Minggu

Itu kan Kebenaran Versi Anda ?!


To them, I said, the truth would be literally nothing but the shadows of the images

(Plato, “Politeia”)

Inilah zaman di mana kata “kebenaran” seringkali menjadi kata pamungkas untuk melegitimasi kepentingan-kepentingan perseorangan maupun kelompok. Dunia dipenuhi oleh beragam mereka yang meng-klaim dirinya sebagai pemilik kebenaran, yang saling berlomba untuk bisa mendominasi tatanan pemikiran, prinsip serta norma. Pencapaian hegemoni lalu dilakukan dengan cara-cara kekerasan dan tak jarang pula dengan penindasan bahkan pemusnahan atas orang lain yang tidak sepaham. Bagi mereka, kebenaran hanyalah apa yang ada di dalam kepala mereka. Apa yang baik dan apa yang buruk, mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak patut dilakukan, bagaimana yang benar dan bagaimana yang salah, semuanya haruslah berdasarkan standar “kebenaran” yang mereka sendiri tetapkan. Kata “kebenaran” mereka jadikan tuhan yang tidak boleh digugat dan dipertanyakan. Dalam kondisi demikian, maka norma sebagai landasan perilaku individu dan sebagai basis sosial masyarakat hanyalah kata lain dari “dinding penjara” dan hukum sebagai acuan benar-salah hanyalah kata lain dari “tangan-tangan penguasa”.

Sesugguhnyalah kita tidak pernah mampu untuk memahami secara utuh tentang segala sesuatu. Kita tidak “memiliki” kebenaran. Sehingga tak seorangpun bisa mengklaim bahwa dirinya atau kelompoknya adalah pemegang kunci-kunci kebenaran sejati. Tugas kita, hanyalah untuk terus membuka diri seluasnya dan terus mencari hikmat dan kebenaran sejati di balik beragam bayang-bayang interpretasi manusia tentang kebenaran. Dalam dunia bayang-bayang yang dibangun oleh interpretasi dan abstraksi inilah kita ditunut untuk melakukan refleksi.

Pertama, refleksi tentang batas-batas kemampuan pengetahuan kita dan kemampuan-kemampuan kita terhadap kebaikan maupun kejahatan. Sebagaimana disimpulkan oleh Karl Popper dalam kata-katanya yang terkenal: “Our knowledge can only be finite, while our ignorance must necessarily be infinite.” (Karl Popper, Conjectures and Refutations, 1963).

Kedua, refleksi tentang keterbatasan ilmu serta pemahaman -yang terlahir dari keterbatasan kemampuan pengetahuan kita tersebut- yang tak mampu mencapai suatu gambaran yang menyeluruh tentang fenomena. Sebagaimana disimpulkan oleh Alfred North Whitehead, "There are no whole truths; all truths are half-truths. It is trying to treat them as whole truths that plays the devil". (Dialogues of Alfred North Whitehead, 1954).

Terhadap semua pendapat, presuposisi dan interpretasi yang diajukan oleh pemikiran manusia tentang realitas, kita dituntut untuk “membedahnya” dengan pisau sistematika berfikir yang kritis dan menyeluruh untuk mendapatkan makna dan fondasi paling mendasarnya. Kita dituntut untuk mampu memisahkan antara pengetahuan semu dengan pengetahuan sejati yang sungguh-sungguh mencerminkan kebenaran. Memisahkan antara “kebenaran” yang dibangun dari bayang-bayang (becoming, doxa) dengan hikmat dari kebenaran yang sesungguhnya (being, episteme).

.

Tidak ada komentar: