarakat memegang uang: transaction motives (misalnya sebesar X triliun rupiah), precautionary motives (sebesar Y triliun), dan speculative & hoarding motives (sebesar Z triliun). Sehingga total kebutuhan likuiditas yang harus disediakan oleh otoritas moneter adalah (X+Y+Z) triliun.

Bagaimana kemudian likuiditas sebesar (X+Y+Z) triliun rupiah itu dapat disediakan oleh otoritas moneter? Apakah kemudian otoritas moneter harus mengeluarkan uang cash dari khazanahnya sebanyak (X+Y+Z) triliun tersebut seluruhnya? Sehingga semua orang yang membutuhkan uang tersebut (sebagai alat ukur nilai, alat bayar, dan alat penyimpan nilai) dapat memegang uang tersebut secara fisik dalam genggamannya masing-masing? Dapatlah dibayangkan berapa besar uang yang secara cash harus diedarkan oleh otoritas moneter!!....

Untung Ada Bank

Syukurlah, bhw kehadiran sistem perbankan sebagai sebuah entiti perantara (intermediary) kemudian dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memperlancar penyediaan likuiditas bagi berbagai transaksi ekonomi yang mereka perlukan. Para pemilik pabrik tidak harus menjinjing koper penuh uang ke toko yang menjual mesin-mesin produksi. Untuk melakukan pembayaran, mereka cukup menuliskan nilai pembayaran pada selembar kertas cek, yang dengannya jumlah uangnya di bank A akan berkurang, dan sebagai padanannya jumlah uang penjual mesin di bank B akan bertambah. Pembeli mobil bekas tidak harus ketakutan membawa-bawa uang dalam amplop tebal, karena pembayaran bisa dilakukan melalui ATM. Uang tabungannya di Bank C akan berkurang, dan uang si penjual mobil di Bank D akan bertambah sebagai padanannya.

Masyarakat dapat menjadi lebih tenang dengan menyimpan uang pendapatannya pada sistem perbankan, daripada disimpan di lubang bambu atau di bawah bantal. Masyarakat yang mendambakan punya rumah dapat memperoleh bantuan pembiayaan dari sistem perbankan, yang kemudian harus ia lunasi dengan mencicil setap bulannya, dan seterusnya. Dengan hadirnya sistem perbankan, maka kehadiran likuiditas/uang secara fisik/cash dapat secara drastis dikurangi dalam berbagai transaksi produktif maupun untuk memenuhi kebutuhan menyimpan nilai dan berjaga-jaga.Life becomes much easier.


Dari Mana Uangnya?

Karena tidak semua transaksi perlu dilakukan dengan uang cash, maka secara nasional uang/likuiditas dalam wujud fisiknya pada akhirnya hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan jumlah likuiditas (X+Y+Z) triliun, misalnya sebesar M triliun. Likuiditas inilah yang antara lain kita simpan dalam dompet, di balik kemben para penjual jamu, di bawah tumpukan baju dalam lemari, dan yang disimpan oleh sistem perbankan dalam brankas besi mereka. Dalam terminologi standard sistem keuangan, uang sebesar M triliun ini disebut sebagai “jumlah uang yang diedarkan” (Secara statistik juga meliputi jumlah likuiditas milik perbankan yang disimpan di bank sentral dan jumlah likuiditas yang sangat-siap-cair/liquid dalam rekening giro yang dikelola sistem perbankan).

Nah, tugas otoritas moneterlah yang harus menyediakan M triliun ini..dengan mencetak uang sebanyak M triliun tersebut. Tidak perlu sebanyak (X+Y+Z) triliun..tapi cukup sebanyak M Triliun. Koq bisa begitu? Karena M ini disebut high-powered money, karena ia ibarat sebutir benih yang mengandung potensi tumbuh dengan energi yang sangat besar menjadi berkali lipat dirinya. Bagaimana kemudian dlm prosesnya M triliun ini bisa menjelma menjadi jumlah uang yang jauh lebih besar dari dirinya, menjadi sebanyak (X+Y+Z) triliun sesuai kebutuhan?


Untung Ada Bank Lagi…

Bank lah yang menggandakannya! Bank memiliki checking accounts, jasa transfer antar rekening tabungan, teknologi ATM, dan skim-skim pembiayaan. Dengan segenap perangkat itulah, maka sistem perbankan mampu “menciptakan uang” (money creation). Pada fractional-reserve banking system, sistem perbankan bahkan mampu menawarkan berbagai produk dan menjanjikan berbagai pembiayaan kegiatan ekonomi sampai dengan nilai sebesar (X+Y+Z) triliun, meski di tangannya hanya memegang fisik likuiditas sebesar (M-R), dimana R adalah Reserve Requirement (cadangan wajib) yang harus ia simpan di bank sentral. Di bank terjadilah “multiplier effect” atau “money creation” ini. Apapun banknya: mau bank konvensional keq…atau bank syariah keq.


Bank Syariah Apa Donk Bedanya?..

Jadi, melalui bank syariah DAN bank konvensional....otoritas moneter melipatgandakan M triliun high-powered money..”uang benih”-nya. Mekanisme ”money creation” sama-sama terjadi di bank syariah DAN di bank konvensional. Fenomena ”multiplier effect” dari M triliun menjadi berlipat-lipat triliun juga sama-sama terjadi di bank konvensional DAN bank syariah. Lho? Jadi apa bedanya donk?

Ingat kembali, bahwa motivasi besar orang memiliki uang ada 3: untuk transaksi, untuk berjaga-jaga, dan untuk menumpuk harta ataupun spekulasi. Ingat juga, bahwa bank syariah tidak boleh memberikan pembiayaan kepada usaha2/transaksi yang spekulatif. Maka...dalam perekonomian yang sudah meluas penggunaan bank syariahnya, komponen spekulatif (Z triliun) bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan (jika seluruh transaksi dan instrumen ekonomi sudah bebas dari motif2 spekulasi). Z = 0 triliun.

Sehingga yang ada adalah (X+Y+ nol) triliun..yaitu jumlah kebutuhan likuiditas yang secara riil dibutuhkan oleh perekonomian. Dalam lanskap sistem ekonomi Islam dengan bank syariah sebagai ”saluran irigasi likuiditasnya”...,”urat nadinya”....dimana aktivitas spekulatif dan hoarding telah berhasil dinihilkan.....maka (X+Y) triliun ini benar-benar sudah terbebas dari non-productive activities.

Bank syariah secara nasional akan tetap melakukan “money creation” sebesar (X+Y) triliun. Bank syariah tetap akan ”menggandakan uang”, dari M triliun of high-powered money menjadi (X+Y) triliun. Dan ”multiplier effect” tetap terjadi di bank syariah. Tetapi.... jumlah uang yang di-multiplierkan/digandakan adalah dari M triliun menjadi (X+Y) triliun saja. Atau persis menjadi tepat yang dibutuhkan secara cukup oleh perekonomian riil produktif. Tidak ada excess likuiditas di sektor-sektor spekulatif. Tidak meluber kemana-mana.

Mungkin itu ya maksud si narasumber itu?....:)


Tulisan ini juga diposting di : Kompasiana iB Blogger Competition

.

Tidak ada komentar: