Minggu

Perdukunan ga Ilmiah? ...



Perdukunan itu ilmiah ga sih? Jamu-jamu an itu ilmiah ga sih? Pengobatan dari “orang pinter” itu rasional ga sih? Sering sekali kita malah dimarahi dokter, ketika ketauan sudah diam-diam minum “obat cina” untuk mengobati demam berdarah kita. Atau jamu sambiroto untuk diabetes kita. Atau ketauan karena diam-diam minum jamu temulawak yang dibawa oleh Ibu sepuh kita, untuk mengobati Hepatitis. Atau dibawakan saudara kita yang baik hati…sebotol air putih yang katanya oleh-oleh dari Syekh Gurunya untuk menyembuhkan kita. “Itu pengobatan yang tidak ada acuan medisnya !” atau “Aah…itu kan cuma mitos !” atau “Tidak rasional !!...” begitu kata mereka.

Apa sih “ilmiah” itu? Apa sih “rasional” itu? Dalam prakteknya, “ketidakilmiahan” suatu metode ataupun “irasionalitas” suatu teori selalu dikaitkan dengan teori, sistem pengetahuan atau paradigma yang sedang berlaku. Suatu metode seringkali divonis “tidak ilmiah” hanya karena metode tersebut tidak bersesuaian (not conform) dengan teori yang sudah mapan dan diakui umum. Seakan-akan metode,hukum dan teori yang sudah ada merupakan satu-satunya acuan yang mutlak benar yang tidak boleh digugat kebenarannya. Maka berbagai metode pengobatan alternatif misalnya yang menggunakan jamu tradisional, racikan obat cina, herbal, terapi aura ataupun pengobatan dengan mantra/doa pada suku-suku asli pedalaman ditolak oleh ilmu kedokteran modern dan dicap “tidak ilmiah” serta “tidak rasional”. Penolakan yang semata disebabkan oleh ketidaksesuaian metode-metode “aneh” tersebut dengan kerangka dan sistematika Ilmu Penegtahuan yang telah mapan diakui.


Paul Karl Feyerabend (1924-1994), seorang science-philosoper kelahiran Austria, menolak pemikiran yang menyimpulkan bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya cara dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan menentukan kemajuan intelektual kemanusiaan. Menurutnya, tidak terdapat satupun aturan tunggal, sistem maupun hukum perkembangan apapun yang bersifat universal yang dapat menjelaskan seluruh perkembangan ilmu pengetahuan. Setiap ilmuwan memiliki kebebasan kreatif dalam upayanya memahami realitas, bahkan dengan metodologi yang dinilai “tidak ilmiah” ataupun “irasional” sekalipun. Dalam perjalanan sejarahnya ilmu pengetahuan telah diperkaya oleh berbagai metode “tidak ilmiah” dan fakta-fakta yang “tidak rasional” dari herbalism, psikologi, metafisika, keilmuan para “orang pintar”, dukun tradisionil ataupun dukun modern yang sudah beriklan di tivi, dukun beranak, hikmah para sufi, pertapa, dan lain-lain yang semuanya telah memperkaya perspektif kita.

Fakta-fakta yang teramati secara empiris tidak pernah cukup kuat untuk menjadi landasan bagi kita dalam menerima atau menolak suatu teori. Karena metodologi yang kita gunakan selalu terlalu sempit dan mereduksi terlalu banyak segenap kompleksitas realitas yang ingin kita pahami. Sementara itu cakrawala realita sangatlah luas tak bertepi. Dan bentangan Ilmu Pengetahuan bak samudera yang dipenuhi oleh berbagai ide dan teori yang seringkali saling tidak bersesuaian, namun keseluruhannya sesungguhnya membawa kandungan mimpi dan harapan yang sama akan pengetahuan sempurna tentang realita.

“Theories are surrounded by an ocean of anomalies, unless we modify the stern rules of falsification using them only as rule of thumbs, and not as necessary conditions for scientific procedure….that strict falsification would wipe out science as it presently exists, and would never permit it to have come into existence.” (Hickey,Thomas J.,“History of Twentieth Century Philosophy of Science,” Book VI, hal.78, 1995,2005)

Kita dituntut untuk terus membuka dirinya terhadap fakta-fakta, metode, dan teori yang terhampar di sekitar kita. Untuk terus berfikir out of the box. Untuk mencermati fakta-fakta yang secara sepintas dinilai sebagai “tidak ilmiah” ataupun “tidak rasional” dilihat dari kacamata ilmu pengetahuan yang (saat ini) diyakininya. Realitas adalah terlalu kompleks untuk dapat dipahami hanya dengan mengandalkan satu atau dua teori mainstream, karena alam masih menyimpan banyak rahasia baik yang nampak maupun yang tidak dapat diindera. Pengetahuan manusia tentang apa yang ada di dalam dirinya saja, tentang ruh dan jiwa misalnya, masih sangat minim. Apalagi pengetahuan tentang alam semesta jauh di balik bintang sana ataupun di balik dimensi kasat mata. Hanya dengan merendahkan hati untuk menerima keterbatasan pengetahuan yang telah dimilikinya, maka manusia dapat lebih maju dengan menerima pemikiran-pemikiran lain yang berbeda.

Jadi..pilih ke dukun atau minum jamu?....:P

Tidak ada komentar: